PENDAHULUAN
Masalah
demam berawal dari suatu hipotesis yang menyatakan bahwa demam
merupakan suatu proses alamiah yang timbul sebagai akibat suatu
stimulus. Ahli dari mesir beranggapan bahwa demam diakibatkan oleh
inflamasi lokal. Bilroth pada tahun 1868 membuktikannya dengan
menyuntikan pus kepada kelinci percobaan, kemudian kelinci tersebut
menjadi demam yang terjadi akibat adanya endotoksin, yaitu suatu produk
bakteri gram negatif yang mengkontaminasi bahan suntikan. Menkin pada
tahun 1943 berhasil mengisolasi bahan penyebab demam yang disebut pyrexin. Kemudian
Gery dan Waksman berhasil mengidentifikasi interleukin-1 (IL-1),
dikenal sebagai sitokin yang terbukti identik dengan pirogen endogen.
Dalam
evolusi kehidupan, tubuh telah mengembangkan suatu sistem pertahanan
yang cukup ampuh terhadap infeksi. Dan peninggian suhu badan memberikan
suatu peluang kerja yang optimal untuk sistem pertahanan tubuh.
II. PENGATURAN SUHU TUBUH
2.1. Keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas
Pengaturan
suhu memerlukan mekanisme perifer yang utuh, yaitu keseimbangan
produksi dan pelepasan panas, serta fungsi pusat pengatur suhu di
hipotalamus yang mengatur seluruh mekanisme. Bila laju pembentukan panas
dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, timbul panas
dalam tubuh dan temperatur tubuh meningkat. Sebaliknya, bila kehilangan
panas lebih besar, panas tubuh dan temperatur tubuh akan menurun.
2.1.1 Produksi Panas
Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic Rate (BMR). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan Basal Metabolic Rate
antara lain: (1) laju metabolisme dari semua sel tubuh; (2) laju
cadangan metabolisme yang disebabkan oleh aktivitas otot; (3)
metabolisme tambahan yang disebabkan oleh pengaruh tiroksin, epinefrin,
norepinefrin dan perangsangan simpatis terhadap sel; (5) metabolisme
tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi didalam sel
sendiri.
Pada
keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung,
tiroid, pankreas dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas
pada tingkat sel yang melibatkan adenosin trifosfat (ATP). Bayi baru
lahir menghasilkan panas pada jaringan lemak coklat, yang terletak
terutama dileher dan skapula. Jaringan ini kaya akan pembuluh darah dan
mempunyai banyak mitokondria. Pada keadaan oksidasi asam lemak pada
mitokondria dapat meningkatkan produksi panas sampai dua kali lipat.
Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan vasokonstriksi dan
memproduksi panas dengan menggigil sebagai respon terhadap kenaikan suhu
tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf pusat memegang
peranan penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada
lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat, pusat pengatur suhu
tubuh di hipotalamus mempengaruhi serabut eferen dari sistem saraf
otonom untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi). Peningkatan
aliran darah dikulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh
melalui permukaan kulit kesekitarnya dalam bentuk keringat. Dilain
pihak, pada lingkungan dingin akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah
sehingga akan mempertahankan suhu tubuh.
2.1.2 Kehilangan Panas
Berbagai
cara panas hilang dari kulit ke lingkungan dapat melalui beberapa cara
yaitu: (1) Radiasi : kehilangan panas dalam bentuk gelombang panas infra
merah, suatu jenis gelombang elektromagnetik. Dimana melalui cara ini
tidak menggunakan sesuatu perantara apapun. Secara umum enam puluh
persen panas dilepas secara radiasi; (2) Konduksi : kehilangan panas
melalui permukaan tubuh ke benda-benda lain yang bersinggungan dengan
tubuh, dimana terjadi pemindahan panas secara langsung antara tubuh
dengan objek pada suhu yang berbeda. Dibandingkan dengan posisi berdiri,
anak pada posisi tidur dengan permukaan kontak yang lebih luas akan
melepas panas lebih banyak melalui konduksi; (3) Konveksi : pemindahan
panas melalui pergerakan udara atau cairan yang menyelimuti permukaan
kulit; (4) Evaporasi : kehilangan panas tubuh sebagai akibat penguapan
air melalui kulit dan paru-paru, dalam bentuk air yang diubah dari
bentuk cair menjadi gas; dan dalam jumlah yang sedikit dapat juga
kehilangan panas melalui urine dan feses.
