PENDAHULUAN
Pupura Trombositopenia Idiopatik (PTI) merupakan suatu kelainan didapat
yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh
karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem
retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglubolin G (IgG) yang bersirkulasi dalam darah.6,8
Adanya trombositopenia pada PTI ini akan mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor
koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan
hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi mulai dari
manifestasi perdarahan ringan, sedang sampai dapat mengakibatkan
kejadian-kejadian yang fatal. Kadang juga asimptomatik. 6
Berdasarkan
etiologi, PTI dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan sekunder.
Berdasarkan awitan penyakit dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang
atau sama dengan 6 bulan dan kronik bila lebih dari 6 bulan.6
Diperkirakan insidensi PTI terjadi pada 100 kasus per 1 juta penduduk
per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi pada anak-anak dengan usia
puncak 5 tahun, dimana jumlah kasus pada anak laki-laki dan perempuan
sama perbandingannya. Namun pada orang dewasa, ITP paling sering terjadi
pada wanita muda: 72 persen pasien selama 10 tahun adalah perempuan,
dan 70 persen wanita ini usianya kurang dari 40 tahun. Pada anak-anak itu biasanya merupakan tipe akut, yang sering mengikuti suatu infeksi, dan sembuh dengan sendirinya (self limited). Pada orang dewasa umumnya terjadi tipe kronis. 1,2,4,6
Trombosit,
antithrombin III, dan d dimer memiliki fungsinya masing-masing dalam
pembekuan darah. Trombosit memiliki nama lain keping darah yang
berfungsi dalam pemdarah. Antithrombin adalah inhibitor yang potensial dari kaskade koagulasi. D dimer merupakan hasil dari pemecahan fibrin. Gangguan salah satu dari ketiganya maupun salah satunya akan mengakibatkan ketidakseimbangan hemostasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI)
2.1.1 Definisi
Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah
perifer kurang dari 150.000/n.L) akibat autoantibodi yang mengikat
antigen trombosit menyebabkan destruksi prematur dari trombosit dalam
sistem retikuloendotel terutama di limpa.6
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan jumlah trombosit yang rendah dan perdarahan mukokutan.2
2.1.2 Epidemiologi
Perkiraan
insiden adalah 100 kasus per 1 juta orang per tahun, dan sekitar
setengah dari kasus-kasus ini terjadi pada anak-anak. Insiden PTI pada
anak antara 4,0-5,3 per 100.000, PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak
usia antara 2-6 tahun. 7-28 % anak-anak dengan PTI akut berkembang
menjadi kronik 15-20%. Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) pada anak
berkembang menjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai PTI
dewasa yang khas. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per
100.000 anak per tahun.2,6
Insidensi
PTI kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi
pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di
Inggris. Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) kronikpada umumnya
terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40-45 tahun.
Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada pasien PTI akut
sedangkan pada PTI kronik adalah 2-3:1.6
Pasien
PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI yang gagal diterapi
dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya
mendapat terapi karena angka trombosit di bawah normal atau ada
perdarahan. Pasien PTI refrakter ditemukan kira-kira 25-30 persen dari
jumlah pasien PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap
pemberian terapi dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas
kira-kira 16%.6
2.1.3 Patofisiologi
Sindrom
PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yakni berikatan
dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari
sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklir melalui reseptor Fc makrofag.
Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi membran trombosit
glikoprotein Ilb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang dominan dengan
mendemostrasikan bahwa elusi autoantibodi dari trombosit pasien PTI
berikatan dengan trombosit normal. 6
Diperkirakan
bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian
transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang
menderita PTI, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient
trombositopeni pada orang sehat yang menerima transfuse plasma kaya IgG,
dari seorang pasien PTI. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi
IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah
berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan.
