Pendahuluan
Campak
atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 3 stadium
yaitu (1)Stadium inkubasi yang berkisar antara 10 sampai 12 hari setelah
pajanan pertama terhadap virus dan dapat disertai gejala minimal maupun
tidak bergejala, (2)Stadium prodromal yang menunjukkan gejala demam,
konjungtivitis, pilek, dan batuk yang meningkat serta ditemukannya
enantem pada mukosa (bercak Koplik), dan (3)Stadium erupsi yang ditandai
dengan keluarnya ruam makulopapular yang didahului dengan meningkatnya
suhu badan (Phillips, 1983)
Angka
kejadian campak di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih tinggi
sekitar 3000-4000 per tahun demikian pula frekuensi terjadinya kejadian
luar biasa tampak meningkat dari 23 kali per tahun menjadi 174. Namun case fatality rate telah dapat diturunkan dari 5,5% menjadi 1,2%. Umur terbanyak menderita campak adalah <12>
Transmisi
campak terjadi melalui udara, kontak langsung maupun melalui droplet
dari penderita saat gejala yang ada minimal bahkan tidak bergejala.
Penderita masih dapat menularkan penyakitnya mulai hari ke-7 setelah
terpajan hingga 5 hari setelah ruam muncul. Biasanya seseorang akan
mendapat kekebalan seumur hidup bila telah sekali terinfeksi oleh campak
(Rampengan, 1997).
Etiologi
Virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan genus Morbili virus.
Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang mirip dengan
virus Parainfluenza dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada sekret
nasofaring, darah dan urin paling tidak selama masa prodromal hingga
beberapa saat setelah ruam muncul. Virus campak adalah organisme yang
tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh manusia.
Pada temperatur kamar selama 3-5 hari virus kehilangan 60% sifat
infektifitasnya. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur kamar,
15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu dalam temperatur
35˚C, beberapa hari pada suhu 0˚C, dan tidak aktif pada pH rendah
(Soegeng Soegijanto, 2002).
Patologi
Lesi
pada campak terutama terdapat pada kulit., membran mukosa nasofaring,
bronkus, saluran pencernaan, dan konjungtiva. Di sekitar kapiler
terdapat eksudat serosa dan proliferasi dari sel mononuklear dan
beberapa sel polimorfonuklear. Karakteristik patologi dari Campak ialah
terdapatnya distribusi yang luas dari sel raksasa berinti banyak yang
merupakan hasil dari penggabungan sel. Dua tipe utama dari sel raksasa
yang muncul adalah (1) sel Warthin-Findkeley yang ditemukan pada sistem
retikuloendotel (adenoid, tonsil, appendiks,
limpa dan timus) dan (2) sel epitel raksasa yang muncul terutama pada
epitel saluran nafas. Lesi di daerah kulit terutama terdapat di sekitar
kelenjar sebasea dan folikel rambut. Terdapat reaksi radang umum pada
daerah bukal dan mukosa faring yang meluas hingga ke jaringan limfoid
dan membran mukosa trakeibronkial. Pneumonitis intersisial karena virus
campak menyebabkan terbentuknya sel raksasa dari Hecht. Bronkopneumonia
yang terjadi mungkin disebabkan infeksi sekunder oleh bakteri (Cherry,
2004).
Pada
kasus encefalomyelitis terdapat demyelinisasi vaskuler dari area di
otak dan medula spinalis. Terdapat degenerasi dari korteks dan
subsdtansia alba dengan inclusion body intranuklear dan intrasitoplasmik pada subacute sclerosing panencephalitis (Phillips, 1983).
Patogenesis
Campak
merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan sedikit virus yang
infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Lokasi utama
infeksi virus campak adalah epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi
virus pertama pada saluran nafas sangat minimal. Kejadian yang lebih
penting adalah penyebaran pertama virus campak ke jaringan limfatik
regional yang menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia
primer, terjadi multiplikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi
pada jaringan limfatik regional maupun jaringan limfatik yang lebih
jauh. Multiplikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama infeksi.
Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif dan
menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit, konjungtiva,
dan saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ
lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi,
kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai
puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2
hingga 3 hari. Selama infeksi virus campak akan bereplikasi di dalam sel
endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag (Cherry, 2004).
Daerah
epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan
kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia,
otitis media, dan lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus dan herpes
virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak (Soedarmo dkk., 2002).
Tabel 1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit
Hari
|
Manifestasi
|
0
|
Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
|
1-2
|
Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
|
2-3
|
Viremia primer
|
3-5
|
Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
|
5-7
|
Viremia sekunder
|
7-11
|
Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran nafas
|
11-14
|
Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
|
15-17
|
Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang
|
Sumber :Feigin et al.2004.Textbook of Pediatric Infectious Diseases 5th edition
Manifestasi klinis
Stadium inkubasi
Masa
inkubasi campak berlangsung kira-kira 10 hari (8 hingga 12 hari).