Faktor
fisik jelas akan mempengaruhi kemampuan respon perubahan suhu.
Pelepasan panas pada bayi sebagian besar disebabkan oleh karena
permukaan tubuhnya lebih luas dari pada anak yang lebih besar.
2.2 Konsep “Set-Point” dalam pengaturan suhu tubuh
Konsep “Set-Point”
dalam pengaturan temperatur yaitu semua mekanisme pengaturan temperatur
yang terus-menerus berupaya untuk mengembalikan temperatur tubuh
kembali ke tingkat “Set-Point”. Set-point disebut juga tingkat temperatur krisis, yang apabila suhu tubuh seseorang melampaui diatas set-point
ini, maka kecepatan kehilangan panas lebih cepat dibandingkan dengan
produksi panas, begitu sebaliknya. Sehingga suhu tubuhnya kembali ke
tingkat set-point. Jadi suhu tubuh dikendalikan untuk mendekati nilai set-point.
2.3 Peranan Hipotalamus dalam pengaturan suhu tubuh.
Suhu
tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan balik,
dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu
yang terletak pada area preoptik hipotalamus anterior
Telah dilakukan percobaan pemanasan dan pendinginan pada suatu area kecil di otak dengan menggunakan apa yang disebut dengan thermode. Alat ini dipanaskan dengan elektrik atau dialirkan air panas, atau didinginkan dengan air dingin. Dengan menggunakan thermode,
area preoptik hipotalamus anterior diketahui mengandung sejumlah besar
neuron yang sensitif terhadap panas dan dingin. Neuron-neuron ini
diyakini berfungsi sebagai sensor suhu untuk mengontrol suhu tubuh.
Apabila area preoptik dipanaskan, kulit diseluruh tubuh dengan segera
mengeluarkan banyak keringat, sementara pada waktu yang sama pembuluh
darah kulit diseluruh tubuh menjadi sangat berdilatasi. Jadi hal ini
merupakan reaksi yang cepat untuk menyebabkan tubuh kehilangan panas,
dengan demikian membantu mengembalikan suhu tubuh kembali normal. Oleh
karena itu, jelas bahwa area preoptik hipotalamus anterior memiliki
kemampuan untuk berfungsi sebagai termostatik pusat kontrol suhu tubuh.
Walaupun sinyal yang ditimbulkan oleh reseptor suhu dari hipotalamus
sangat kuat dalam mengatur suhu tubuh, reseptor suhu pada bagian kulit
dan beberapa jaringan khusus dalam tubuh juga mempunyai peran penting
dalam pengaturan suhu.
Daerah
spesifik dari interleukin-1 (IL-1) adalah regio preoptik hipotalamus
anterior, yang mengandung sekelompok saraf termosensitif yang berlokasi
di dinding rostral ventrikel III, disebut juga sebagai korpus kalosum
lamina terminalis (OVLT) yaitu batas antara sirkulasi dan otak. Saraf
termosensitif ini terpengaruh oleh daerah yang dialiri darah dan masukan
dari reseptor kulit dan otot. Saraf yang sensitif terhadap hangat
terpengaruh dan meningkat dengan penghangatan atau penurunan dingin,
sedang saraf yang sensitif terhadap dingin meningkat dengan pendinginan
atau penurunan dengan penghangatan. Telah dibuktikan bahwa IL-1
menghambat saraf sensitif terhadap hangat dan merangsang cold-sensitive neurons. Korpus
kalosum lamina terminalis (OVLT) mungkin merupakan sumber
prostaglandin. Selama demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVLT
melalui jendela kapiler untuk merangsang sel untuk memproduksi
prostaglandin E-2 (PGE-2); secara difusi masuk kedalam regio preoptik
hipotalamus anterior untuk menyebabkan demam atau bereaksi dalam serabut
saraf dalam OVLT. PGE-2 memainkan peran penting sebagai mediator,
terbukti dengan adanya hubungan erat antara demam, IL-1 dan peningkatan
kadar PGE-2 di otak. Penyuntikan PGE-2 dalam jumlah kecil kedalam
hipotalamus binatang, memproduksi demam dalam beberapa menit, lebih
cepat dari pada demam yang diinduksi oleh IL-1.