Pada sebagian besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan
peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil yang lain, produksi
trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang
diselimuti autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang
(intramedullary), atau karena hambatan pembentukan megakariosit
(megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan
adanya masa megakariosit normal.2
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi
PTI untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetic kekurangan
kompleks glikoprotein IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi
antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/X, Ia/ITa, IV dan V dan
determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi
terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel
penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan
pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang
cukup untuk menimbulkan trombositopenia (Gambar 2.1). 2
Secara
alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Ilb/IIIa
memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibody
yang berasal dari displai phage menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan
pada daerah yang berikatan dengan antigen dari antibodi-antibodi ini
menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi
somatik. Pasien PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR +
T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2 dan peningkatan
profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel T helper dan sel T
helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis
antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan
karena terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara
in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak dapat
dikethui dengan pasti.2
Gambar 2.1
Gambar ini dapat memperjelas bahwa faktor yang memicu produksi
autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibody
terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit
terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa dikenali
oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX
belum terbentuk pada tahap ini (1). Trombosit yang diselimuti
autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau
sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses
intenalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak
glikoprotein Ilb/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari
glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel penyaji antigen yang
teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan
bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan
CD 40) dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi
CD-4 positif antiglikoprotein 1b/IX antibody T-cell clone I dan T cell
clone II (5) Reseptor imunoglobulin sel-B yang mengenali platelet antigen tambahan (B-cell clone
2) dengan demikian juga terdorong untuk berkembang biak dan mensintesis
antibodi anti-glikoprotein Ib / IX (hijau) Selain memperkuat produksi
anti-glikoprotein IIb / IIIA antibodi (oranye) oleh B-1 cell clone (6). 2
Metode
yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara
langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibody
dan sensitasi, klirens dan produksi trombosit gambar 2.2.
Gambar 2.2
Pada umumnya obat yang dipakai pada awal PTI menghambat terjadinya
klirens anti bodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG
pada makrofag jaringan (1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian
kecil mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan
sel-B yang terlibat dalam sintesis antibody pada beberapa pasien.
Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara
menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan
trombosit, sedangkan trobopoietin berperan merangsang progenitor
megakariosit (2). Beberapa imunosupresan nonspesifik seperti azathioprin
dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel T (3). Antibodi monoclonal
terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan
kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel T makrofag
dan interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam produksi antibody dan
pertukaran klas (4). Immunoglobulin IV mengandung antiidiotypic antibody
yang dapat menghambat produksi antibody. Antibody monoclonal yang
mengenali ekspresi CD 20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian (5).
Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari dalam plasma
(6). Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi
perdarahan (7).5
Genetik
PTI
telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga,
serta telah diketahui adanya kecenderungan menghasilkan autoantibody
pada anggota keluarga yang sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2
dan DRB*0410 dihubungkan dengan respon yang menguntungkan dan merugikan
terhadap kortikosteroid, dan HLA-DRB1*1501 dihubungkan dengan respon
yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun demikian, banyak
penelitian gagal menunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan
kompleks HLA kelas I dan II.2
2.1.4 Manifestasi Klinik
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, awitan
penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya
perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola
dan rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh
virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia imunologik.
Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan
Ebstein barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Pada
PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun umumnya terjadi bentuk
yang kronis.. PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan
teijadi pada 90% pasien, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.1,6,9
Gambar 2.3 Manifestasi klinis Purpura Tromositopenia Idiopatik
Panel
A menunjukkan petechiae dan purpura yang luas pada kaki seorang anak
dengan PTI. Panel B menunjukkan perdarahan konjungtiva. Pendarahan luas
mukokutan mungkin menjadi pertanda pendarahan internal. Perubahan khas
pada eritrosit setelah splenektomi (tanda panah pada Panel C) seperti
berlubang dan adanya Howell - Jolly body (tanda panah pada Panel D), yang merupakan sisa-sisa kromatin inti.
PTI Kronik
Awitan
PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari
ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, serta
memiliki perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap. 6
Manifestasi
perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya berat
dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara
umum hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien
dengan AT >50.000/µL maka biasanya asimptomatik, AT 30.000-50.000
/µL terdapat luka memar/hematom, AT 10.000-30.000/µL terdapat perdarahan
spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila ada luka, AT
<10.000>6
Pasien
secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala yang dikeluhkan
berupa perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti
hidung berdarah, mulut perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae.
Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat berasal dari
lesi petekie pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada tenggorokan
dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang
paling sering, menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI
dan mungkin tampak pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan
gejala yang sering. Perdarahan gastrointestinal bisanya bermanifestasi
melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis. Perdarahan intracranial
dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1% pasien dengan trombositopenia
berat.6,9
Pada
pemeriksaan, pasien tampak normal, dan tidak ada temuan abnormal selain
yang berkaitan dengan pendarahan. Pembesaran limpa harus mengarah pada
mempertanyakan diagnosis. Tampak tanda-tanda perdarahan yang sering
muncul seperti purpura, petechiae, dan perdarahan bula di mulut. 9
2.1.5 Diagnosis
Lamanya
perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik, serta
tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk
menyingkirkan bentuk sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk
anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan trombositopenia
dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena trombosit yang
rendah (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan perdarahan selaput
lendir yang lain). 6
Splenomegali
ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati.
