Pertusis
atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “batuk rejan” atau “batuk
100 hari” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang
sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari
pertusis adalah kuman gram (-) Bordetella pertussis.
Di
seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun.. meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa
masih mungkin terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi terutama didapatkan
pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu
pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan
hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara
maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah mulai
digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan
hingga 10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak diketemukan lagi,
meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang.
Dengan
mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala klinis,foto
roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi
mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat
penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut,
seperti ensefalopati, Respiratory distress syndrome, dan penyakit
paru-sistemik lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Batasan :
Pertussis
artinya batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran
pernafasan akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti
anak-anak yang tidak diimunisasi atau pada orang dewasa dengan kekebalan
menurun. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh
Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk
rejan (whooping cough)”. Selain itu sebutan untuk pertussis di Cina
adalah “batuk 100 hari”. 1,2,3
Pertussis
adalah penyakit yang serius pada anak-anak kecil diseluruh dunia. Pada
orang dewasa juga sering terjadi karier yang asimptomatik atau infeksi
yang ringan.
Prevalensi pertussis di seluruh dunia sekarang berkurang karena adanya imunisasi aktif.
Etiologi
Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. B. pertussis
ini merupakan satu-satunya penyebab pertusis endemis dan penyebab biasa
pertusis sporadis, terutama karena manusia merupaka satu-satunya host
untuk spesies ini. Penyakit serupa- disebut juga a mild pertussis-like illness- juga dapat disebabkan oleh B. parapertussis (terutama di Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia, dan Slovakia) dan B. bronchiseptica
(jarang pada manusia karena merupakan patogen yang lazim pada
binatang-kucing dan binatang pengerat-, kecuali pada manusia dengan
gangguan imunitas dan terpapar secara tidak biasa pada binatang).
Kadang-kadang sindroma klinik berupa batuk yang lama dan tidak
sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan, juga terdapat pada infeksi
adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory Syncitial Virus,
parainfluenza virus atau influenza virus, enterovirus dan mycoplasma. 1,3
.
Epidemiologi
Pertussis
adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat
menimbulkan “attack rate” 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh
dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari 500.000
meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis adalah
penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14
tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi
kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun. 1,2,3
Pertusis
terutama mewabah di negara-negara berkembang dan maju, seperti Italian,
daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau Nova
Scatia dimana digunakan vaksin yang kurang poten, dengan angka
insidensi rata-rata mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka
kematian 350.000 pada anak dibawah 5 tahun.2 Di
Amerika Serikat sendiri dilaporkan insidensi tertinggi 4500 kasus sejak
tahun 1967. namun setelah hal tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya
karena sudah lebih di galakkan vaksinasi . 3
Pertusis
adalah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun
sesudah akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian
kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. 1,3. Pertusis sangat menular dengan angka serangan 100% pada individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi melalui kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.
Dahulu
dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki
dengan perbandingan 0.9:1 . Namun dengan laporan terbaru (Farizo, 1992)
perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama
sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan
orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama samapai 27%
pada tahun 1992-1993.
Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak
yang
lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika
terpajan. Sedangkan antibodi dari ibu secara transplasental pada anak
tidaklah konsisten mencegah bayi yang baru lahir terhadap pertussis.
Pertussis pada neonatus yang berat dapat ditemukan dengan gejala-gejala
pertussis normal. 3
Patogen :
B. pertussis : kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-). Terbaik dibiak pada “glycerin-potato-blood agar media (border-gengou)”.
Organisme yang didapat umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase
dalam kultur dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II,
III, dan IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan
menghasilkan vaksin yang efektif. 4
Gambar 1. Bordetella pertussis, the agent of pertussis or whooping cough. Gram stain. (CDC)
Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama. B.pertussis
juga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya dimaksudkan
untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol,
hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan
protein permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting
untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernapasan.
Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase
diterima secara dominant menyebabkan cedera epitel local yang
menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. 2,3,4
TP
mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan
reseptor pada sel taret dan mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang
merangsang pengeluaran enzim. TP akan merangsang pengeluaran Adenosin
Diphosphate (ADP) sehingga akan mempengaruhi fungsi dari leukosit,
limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi peradangan saluran napas
dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan meningkatkan
produksi mucus yang akan menutupi permukaan silia. Yang pada akhirnya
bias mengarah ke komplikasi bronchopneumonia, infeksi sekunder bakteri
lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis karena apnea dan ventilation perfusion mismatch. 2,3
Patologi :
- organisme bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan menghasilkan faktor-faktor virulen (termasuk toksin)
- Ada
bendungan dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit dan leukosit PMN,
dan hasil hasil peradangan dalam lumen bronki. Pada awalnya terjadi
hiperplasia limfoid peribronkial. Terjadi bronkopneumonia dengan
nekrosis dan deskuamasi epitel permukaan bronki.
- Obstruksi bronkial dan atelektasis terjadi karena penumpukan sekresi mukus. Dapat pula timbul bronkiektasi.
- Perubahan
patologis juga ditemukan pada otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan
serebral dan atrofi kortikal yang kemungkinannya karena adanya anoksia.
Pada hati dapat ditemukan infiltrasi lemak.
Gambar 2. Kolonisasi B. pertussis pada sel epitel trakea
Manifestasi klinik :
- masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari).
- Penyakit dapat dibagi dalam 3 stadium :
*kataral
*paroksismal
*konvalenses
Penyakit umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.