Hasil akhir mekanisme kompleks ini adalah peningkatan thermostatic set-point yang
akan memberi isyarat serabut saraf eferen, terutama serabut simpatis
untuk memulai menahan panas (vasokonstriksi) dan produksi panas
(menggigil). Keadaan ini dibantu dengan tingkah laku manusia yang
bertujuan untuk menaikkan suhu tubuh, seperti mencari daerah hangat atau
menutup tubuh dengan selimut. Hasil peningkatan suhu melanjut sampai
suhu tubuh mencapai peningkatan set-point. Peningkatan set-point
kembali normal apabila terjadi penurunan konsentrasi IL-1 atau
pemberian antipiretik dengan menghambat sintesis PGE-2. PGE-2 diketahui
mempengaruhi secara negative feed-back dalam pelepasan IL-1,
sehingga dapat mengakhiri mekanisme ini yang awalnya diinduksi demam.
Sebagai tambahan, arginin vasopresin (AVP) beraksi dalam susunan saraf
pusat untuk mengurangi pyrogen induced fever. Kembalinya suhu
menjadi normal diawali oleh vasodilatasi dan berkeringat melalui
peningkatan aliran darah kulit yang dikendalikan oleh serabut saraf
simpatis.
Gambar 1.1 Patogenesis Demam
III. DEFINISI DEMAM
Demam
adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas 37,2˚C
(99,5˚F) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus
yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam sangat berguna sebagai
pertanda adanya suatu proses inflamasi, biasanya tingginya demam
mencerminkan tingkatan dari proses inflamasinya. Dengan peningkatan suhu
tubuh juga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri maupun
virus.
Suhu
tubuh normal adalah berkisar antara 36,6˚C - 37,2˚C. Suhu oral sekitar
0,2 – 0,5˚C lebih rendah dari suhu rektal dan suhu aksila 0,5˚C lebih
rendah dari suhu oral. Suhu tubuh terendah pada pagi hari dan meningkat
pada siang dan sore hari. Pada cuaca yang panas dapat meningkat hingga
0,5˚C dari suhu normal. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam
merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas.
Demam
terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan
mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh
agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa
yang pendek. Demam pada anak dapat digolongkan sebagai (1) demam yang
singkat dengan tanda-tanda yang khas terhadap suatu penyakit sehingga
diagnosis dapat ditegakkan melalui riwayat klinis dan pemeriksaan fisik,
dengan atau tanpa uji laboratorium; (2) demam tanpa tanda-tanda yang
khas terhadap suatu penyakit, sehingga riwayat dan pemeriksaan fisik
tidak memberi kesan diagnosis tetapi uji laboratorium dapat menegakkan etiologi; dan (3) demam yang tidak diketahui sebabnya (Fever of Unknown Origin = FUO).
IV. ETIOLOGI DEMAM
Demam
terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada
hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen
biologis (faktor perangsang koloni granulosit-makrofag, interferon dan
interleukin), jejas jaringan (infark, emboli pulmonal, trauma, suntikan
intramuskular, luka bakar), keganasan (leukemia, limfoma, hepatoma,
penyakit metastasis), obat-obatan (demam obat, kokain, amfoterisin B),
gangguan imunologik-reumatologik (lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid), penyakit radang (penyakit radang usus), penyakit
granulomatosis (sarkoidosis), ganggguan endokrin (tirotoksikosis,
feokromositoma), ganggguan metabolik (gout, uremia, penyakit fabry,
hiperlipidemia tipe 1), dan wujud-wujud yang belum diketahui atau kurang
dimengerti (demam mediterania familial).