Walaupun pada masa ini terjadi viremia dan reaksi imunologi yang
ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala sakit.
Stadium prodromal
Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal yang berlangsung
selama 2 hingga 4 hari. Biasanya terdiri dari gejala klinik khas berupa
batuk, pilek dan konjungtivitis, juga demam. Inflamasi konjungtiva dan
fotofobia dapat menjadi petunjuk sebelum munculnya bercak Koplik. Garis
melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi
penunjang diagnosis pada stadium prodromal. Garis tersebut akan
menghilang bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena radang
Koplik
spot yang merupakan tanda patognomonik untuk campak muncul pada hari
ke-10±1 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar
butiran pasir dengan areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya
bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada mukosa bukal di depan gigi
geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada bagian lain dari rongga
mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula
lakrimalis. Muncul 1 – 2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang
dengan cepat yaitu sekitar 12-18 jam kemudian. Pada akhir masa
prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan
penderita akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan.
Stadium erupsi
Pada
campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu
pada saat stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan
pernafasan dan saat suhu berkisar 39,5˚C. Ruam pertama kali muncul
sebagai makula yang tidak terlalu tampak jelas di lateral atas leher,
belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi
makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada
bagian atas pada 24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar ke
punggung, abdomen, seluruh tangan, paha dan terakhir kaki, yaitu sekitar
hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di kaki, ruam pada
wajah akan menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai dengan
urutan munculnya (Phillips, 1983).
Saat
awal ruam muncul akan tampak berwarna kemerahan yang akan tampak
memutih dengan penekanan. Saat ruam mulai menghilang akan tampak
berwarna kecokelatan yang tidak memudar bila ditekan. Seiring dengan
masa penyembuhan maka muncullah deskuamasi kecokelatan pada area
konfluensi. Beratnya penyakit berbanding lurus
dengan gambaran ruam yang muncul. Pada infeksi campak yang berat, ruam
dapat muncul hingga menutupi seluruh bagian kulit, termasuk telapak
tangan dan kaki. Wajah penderita juga menjadi bengkak sehingga sulit
dikenali (Phillips, 1983).
Diagnosis
Diagnosis
campak biasanya cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pemeriksaan
laboratorium jarang dilakukan. Pada stadium prodromal dapat ditemukan
sel raksasa berinti banyak dari apusan mukosa hidung. Serum antibodi
dari virus campak dapat dilihat dengan pemeriksaan Hemagglutination-inhibition (HI), complement fixation (CF), neutralization, immune precipitation, hemolysin inhibition, ELISA, serologi IgM-IgG, dan fluorescent antibody
(FA). Pemeriksaan HI dilakukan dengan menggunakan dua sampel yaitu
serum akut pada masa prodromal dan serum sekunder pada 7 – 10 hari
setelah pengambilan sampel serum akut. Hasil dikatakan positif bila
terdapat peningkatan titer sebanyak 4x atau lebih (Cherry, 2004). Serum
IgM merupakan tes yang berguna pada saat munculnya ruam. Serum IgM akan
menurun dalam waktu sekitar 9 minggu, sedangkan serum IgG akan menetap
kadarnya seumur hidup. Pada pemeriksaan darah tepi, jumlah sel darah
putih cenderung menurun. Pungsi lumbal dilakukan bila terdapat penyulit
encephalitis dan didapatkan peningkatan protein, peningkatan ringan
jumlah limfosit sedangkan kadar glukosa normal (Phillips, 1983).
Diagnosis Banding
Diagnosis banding morbili diantaranya :
1. Roseola infantum. Pada Roseola infantum, ruam muncul saat demam telah menghilang.
2. Rubella. Ruam berwarna merah muda dan timbul lebih cepat dari campak. Gejala yang timbul tidak seberat campak.
3. Alergi obat. Didapatkan riwayat penggunaan obat tidak lama sebelum ruam muncul dan biasanya tidak disertai gejala prodromal.
4. Demam skarlatina.
Ruam bersifat papular, difus terutama di abdomen. Tanda patognomonik
berupa lidah berwarna merah stroberi serta tonsilitis eksudativa atau
membranosa (Alan R. Tumbelaka, 2002).
Campak yang termodifikasi
Penyakit
campak yang termodifikasi muncul pada orang yang hanya memiliki
setengah daya tahan terhadap campak. Hal tersebut dapat diakibatkan
riwayat penggunaan serum globulin maupun pada anak usia kurang dari 9
bulan karena masih terdapatnya antibodi campak transplasental dari ibu.
Ditandai dengan gejala penyakit yang lebih ringan. Stadium prodromal
akan menjadi lebih pendek. Batuk, pilek dan demam lebih ringan. Bercak
Koplik lebih sedikit dan kurang jelas, namun dapat juga tidak muncul
sama sekali. Ruam yang muncul sama dengan infeksi campak klasik, tetapi
tidak bersifat konfluens. Pada beberapa orang, infeksi campak yang
termodifikasi ini dapat tidak memberikan gejala apapun (Cherry, 2004).