Selain trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah
tepi diperlukan untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan
hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi oleh
flow sitometri berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa
perdarahan pada PTI tidak sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang
pada hitung trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting adalah
pungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak megakariosit
dan agranuler atau tidak mengandung trombosit.2
Secara
praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40
tahun, pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran
sitopenia) atau pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun
tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri hematologi merekomendasikan
dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai terapi kortikosteroid
untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit
dihubungkan dengan antibodi secara uji langsung untuk mengukur trombosit
yang berikatan dengan antibodi yakni dengan Monoclonal-Antigen-Capture
Assay, sensitivitasnya 45-66%, spesifisitasnya 78-92% dan diperkirakan
bernilai positif 80-83 %. Uji negatif tidak menyingkirkan diagnosis
deteksi yang tanpa ikatan antibody plasma tidak digunakan. Uji ini tidak
membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI. 2
2.1.6 Diagnosis Banding
Trombositopenia
dapat dihasilkan baik oleh sumsum tulang yang berfungsi abnormal atau
kerusakan perifer. Meskipun sebagian besar gangguan sumsum tulang
menghasilkan kelainan di samping adanya trombositopenia, diagnosa
seperti myelodysplasia baru dapat dihilangkan hanya setelah dengan
memeriksakan sumsum tulang. Sebagian besar penyebab trombositopenia
akibat kerusakan perifer dapat dikesampingkan oleh evaluasi awal.
Kelainan seperti DIC, trombotik trombositopenia
purpura, sindrom hemolitik-uremic, hypersplenisme, dan sepsis mudah
dihilangkan oleh tidak adanya penyakit sistemik. Pasien harus ditanya
mengenai penggunaan narkoba, terutama sulfonamid, kina, thiazides,
simetidin, emas, dan heparin. Heparin sekarang merupakan penyebab paling
umum obat yang menginduksi trombositopenia pada pasien yang dirawat.
Sistemik lupus erythematosus dan CLL merupakan penyebab yang sering
trombositopenia purpura sekunder, yang secara hematologis identik dengan
PTI.9
2.1.7 Penatalaksanaan
Terapi
PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi
menghindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama
trauma kepala, hindari pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi fungsi
trombosit. Terapi khusus yakni terapi farmakologis. 6
Terapi Awal PTI (Standar)
Prednison
Prednison,
terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 - 1,5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2
minggu dan pada umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik
kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan , kemudian tapering. Kriteria
respon awal adalah peningkatan AT <30.000>50.000/µL setelah 10
hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila
peningkatan AT <30.000/>50.000/ mL setelah 6 bulan follow up.
Pasien yang simtomatik persisten dan trombositopenia berat (AT
<>6,9
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-turut digunakan bila terjadi perdarahan intemal, saat AT <5,0oo>6
Mekanisme
kerja IglV pada PTI masih belum banyak diketahui namun meliputi
blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat
ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan
imunosupresi. 6
Splenektomi
Splenektomi
adalah pengobatan yang paling definitif untuk PTI, dan kebanyakan
pasien dewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi. Terapi prednison
dosis tinggi tidak boleh berlanjut terus dalam upaya untuk menghindari
operasi. Splenektomi diindikasikan jika pasien tidak merespon pada
prednison awal atau memerlukan prednison dosis tinggi yang tidak masuk
akal untuk mempertahankan jumlah platelet yang memadai. Pasien lain
mungkin tidak toleran terhadap prednison atau mungkin hanya lebih
memilih terapi bedah alternatif . Splenektomi dapat dilakukan dengan
aman bahkan dengan menghitung trombosit kurang dari 10.000 / MCL. 80 %
pasien mendapatkan manfaat dari splenektomi baik dengan remisi lengkap
atau parsial, dan angka kekambuhan ialah 15-25%.5,9
Penanganan Relaps Pertama
Splenektomi
perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin
anti-D.
Dari
gambar 2.4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT
<30.000>30.000 /µL, Tidak ada konsensus yang menetapkan lama
terapi kortikosteroid. Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai terapi
awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk pasien Rh-positif.