V. PATOGENESIS DEMAM
Tanpa
memandang etiologinya, jalur akhir penyebab demam yang paling sering
adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah set-point di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas.
Pirogen
adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu
pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar
tubuh seperti toksin, produk-produk bakteri dan bakteri itu sendiri
mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang
disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor
(TNF), interferon (INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11
(IL-11). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang
merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin
ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin,
yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.
Gambar 1.2 Patogenesis Demam
5.1 Pirogen Eksogen
Pirogen
eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar.
Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit,
untuk merangsang sintesis interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain yang
mungkin berperan sebagai pirogen eksogen, misalnya endotoksin, bekerja
langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi, racun
DDT dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek
langsung terhadap hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin
yang akan merangsang secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas
IL-1. Mekanisme ini dijumpai pada scarlet fever dan toxin shock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari mikroba dan non-mikroba.
Pirogen Mikrobial
Gambar 1.3 Efek Pirogen Mikrobial
5.1.1.1 Bakteri Gram-negatif
Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonela) disebabkan adanya heat-stable factor
yaitu endotoksin, yaitu suatu pirogen eksogen yang pertama kali
ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu
lipopolisakarida (LPS). Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang
progresif tergantung dari dosis (dose-related). Apabila bakteri
atau hasil pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau dalam darah,
keduanya akan difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan dan natural killer cell (NK cell).
Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan
melepaskan interleukin-1, kemudian interleukin-1 tersebut mencapai
hipotalamus sehingga segera menimbulkan demam.
Endotoksin juga dapat mengaktifkan sistem komplemen dan aktifasi faktor
hageman, seperti yang terdapat pada gambar 1.4 dan gambar 1.5
5.1.1.2 Bakteri Gram-positif
Pirogen
utama bakteri gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan
dinding sel. Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin, dimana
eksotoksin ini dapat menyebabkan pelepasan daripada sitokin yang berasal
dari T-helper dan makrofag yang dapat menginduksi demam. Per
unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini
menerangkan perbedaan prognosis yang lebih buruk berhubungan dengan
infeksi bakteri gram-negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab
terjadinya demam yang disebabkan infeksi pneumokokus diduga proses
imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh basil
gram-positif (misalnya difteri, tetanus, dan botulinum) pada umumnya
demam yang ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan
gram-positif piogenik atau bakteri gram-negatif lainnya.
5.1.1.3 Virus
Telah
diketahui secara klinis bahwa virus dapat menyebabkan demam. Pada tahun
1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang
mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus
memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invasi secara
langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis terjadi terhadap komponen
virus yang termasuk diantaranya yaitu pembentukan antibodi, induksi oleh
interferon dan nekrosis sel akibat virus.
5.1.1.4 Jamur
Produk
jamur baik yang mati maupun yang hidup, memproduksi pirogen eksogen
yang akan merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul ketika
produk jamur berada dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit
keganasan (misalnya leukemia) disertai demam yang berhubungan dengan
neutropenia sehingga mempunyai resiko tnggi untuk terserang infeksi
jamur invasif.
Gambar 1.5 Efek endotoksin
5.1.2 Pirogen Non-Mikrobial
5.1.2.1 Fagositosis
Fagositosis
antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk
terjadinya demam, seperti dalam proses transfusi darah dan anemia
hemolitik imun (immune hemolytic anemia).
5.1.2.2 Kompleks Antigen-antibodi
Demam
yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai
akibat reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang
tersensitisasi (immune fever) atau oleh antigen yang teraktivasi
sel-T untuk memproduksi limfokin, dan kemudian akan merangsang monosit
dan makrofag untuk melepas interleukin-1 (IL-1). Contoh demam yang
disebabkan oleh immunologically mediated diantaranya lupus
eritematosus sistemik (SLE) dan reaksi obat yang berat. Demam yang
berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih mungkin
disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan
leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1.