- Manifestasi
klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi.
Penderita-penderita yang berumur <> 2 tahun. Jarang timbul panas
diatas 38,4°C pada semua golongan umur.
- Penyakit disebabkan B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan juga lama sakitnya lebih pendek.
- Stadium kataral : 1-2 minggu
Gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas predominan à
rinore, “conjuctival injection”, lakrimasi, batuk ringan, panas tidak
begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum dapat
ditetapkan.
- Stadium paroksismal : ³ 2-4 minggu
Jumlah
dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama
ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak yang
menimbulkan “whoop” ( udara dihisap secara kuat melalui glotis yang
sempit).
Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan.
Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug” pada saluran nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.
Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”.
Anak tampak apatis dan berat badan menurun.
Serangan-serangan
dapat dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik
atau malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak sakit minimal
dan lebih enak.
“Whoop” dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda.
- Stadium Konvalesens : 1-2 minggu
Episode paroksimal batuk dan muntah sedikit demi sedikit menurun dalam frekuensi dan beratnya.
Batuk dapat menetap untuk beberapa bulan.
Pemeriksaan fisik umumnya tidak informatif.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.
Pada beberapa penderita terjadi ronki difus. 4
Gambar 3. Pertusis pada infant
Gambar 4. Anak dengan pertusis
Diagnosis dan Diagnosis banding :
- Pertusis
dapat didiagnosis selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi yang
sangat muda, adolesens, dan pada orang dewasa oleh karena mempunyai
manifestasi yang atipis.
- Riwayat
kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah menolong, tetapi umumnya
riwayat ini negatif pada populasi yang telah banyak mendapat imunisasi.
- Batuk lebih dari 2 minggu dengan emesis sesudah batuk mempunyai nilai diagnostik yang penting.
- Leukositosis (20.000-50.000/mm³
darah) dengan limfositosis absolut khas, pada bayi-bayi jumlah leukosit
tidak dapat menolong untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis
terdapat pula pada banyak infeksi.
- Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelaktasis atau empiema.
- Diagnostik
spesifik tergantung dari didapatkannya organisme, terbaik diperiksa
selama fase awalpenyakit dengan melakukan apus nasofaring yang dibiak
pada media Bordet-Gengou. “Direct flourescent antibody staining” dari
spesimen faring dapat membedakan diagnosis spesifik secara tepat. 1,3,4
- Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari sepasang serum.
- ELISA
dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
“filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai
IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh
karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh
penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis
merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut.
IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat
spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi
pertussis. 4,5
- Tidak ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat sensitif dan sangat spesifik untuk menentukan infeksi B. pertussis selama semua fase penyakit.
- Kultur
paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya
dilakukan pada semua kasus yang tersangka. Test serologis berguna pada
stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada
individu dengan kultur negatif.
Komplikasi :
- Terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.
Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada ±90% kematian pada anak-anak < style="">B.Pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
- TBC laten dapat juga di aktifer.
- Atelektasis
dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental.
Aspirasi mukus atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
- Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
- Batuk
dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan
menetap.
- Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahan subkonjungtiva,
hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura
diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti,
dehidrasi dan gangguan nutrisi.
- Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur tinggi. 4
- Kejang-kejang
oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap “syndrome of
inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)”. 3,4
Gambar 5. Perdarahan subkonjunctiva dan “bluish”
Pencegahan :
- Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8 minggu.
Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi).
* jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.
* Anak-anak berumu > 7 tahun : tidak rutin diimunisasi.
Imunitas
tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens ;
infeksi pada penderita .besar biasanya ringan tetapi berperansebagai
sumber infeksi B.pertussis pada bayi-bayi non imun.
Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
* Efek
samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan , dan sering
terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
* Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan :
Penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang dll.
Riwayat keluarga adanya kejang, “sudden infant death syndrome (SIDS)” atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. 3,4
Kontra
indikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang
tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis ³ 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan ³ 40.5 °C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis. 4
- kontak :
* Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis.
* Kontak intim yang berumur <>
* Eritromisin
: 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak
yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga
diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan
mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan, dan mengurangi gejala-gejala penyakit. 1,2,3,4
* Orang-orang
yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi
sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin
selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada
waktu terjadi epidemi. 1,4
Pengobatan :
- eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis dari nasofaring dalam 3-4 hari.
Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika diberikan terlambat.
- Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi
- Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
- Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
- Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
- Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.
Prognosis :
- angka kematian telah menurun menjadi <10/1000>
- Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.
- Sekuele pernapasan yang lama sesudah infeksi pertussis tidak pasti. Umumnya bayi-bayi yang berumur <>
III. KESIMPULAN
Pertusis
merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan
bagian atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis
ditandai dengan batuk lama dan kadang-kadang terdengar seperti
menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari
secret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik.
Pertusis
sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang
belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12
tahun dan orang dewasa.
Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral, paroxsismal, dan konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2
minggu. Pada bayi, gejala menjadi lebih jelas justru pda stadium
konvalesen. Sedangkan pada orang dewasa mencapai puncaknya pada stadium
paroxsismal.
Diagnosa
pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal,
riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA,
foto thorax.
Terapi yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan suportif.
Prognosis
baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya
terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. Philadelphia, USA. WB Saunders, 1998. 6th edition. Chapter 62. h :1018-1023.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.
3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics. USA. WB Saunders, 2004. 17th edition. Chapter 180. h: 908-912,1079.
4. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
Komentar :
Posting Komentar