Apakah penggunaan IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal
tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan
mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi pasien yang mempunyai AT
30.000 /µL sampai 50.000/µL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko
perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma.
Pada AT >50.000/µL perlu diberi IglV sebelum pembedahan atau setelah
trauma pada beberapa pasien. Pada pasien PTI kronik dan AT
<30.000/µl>2,6
Gambar 2.4 Pengelolaan PTI Awitan Dewasa
Terapi PTI Kronik Refrakter
Pasien
refrakter (+ 25%-30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi
lebih lanjut karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis.
Kelompok ini memiliki respons terapi yang rendah, mempunyai morbiditas
yang bermakna terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki
mortalitas sekitar 16%. PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3
kriteria sebagai berikut: a). PTI menetap lebih dari 3 bulan; b).
Pasien gagal berespon dengan splenektomi; c). AT <30.000>6
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk
pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada
beberapa pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini
kedua menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat
individual. 6
Steroid
Dosis Tinggi. Terapi pasien PTI refrakter selain prednisolon dapat
digunakan deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama
4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 pasien
dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT
>100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang
tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. 6
Metilprednisolon
Steroid
parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua
dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat
diberikan pada PTI anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi
prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada pasien PTI berat
menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis
diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan
pasien PTI klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis
konvensional. Pasien yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi
mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka
respons (80% vs 53%). Respons steroid intravena bersifat sementara pada
semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap
adekuat. 6
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin
intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut,
sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan
cepat. Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka
dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D
intravena. 6
Anti-D Intravena
Anti-D
intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa.
Dosis anti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni
destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara khusus
dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan autoantibodi
yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade. 6
Alkaloid Vinka
Semua
terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin
bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk
meningkatkan AT dengan cepat, misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv,
vinblastin 5-10 ing, setiap minggu selama 4-6 minggu. 6
Danazol
Dosis
danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon
sering lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons
terjadi, dosis diteruskan sampai dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4 bulan. 6
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi
Immunosupresif
diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi lainnya.
Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau
siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya
bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat, simptomatik, PTI kronik
refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian siklofosfaraid,
vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan
seperti pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan
selama 3 bulan. Azatioprin 50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon
obat dihentikan, bila ada respons sampai 3 bulan turunkan sampai dosis
terkecil. 6
Dapsone
Dapson
dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien
harus diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah
mempunyai risiko hemolisis yang serius. 6
Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar
25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau
kedua dan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami
perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan
serta masalah penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa
mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas
hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi
lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i)
interferon-a, (ii) anti-CD20, (iii) Campath-1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya. 6
Rekomendasi Terapi PTI Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan
terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi
dan bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab,
suatu antibodi monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat
respons keseluruhan 25 - 50%, dan memiliki respon yang tahan lama,
dengan efek samping yang relatif sedikit.5
Campath-IH
dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak
berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT
(misalnya. perdarahan aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada
beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar diperlukan untuk
mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal pertimbangan
resiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns, plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah direkemoendasikan. 5
Kesulitan
utama dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang sederhana dan,
seringnya, mempunyai onset yang lambat sehingga efek dapat tidak jelas
selama beberapa bulan. Selain itu, supresi sumsum tulang dan peningkatan
risiko infeksi menyulitkan pengobatan dengan menggunakan obat yang
imunosupresif. 5
Obat
trombopoietik mewakili strategi terapi baru yang menjanjikan untuk ITP
yang refrakter untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini mungkin juga
dapat sebagai alternatif bagi pasien yang tidak
dapat mentolerir terapi imunosupresif atau pada calon yang tidak dapat
menggunakan untuk itu. Tempat agen ini pada armamentarium dari terapi
ITP, bagaimanapun, tetap ditentukan. Penggunaannya akan dipandu oleh uji
klinis lebih lanjut dengan durasi yang lebih lama dan pemahaman yang
lebih baik dari kontribusi relatif penghancuran platelet dan gangguan
produksi trombosit pada masing-masing pasien dengan ITP.5
2.1.8 Prognosis
Respons
terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid. Pasien PTI dewasa
hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian
pada PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intracranial yang berakibat
fatal berkisar 2,2% untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 47,8%
untuk usia lebih dari 60 tahun. 6
2.2 Pembekuan Darah (Koagulasi)
Hemostasis
merupakan peristiwa penghentian perdarahan akibat putusnya atau
robeknya pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi ketika endothelium
yang melapisi pembuluh darah rusak atau hilang. Proses ini mencakup
pembekuan darah (koagulasi ) dan melibatkan pembuluh darah, agregasi
trombosit serta protein plasma baik yang menyebabkan pembekuan maupun
yang melarutkan bekuan. 6
2.2.1 Lintasan intrinsik
Lintasan
intrinsik melibatkan faktor XII, XI, IX, VIII dan X di samping
prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, ion Ca2+ dan
fosfolipid trombosit. Lintasan ini membentuk faktor Xa (aktif). Lintasan
ini dimulai dengan “fase kontak” dengan prekalikrein, kininogen dengan
berat molekul tinggi, faktor XII dan XI terpajan pada permukaan
pengaktif yang bermuatan negatif. Secara in vivo, kemungkinan protein
tersebut teraktif pada permukaan sel endotel. Kalau komponen dalam fase
kontak terakit pada permukaan pengaktif, factor XII akan diaktifkan
menjadi factor XIIa pada saat proteolisis oleh kalikrein. Faktor XIIa
ini akan menyerang prekalikrein untuk menghasilkan lebih banyak
kalikrein lagi dengan menimbulkan aktivasi timbal balik. Begitu
terbentuk, faktor xiia mengaktifkan faktor XI menjadi Xia, dan juga
melepaskan bradikinin(vasodilator) dari kininogen dengan berat molekul
tinggi. 13
Faktor
Xia dengan adanya ion Ca2+ mengaktifkan faktor IX, menjadi enzim serin
protease, yaitu faktor IXa. Faktor ini selanjutnya memutuskan ikatan
Arg-Ile dalam factor X untuk menghasilkan serin protease 2-rantai, yaitu
faktor Xa. Reaksi yang belakangan ini memerlukan perakitan komponen,
yang dinamakan kompleks tenase, pada permukaan trombosit aktif, yakni:
Ca2+ dan faktor IXa dan faktor X. Perlu kita perhatikan bahwa dalam
semua reaksi yang melibatkan zimogen yang mengandung Gla (factor II,
VII, IX dan X), residu Gla dalam region terminal amino pada molekul
tersebut berfungsi sebagai tempat pengikatan berafinitas tinggi untuk
Ca2+. Bagi perakitan kompleks tenase, trombosit pertama-tama harus
diaktifkan untuk membuka fosfolipid asidik (anionic). Fosfatidil serin
dan fosfatoidil inositol yang normalnya terdapat pada sisi keadaan tidak
bekerja. Faktor VIII, suatu glikoprotein, bukan merupakan precursor
protease, tetapi kofaktor yang berfungsi sebagai resepto untuk factor
IXa dan X pada permukaan trombosit. Faktor VIII diaktifkan oleh thrombin
dengan jumlah yang sangat kecil hingga terbentuk faktor VIIIa, yang
selanjutnya diinaktifkan oleh thrombin dalam proses pemecahan lebih
lanjut. 13
2.2.2 Lintasan Ekstrinsik
Lintasan
ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, faktor VII, X serta Ca2+ dan
menghasilkan faktor Xa. Produksi faktor Xa dimulai pada tempat cedera
jaringan dengan ekspresi faktor jaringan pada sel endotel. Faktor
jaringan berinteraksi dengan faktor VII dan mengaktifkannya; faktor VII
merupakan glikoprotein yang mengandung Gla, beredar dalam darah dan
disintesis di hati. Faktor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk
faktor VIIa dengan menggalakkan aktivitas enzimatik untuk mengaktifkan
faktor X. Faktor VII memutuskan ikatan Arg-Ile yang sama dalam faktor X
yang dipotong oleh kompleks tenase pada lintasan intrinsik. Aktivasi
faktor X menciptakan hubungan yang penting antara lintasan intrinsik dan
ekstrinsik. 13
Pada
lintasan terakhir yang sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh lintasan
intrinsik dan ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin (II) menjadi
thrombin (IIa) yang kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin. 13
Pengaktifan
protrombin terjadi pada permukaan trombosit aktif dan memerlukan
perakitan kompleks protrombinase yang terdiri atas fosfolipid anionik
platelet, Ca2+, faktor Va, faktor Xa dan protrombin.