5.1.2.3 Steroid
Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan interleukin-1 (IL-1). Ethiocholanolon
dapat menyebabkan demam hanya bila disuntikan secara intramuskular
(IM), maka diduga demam tersebut disebabkan oleh pelepasan interleukin-1
(IL-1) oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan. Steroid ini diduga
bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien dengan sindrom
adrogenital dan demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown origin = FUO).
5.1.2.4 Sistem Monosit-Makrofag
Sel
mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi interleukin-1 (IL-1)
dan terjadinya demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga
sebagai penanggung jawab dalam memproduksi interleukin-1 (IL-1) oleh
karena demam dapat timbul dalam keadaan agranulositosis. Sel mononuklear
selain merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar
di dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus limfatik,
plasenta, rongga peritoneum dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag
berasal dari granulocyte-monocyte colony-forming unit (GM-CFU)
dalam sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran darah untuk tinggal
selama beberapa hari sebagai monosit yang beredar atau bermigrasi ke
jaringan yang akan berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag yang
berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan penting dalam pertahanan
tubuh termasuk diantaranya merusak dan mengeliminasi mikroba, mengenal
antigen dan mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit, aktivasi
limfosit-T dan destruksi sel tumor (Tabel 1.1). Keadaan yang berhubungan
dengan perubahan fungsi sistem monosit-makrofag diantaranya bayi baru
lahir, kortikosteroid dan terapi imunosupresif lain, lupus eritematosus
sistemik (SLE), sindrom Wiskott-Aldrich dan penyakit granulomatosus
kronik. Dua produk utama monosit-makrofag adalah interleukin-1 (IL-1)
dan Tumor necroting factor (TNF).
5.2 Pirogen Endogen
5.2.1 Interleukin-1 (IL-1)
Interleukin-1
(IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel sekretori,
dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas melalui
membran sel kedalam sirkulasi. Interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai
hormon oleh karena mempengaruhi organ-organ yang jauh. Penghancuran
interleukin-1 (IL-1) terutama dilakukan di ginjal.
Interleukin-1
(IL-1) terdiri atas 3 struktur polipeptida yang saling berhubungan,
yaitu 2 agonis (IL-1α dan IL-1β) dan sebuah antagonis (IL-1 reseptor
antagonis). Reseptor antagonis IL-1 ini berkompetisi dengan IL-1α dan
IL-1β untuk berikatan dengan reseptor IL-1. Jumlah relatif IL-1 dan
reseptor antagonis IL-1 dalam suatu keadaan sakit akan mempengaruhi
reaksi inflamasi menjadi aktif atau ditekan. Selain makrofag sebagai
sumber utama produksi IL-1, sel kupfer di hati, keratinosit, sel
langerhans pankreas serta astrosit juga memproduksi IL-1. Pada jaringan
otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga berperan dalam respon imun
dalam susunan saraf pusat (SSP) dan demam sekunder terhadap perdarahan
SSP.
Fagositosis
|
Antigen Mikrobial dan Non-mikrobial
|
Memproses dan mempresentasikan
|
Peran utama mekanisme pertahanan sebelum antigen
|
antigen
|
dipresentasikan pada sel-T
|
Aktivasi sel-T
|
Sel-T menjadi aktif hanya setelah kontak antigen pada
|
|
permukaan monosit-makrofag
|
Tumorisidal
|
Umumnya disebabkan oleh TNF
|
Sekresi dari :
| |
Interferon α dan β
|
Mempengaruhi respon imun, anti virus, anti proliferatif
|
IL-1
|
Efek primer pada hipotalamus untuk mengindusi demam,
|
|
aktivasi sel-T dan produksi antibodi oleh sel-B
|
IL-6
|
Induksi demam dan hepatic acute phase proteins, aktivasi
|
|
sel-B dan stem cell, resistensi non spesifik pada infeksi
|
IL-8
|
Aktivasi neutrofil dan sintesis IgE
|
IL-11
|
Efek pada sel limfopoetik dan mieloid/eritroid, perangsangan
|
|
sekresi T-cell dependent B-cell
|
Tumor necrosis factor
|
Aktivasi selular, aktivasi anti tumor
|
Prostaglandin
|
Beraksi sebagai supresi imun, mengurangi IL-1
|
Lisozim
|
Zat penting bagi proses peradangan
|
Tabel 1.1 Fungsi utama sistem Monosit-Makrofag
Interleukin-1
mempunyai banyak fungsi, fungsi primernya yaitu menginduksi demam pada
hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran IL-1 diperlukan untuk
proliferasi sel-T serta aktivasi sel-B, maka sebelumnya IL-1 dikenal
sebagai lymphocyte activating factor (LAF) dan B-cell activating factor
(BAF). Interleukin-1 merangsang beberapa protein tertentu di hati,
seperti protein fase akut misalnya fibrinogen, haptoglobin,
seruloplasmin dan CRP, sedangkan sintesis albumin dan transferin
menurun. Secara karakteristik akan terlihat penurunan konsentrasi zat
besi (Fe) serta seng (Zn) dan peningkatan konsentrasi tembaga (Cu).
Keadaan hipoferimia terjadi sebagai akibat penurunan asimilasi zat besi
pada usus dan peningkatan cadangan zat besi dalam hati. Perubahan ini
mempengaruhi daya tahan tubuh hospes oleh karena menurunkan daya serang
mikroorganisme dengan mengurangi nutrisi esensialnya, seperti zat besi
dan seng. Dapat timbul leukositosis, peningkatan kortisol dan laju endap
darah.
Fungsi Utama Interleukin-1
Induksi demam Stimulasi Prostaglandin-E2 (PGE-2)
Aktivasi sel-T dan sel-B Reaksi fase akut
Respon inflamasi Proteolisis otot
Supresi nafsu makan Absorpsi tulang
Stimulasi Kolagenase Rasa kantuk/tidur
Tabel 1.2 Fungsi Utama Interleukin-1
5.2.2 Tumor Necrosis Factor (TNF)
Tumor necrosis factor ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini selain dihasilkan oleh monosit dan makrofag, limfosit, natural killer cells
(sel NK), sel kupffer juga oleh astrosit otak, sebagai respon tubuh
terhadap rangsang atau luka yang invasif. Sitokin dalam jumlah yang
sedikit mempunyai efek biologik yang menguntungkan. Berbeda dengan IL-1
yang mempunyai aktivitas anti tumor yang rendah, TNF mempunyai efek
langsung terhadap sel tumor. Ia mengubah pertahanan tubuh terhadap
infeksi dan merangsang pemulihan jaringan menjadi normal, termasuk
penyembuhan luka. Tumor necrosis factor juga mempunyai efek untuk
merangsang produksi IL-1, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan
neutrofil serta meningkatkan fagositosis dan sitotoksik.
Meskipun TNF mempunyai efek biologis yang serupa dengan IL-1, TNF tidak mempunyai efek langsung pada aktivasi stem cell dan limfosit. Seperti IL-1, TNF dianggap sebagai pirogen endogen oleh karena efeknya pada hipotalamus dalam menginduksi demam. Tumor necrosis factor identik dengan cachectin, yang menghambat aktivitas lipase lipoprotein dan menyebabkan hipertrigliseridemia serta cachexia,
petanda adanya hubungan dengan infeksi kronik. Tingginya kadar TNF
dalam serum mempunyai hubungan dengan aktivitas atau prognosis berbagai
penyakit infeksi, seperti meningitis bakterialis, leismaniasis, infeksi
virus HIV, malaria dan penyakit peradangan usus. Tumor necrosis factor juga diduga berperan dalam kelainan klinis lain, seperti artritis reumatoid, autoimmune disease, dan graft-versus-host disease.
5.2.3 Limfosit yang Teraktivasi
Dalam
sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas 2
jenis yaitu sel-B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan
sel-T yang mengatur sintesis antibodi dan secara tidak langsung
berfungsi sebagai sitotoksik, serta memproduksi respon inflamasi
hipersensitivit tipe lambat. Interleukin-1 berperan penting dalam
aktivasi limfosit (dahulu disebut sebagai LAF). Sel limfosit hanya
mengenal antigen dan menjadi aktif setelah antigen diproses dan
dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL-1 pada
hipotalamus (seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada
limfosit-T (sebagai LAF) merupakan bukti kuat dari manfaat demam.