2.3 Antitrombin
2.3.1 Definisi
Empat
inhibitor thrombin yang terdapat secara alami, ditemukan di dalam
plasma normal. Inhibitor yang paling sering adalah antitrombin III yang
turut memberikan kurang-lebih 75% dari aktivitas antitrombin.
Antithrombin adalah inhibitor yang potensial dari kaskade koagulasi.
Antitrombin seperti polisi protein yang mencegah koagulasi yang terlalu banyak. Mekanismenya memblok
pembekuan darah dengan menonaktifkan protein "trombin". Oleh karena
itu, yang disebut "anti-trombin". Sementara antithrombin III adalah nama
asli yang diberikan untuk protein ini, nama yang benar sekarang ini
hanya antithrombin, dengan menghilangkan angka "III". Nama-nama lain dan
singkatan dari antithrombin ialah antithrombin III, AT, AT III, dan heparin kofaktor I. 3,10,13
2.3.2 Aktivitas Antitrombin III
Trombin
terlibat dalam mekanisme regulasi tambahan yang bekerja dalam proses
koagulasi. Unsur ini bergabung dengan trombomodulin. yaitu suatu
glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel endotel. Kompleks tersebut
mengaktifkan protein C. Dalam bentuk gabungan dengan protein S. Sebuah
kofaktor yang dinamakan protein C yang diaktifkan (APC; activated
protein C) akan menguraikan faklor Va dan VIIIa, sehingga membatasi
kerjanya dalam koagulasi. Defisiensi genetik protein C atau protein S
dapat menyebabkan trombosis vena. Lebih jauh lagi. Pasien dengan faktor V
Leiden (yang momiliki residu glutamin sebagai pengganti arginin pada
posisi 506) mnenghadapi peningkatan resiko penyakit trombosis vena
karena faktor V Leiden bersifat resisten terhadap inaktivasi oleh APC.
Keadaan ini dinamakan resistensi APC.10
Antithrombin
melindungi dari koagulasi darah yang terlalu banyak. Jika kadar
antithrombin rendah, darah seseorang akan memiliki kecenderungan untuk
koagulasi lebih mudah. Jika tingkat antithrombin terlalu tinggi,
seseorang dapat, secara teoritis, memiliki kecenderungan pendarahan.
Namun, peningkatan kadar antithrombin tampaknya tidak menyebabkan
perdarahan atau memiliki signifikansi klinis. 10
Aktivitas
endogen antitrombin III sangat dipotensiasi oleh keberadaan
proteoglikan yang bersifat asam seperti heparin. Zat ini terikat dengan
tempat kationik spesifik pada antitrombin III dengan menginduksi
perubahan bentuk dan meningkatkan pengikatannya pada thrombin di samping
pada substrat lainnya.13
2.3.2 Defisiensi Antitrombin
Warisan
defisiensi AT meningkatkan risiko pembekuan darah, sedangkan defisiensi
AT sering tidak terjadi. Ada 2 penyebab utama dari defisiensi AT: (a)
Warisan defisiensi karena kelainan genetik (mutasi), dan (b) defisiensi yang
didapat karena penyakit lain (lihat tabel, peluru 1-3). Ada juga
beberapa kondisi di mana antithrombin seseorang menurun, tetapi kadarnya
kembali normal setelah kondisi sembuh. Jika kadar antithrombin diukur
pada saat terjadi koagulasi akut atau saat diberikan heparin, kadarnya
akan menurun untuk sementara. Namun,
mereka biasanya kembali normal setelah pasien telah pulih (dalam
beberapa hari untuk minggu) atau ketika heparin dihentikan. Ini penting
untuk diketahui untuk menghindari diagnosis yang salah "defisiensi AT "
jika ditemukan kadar AT yang rendah. 10
Kadang-kadang, kadar AT meningkat ketika seseorang diberikan warfarin. Oleh karena itu, kadar normal selama terapi warfarin tidak mengesampingkan diagnosis adanya defisiensi AT. Mengecek kembali AT3 setelah terapi warfarin dihentikan harus dilakukan. 10
(a) Warisan Defisiensi Antithrombin
Warisan
Defisiensi Antithrombin merupakan kelainan genetik yang jarang. Ini
terjadi di 0,2-0,02% dari populasi umum, yaitu 1 dari 500 - 5.000 orang
memilikinya. Laki-laki dan perempuan sama-sama terpengaruh.
Orang-orang
dengan defisiensi AT mempunyai peningkatan risiko untuk terjadi
koagulasi darah di dalam pembuluh darah, seperti penyumbatan pembuluh
darah di kaki (disebut deep vein thrombosis atau DVT) dan penyumbatan pada paru-paru (emboli paru). Gumpalan
vena lain mungkin juga terjadi: di lengan (ekstremitas atas DVT),
saluran pencernaan (portal vein thrombosis, sindrom Budd-Chiari, dll),
atau di sekitar otak (sinus vein thrombosis). 10
(b) Acquired Deficiency Antithrombin
Acquired
Deficiency Antithrombin tidak umum terjadi. Biasanya, Acquired
Deficiency Antithrombin tidak menyebabkan peningkatan risiko koagulasi.
Hal ini karena dalam kondisi ini selain faktor pembekuan antithrombin
sering juga diturunkan. Namun, dapat dikaitkan dengan gumpalan darah.
Penyebab dari Acquired Deficiency Antithrombin :
• kegagalan hati (seperti sirosis hati)
• Sindrom nefrotik (kelainan ginjal)
• Penyebaran (metastasis) tumor
• gumpalan darah akut
• Terapi Heparin
• DIC (disseminated intravascular = koagulasi) *
• trauma parah
• luka bakar parah
* Yang umum gangguan pembekuan dan perdarahan sering disebabkan infeksi dalam aliran darah (sepsis)
2.3.3 Konsentrat Antitrombin
Seseorang
dengan defisiensi AT dapat diberikan konsentrat AT intravena pada saat
peningkatan risiko pembekuan darah (operasi, persalinan). Konsentrat AT
mungkin juga akan diberikan bila profilaksis pengencer darah terhadap
pembekuan darah dengan tidak dapat digunakan karena peningkatan risiko
pendarahan (bedah saraf). 10
Tidak
ada pedoman yang menyatakan bahwa pasien dengan defisiensi AT harus
menerima antithrombin konsentrat. Biasanya, pengobatan hanya diberikan
(a) pada saat-saat peningkatan resiko pembekuan, atau (b) ketika
pengencer darah heparin tidak dapat diberikan secara aman karena akan
menyebabkan peningkatan resiko pendarahan. Situasi ini seperti pada
operasi besar, trauma besar, dan persalinan.
2.3.4 Resisten Heparin
Pada
beberapa pasien defisiensi AT yang membutuhkan terapi heparin,
konsentrat antithrombin mungkin harus diberikan heparin, sehingga
heparin dapat bekerja secara optimal. Heparin (termasuk heparins berat
molekul rendah, LMWH) mungkin tidak mengencerkan darah dengan efektif
jika seorang individu memiliki kadar antithrombin rendah. Hal ini karena
efek heparin tergantung pada adanya antithrombin. Pada kasus tersebut,
dosis heparin yang lebih tinggi dari normal mungkin perlu diberikan agar
membuat perlindungan optimal dari terjadinya koagulasi darah. Pada
keadaan tertentu, seorang pasien dengan "resistensi heparin" tidak akan
merespons secara efektif terhadap heparin sama sekali - juga pada dosis
yang lebih tinggi. Pada situasi seperti ini, pengobatan dengan
konsentrat antithrombin intravena dapat dipertimbangkan.
2.4 D-Dimer
2.4.1 Definisi
D-dimer
adalah hasil produk fibrin spesifik yang dimediasi plasmin. Trombin
mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer larut. Kemudian secara
spontan polimerisasi monomer membentuk fibrin polimer larut. Trombin
juga mengaktifkan faktor XIII, yang dengan adanya kalsium, menyilang
dengan fibrin polimer, menghasilkan fibrin yang crosslinked. Pembelahan
plasmin fibrinogen atau fibrin yang larut menghasilkan FDPs yang
"tradisional", fragmen X, Y, D dan E. Pembelahan plasmin dari
crosslinked fibrin menghasilkan produk degradasi yang berbeda, yang
bervariasi dalam berat molekul dan disebut X-oligomers. D-dimer adalah
neoantigen tertentu yang diproduksi oleh faktor XIIIa yang dimediasi
dari fibrin silang dan diekspos setelah plasmin crosslinked mendegradasi
fibrin, sehingga memungkinkan untuk dapat dideteksi menggunakan tes
berbasis kekebalan (immunologic based assay). Perhatikan bahwa meskipun
plasmin adalah enzim fibrinolytic utama, enzim proteolitik yang
dibebaskan oleh neutrofil juga dapat mendegradasi ikatan fibrin dan
melepaskan D-dimer. 11
Jadi,
D-dimer yang lebih spesifik untuk fibrinolisis daripada FDPs,
pembentukannya memerlukan trombin (untuk mengaktifkan faktor XIII) untuk
menghasilkan crosslinked fibrin dan pembelahan fibrin ini oleh plasmin.