Sebagai jawaban stimulasi IL-1, limfosit-T menghasilkan berbagai zat
seperti yang terdapat dalam tabel 1.2
5.2.4 Interferon
Interferon
dikenal oleh karena kemampuan untuk menekan replikasi virus di dalam
sel yang terinfeksi. Berbeda dengan IL-1 dan TNF, interferon diproduksi
oleh limfosit-T yang teraktivasi. Terdapat 3 jenis molekul yang berbeda
dalam aktivitas biologik dan urutan asam aminonya, yaitu interferon-α
(INF alfa), interferon-β (INF beta) dan interferon-gama (ITNF gama).
Interferon alfa dan beta diproduksi oleh hampir semua sel (seperti
leukosit, fibroblas dan makrofag) sebagai respon terhadap infeksi virus,
sedangkan sintesis interferon gama dibatasi oleh limfosit-T. Meski
fungsi sel limfosit-T pada neonatus normal sama efektifnya dengan
dewasa, namun interferon (khususnya interferon gama) fungsinya belum
memadai, sehingga diduga menyababkan makin beratnya infeksi virus pada
bayi baru lahir.
Interferon
gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi
sel-B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi interferon gama
sebagai pirogen endogen dapat secara tidak langsung merangsang makrofag
untuk melepaskan interleukin-1 (macrophage-activating factor)
atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. Interferon
mungkin mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta
meningkatkan efisiensi natural killer cell. Aktivitas antivirus
disebabkan penyesuaian dari sistem interferon dengan berbagai jalur
biokimia yang mempunyai efek anti virus dan beraksi pada berbagai fase
siklus replekasi virus. Interferon juga memperlihatkan aktivitas
antitumor baik secara langsung dengan cara mencegah pembelahan sel
melalui pemanjangan jalur siklus multiplikasi sel atau secara tidak
langsung dengan mengubah respon imun. Aktivitas antivirus dan antitumor
interferon terpengaruhi oleh meningkatnya suhu. Interleukin-4 (IL-4),
yang menginduksi sintesis imunoglobulin IgE dan IgG4 oleh sel
polimorfonuklear, tonsil atau sel limpa dari manusia sehat dan pasien
alergi, dihalangi oleh interferon gama dan interferon alfa, berarti
limfokin ini beraksi sebagai antagonis IL-4.
Interferon
melalui kemampuan biologiknya, dapat digunakan sebagai obat pada
berbagai penyakit. Interferon alfa semakin sering dipakai dalam
pengobatan berbagai infeksi virus, seperti hepatitis B, C dan delta.
Efek toksik preparat interferon diantaranya demam, rasa dingin, nyeri
sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat, somnolen dan muntah. Demam
dapat muncul pada separuh pasien yang mendapat interferon, dan dapat
mencapai 40˚C. Efek samping ini dapat diatasi dengan pemberian
parasetamol dan prednisolon. Efek samping berat diantaranya gagal hati,
gagal jantung, neuropati dan pansitopenia.
5.2.5 Interleukin-2 (IL-2)
Interleukin-2
merupakan limfokin penting kedua (setelah interferon) yang dilepas oleh
limfosit-T yang terakivasi sebagai respons stimulasi IL-1.
Interleukin-2 mempunyai efek penting pada pertumbuhan dan fungsi sel-T, Natural killer cell
(sel NK) dan sel-B. Telah dilaporkan adanya kasus defisiensi imun
kongenital berat disertai dengan defek spesifik dari produksi IL-2.
Interleukin-2 memperlihatkan efek sitotoksik antitumor (terhadap
melanoma ginjal, usus besar dan paru) sebagai hasil aktivasi spesifik
dari natural killer cell (lymphokine-activated killer cell
atau LAK), yang memiliki aktivitas sototoksik terhadap proliferasi sel
tumor. Uji klinis dengan IL-2 sedang dilakukan saat ini pada tumor
tertentu pada anak. Respon neuroblastoma tampak cukup baik terhadap
terapi imun dengan IL-2. Sayangnya, terapi imun dengan IL-2 dapat
menyebabkan defek kemotaksis neutrofil yang reversibel, diikuti
peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien yang menerimanya.