Sebaliknya, tes FDP tradisional tidak dapat membedakan antara tindakan
plasmin fibrinogen (fibrinogenolysis) dan fibrin (fibrinolisis), oleh
karena itu FDPs dapat meningkat ketika tidak terjadi gumpalan (dan
plasmin hanya memecah fibrinogen). 11
2.4.2 Interpretasi Hasil D Dimer
Tes
D-dimer yang normal berarti bahwa kemungkinan besar tidak ada kondisi
atau penyakit akut yang menyebabkan pembentukan bekuan abnormal dan
kerusakan. Kebanyakan dokter setuju bahwa D-dimer negatif yang paling
sah dan bermanfaat bila tes dilakukan pada pasien yang dianggap berisiko
rendah. Tes ini digunakan untuk membantu menyingkirkan penggumpalan
darah sebagai penyebab gejala. 12
Hasil
D-dimer yang positif menunjukkan adanya kadar yang tinggi yang abnormal
dari produk degradasi fibrin di dalam tubuh. Ini memberitahu bahwa
telah terjadi pembentukan gumpalan (trombus) yang signifikan dan
kerusakan dalam tubuh, tetapi tidak memberitahu lokasi atau penyebab.
Kadar D-dimer yang tinggi mungkin karena VTE atau DIC tetapi mungkin
juga bisa disebabkan oleh operasi yang masih baru, trauma, atau infeksi.
Kadar juga dapat terlihat pada penyakit hati, kehamilan, eklampsia,
penyakit jantung, dan beberapa jenis kanker. 12
D-dimer
dianjurkan tes sebagai tambahan. dan tidak menjadi satu-satunya tes
yang digunakan untuk mendiagnosis suatu penyakit atau kondisi.12
Pada
DIC prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time
(aPTT), jumlah tromobsit, and produk degradasi serum fibrin/fibrinogen
merupakan tes skrining yang paling baik. Pemeriksaan d dimer lebih
spesifik dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis.7
2.4.3 D-dimer yang meningkat
D-dimer
akan meningkat setiap kali ada aktivasi trombin, untuk membentuk
crosslinked fibrin dan fibrinolisis, yaitu trombosis dan fibrinolisis.
Penyakit tromboemboli yang prototipikal adalah koagulasi intravaskular
diseminata (DIC) dan D-dimer sering sangat tinggi pada gangguan ini
(memang, D-dimer sangat sensitif untuk DIC dan nilai-nilai dapat
meningkat pada awal DIC sebelum pengujian koagulasi lainnya, seperti PT
dan aPTT, menjadi abnormal). Namun, setiap gangguan mengakibatkan
pembentukan crosslinked fibrin dan kerusakan dapat berpotensi
meningkatkan D-dimer (yaitu D-dimer tinggi tidak spesifik untuk DIC).
Ini mencakup hal yang fisiologis (misalnya berhubungan dengan
penyembuhan luka bedah) dan hal yang patologis fibrinolisis (berhubungan
dengan trombosis dari setiap penyebab, misalnya tromboemboli
paru-paru).11
BAB III
KESIMPULAN
Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap. Diagnosis PTI ditegakkan
dari adanya tanda-tanda perdarahan dan pemeriksaan darah baik dari
jumlah trombositnya dan morfologinya. Pengobatan lini ketiga masih
membutuhkan penelitian dan studi lebih lanjut.
Proses
penghancuran trombosit pada proses pembekuan darah akhirnya akan
menghasilkan fibrin, dimana fibrin ini berfungsi seperti jaring yang
menangkap dan menghalangi sel darah merah dan menyebabkan terjadinya
koagulasi. Pemecahan dari fibrin akan menghasilkan d-dimer, peningkatan
jumlah dan pemecahan fibrin yang semakin banyak akan meningkatkan kadar
d-dimer pula. Sedangkan antitrombin berfungsi untuk mencegah koagulasi
dengan menghambat faktor XII, IX, Xa, dan Trombin.
Komentar :
Posting Komentar