Efek samping lainnya diantaranya lemah badan, demam, anoreksia dan nyeri
otot. Gejala ini dapat dikontrol dengan parasetamol. Interleukin-2
menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1, TNF dan INF alfa,
yang akan menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului bocornya
pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan oedem paru dan resistensi
cairan yang hebat. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi IL-2
diantaranya SLE (Systemic Lupus Erytematosus), diabetes melitus (DM), luka bakar dan beberapa bentuk keganasan.
5.2.6 Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)
Dari empat hemopoetic colony-stimulating factor yang berpotensi tinggi menguntungkan adalah eritropoetin, granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF), dan macrophage colony-stimulating factor (M-CSF). Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF) adalah limfokin lain yang diproduksi terutama oleh limfosit,
meskipun makrofag dan sel mast juga mempunyai kemampuan untuk
memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF adalah menstimulasi sel progenitor
hemopoetik untuk berproliferasi dan berdeferensiasi menjadi granulosit
dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya. Penggunaan dalam
pengobatan diantaranya digunakan untuk pengobatan mielodisplasia, anemia
aplastik dan efek mielotoksik pada pengobatan keganasan serta
transplantasi. Pemberian GM-CSF dapat disertai dengan terjadinya demam,
yang dapat dihambat dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid (Non Steriod Anti Inflamation Drug = NSAID) seperti ibuprofen.
VI. KESIMPULAN
Demam
adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas 37,2˚C
(99,5˚F) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di area preoptik
hipotalamus anterior yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam
terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan
mekanisme pertahanan hospes. Dimana mekanisme tersebut menyebabkan
perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada hipotalamus yang dapat
disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen biologis, jejas
jaringan, keganasan, obat-obatan, gangguan imunologik-reumatologik,
penyakit peradangan, penyakit granulomatosis, ganggguan endokrin,
ganggguan metabolik, dan bentuk-bentuk yang belum diketahui atau kurang
dimengerti.
Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah “set-point” di
hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen
adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu
pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar
tubuh yaitu pirogen mikrobial dan pirogen non-mikrobial. Pirogen
mikrobial diantaranya seperti bakteri gram positif, bakteri gram
negatif, virus maupun jamur; sedangkan pirogen non-mikrobial antara lain
proses fagositosis, kompleks antigen-antibodi, steroid dan sistem
monosit-makrofag; yang keseluruhannya tersebut mempunyai kemampuan untuk
merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang
diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), limfosit yang teraktivasi, interferon (INF), interleukin-2 (IL-2) dan Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF).
Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang merupakan
akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini
merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang
kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Brahmer J., Sande A.M. 2001. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W., Merle S.A. Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease. 7th edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 240-246.
Bellig L.L. 2005. Fever. http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm
Dale C.D. 2004. The Febrile Patient. In : Lee Goldman., Dennis Ausiello. Cecil Textbook of Medicine. Volume 2. 22nd edition. Philadelpia. Saunders. 1729-1733.
Dinarello A.C., Gelfan A.J. 2001. Fever and Hypertermia. http://www.harrisononline.com.
Ganong F.W. 2003. Temperature Regulation. Review of Medical Physiology. 21st edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 254-259.
Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 1141-1155.
Hariyanto W. 1995. Mengapa Kita Demam. Jakarta. Penerbit Arcan. 1-23.
Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J. Medical Microbiology & Immunology. 7th edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 35-44.
Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam : Edhiwan P., J Teguh W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik. Bandung. Concept Publishers. 28-29.
Peterson J.C. 2002. Interleukin-1. http:/www.rndsystem.com/imag.
Powel R.K. 2004. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson Textbook of Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders. 839-841.
Komentar :
Posting Komentar