Campak atipikal
Didefinisikan
sebagai sindroma klinik yang muncul pada orang yang sebelumnya telah
kebal akibat terpajan pada infeksi campak alamiah. Biasanya muncul pada
orang yang telah mendapat vaksin dari virus campak yang dimatikan
Masa
inkubasi dari campak atipikal sama seperti pada campak yang tipikal
yaitu sekitar 7 hingga 14 hari. Stadium prodromal ditandai dengan demam
tinggi yang mendadak (39,5˚C sampai 40,6˚C) dan biasanya sakit kepala.
Bisa juga didapatkan gejala nyeri perut, mialgia, batuk non-produktif,
muntah, nyeri dada dan rasa lemah. Bercak Koplik jarang ditemui. Dua
atau tiga hari setelah onset penyakit muncullah ruam yang dimulai dari
distal ekstremitas dan menyebar ke arah kepala. Ruam sedikit berwarna
kekuningan, terlihat jelas pada pergelangan tangan dan kaki serta
terdapat juga pada telapak tangan dan kaki. Ruam dapat berbentuk vesikel
dan terasa gatal. Pada campak atipikal dapat muncul efusi pleura, sesak
nafas, hepatosplenomegali, hiperestesia, rasa lemah maupun paresthesia.
Diagnosis dari campak atipikal dapat ditegakkan melalui tes serologis.
Bila sampel serum awal diambil sebelum atau pada saat onset ruam, CF dan
titer HI biasanya kurang dari 1:5. Pada hari ke-10 infeksi kedua titer
akan meningkat mencapai 1:1280 atau lebih. Pada campak yang tipikal, di
hari ke-10 infeksi titer jarang melebihi 1:160 (Cherry, 2004).
Penyulit
Campak
menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak berumur lebih
kecil. Kebanyakan penyulit campak terjadi bila ada infeksi sekunder oleh
bakteri. Beberapa penyulit campak adalah :
a) Bronkopneumonia
Merupakan
salah satu penyulit tersering pada infeksi campak. Dapat disebabkan
oleh invasi langsung virus campak maupun infeksi sekunder oleh bakteri (Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus, dan Haemophyllus influenza).
Ditandai dengan adanya ronki basah halus, batuk, dan meningkatnya
frekuensi nafas. Pada saat suhu menurun, gejala pneumonia karena virus
campak akan menghilang kecuali batuk yang masih akan bertahan selama
beberapa lama. Bila gejala tidak berkurang, perlu dicurigai adanya
infeksi sekunder oleh bakteri yang menginvasi mukosa saluran nafas yang
telah dirusak oleh virus campak. Penanganan dengan antibiotik diperlukan
agar tidak muncul akibat yang fatal.
b) Encephalitis
Komplikasi
neurologis tidak jarang terjadi pada infeksi campak. Gejala
encephalitis biasanya timbul pada stadium erupsi dan dalam 8 hari
setelah onset penyakit. Biasanya gejala komplikasi neurologis dari
infeksi campak akan timbul pada stadium prodromal. Tanda dari
encephalitis yang dapat muncul adalah : kejang, letargi, koma, nyeri
kepala, kelainan frekuensi nafas, twitching dan
disorientasi. Dugaan penyebab timbulnya komplikasi ini antara lain
adalah adanya proses autoimun maupun akibat virus campak tersebut.
c) Subacute Slcerosing Panencephalitis (SSPE)
Merupakan
suatu proses degenerasi susunan syaraf pusat dengan karakteristik
gejala terjadinya deteriorisasi tingkah laku dan intelektual yang
diikuti kejang. Merupakan penyulit campak onset lambat yang rata-rata
baru muncul 7 tahun setelah infeksi campak pertama kali. Insidensi pada
anak laki-laki 3x lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan.
Terjadi pada 1/25.000 kasus dan menyebabkan kerusakan otak progresif dan
fatal. Anak yang belum mendapat vaksinansi memiliki risiko 10x lebih
tinggi untuk terkena SSPE dibandingkan dengan anak yang telah mendapat
vaksinasi (IDAI, 2004).
d) Konjungtivitis
Konjungtivitis
terjadi pada hampir semua kasus campak. Dapat terjadi infeksi sekunder
oleh bakteri yang dapat menimbulkan hipopion, pan oftalmitis dan pada
akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
e) Otitis Media
Gendang telinga biasanya hiperemi pada fase prodromal dan stadium erupsi.
f) Diare
Diare
dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran cerna
sehingga mengganggu fungsi normalnya maupun sebagai akibat menurunnya
daya tahan penderita campak (Soegeng Soegijanto, 2002)
g) Laringotrakheitis
Penyulit ini sering muncul dan kadang dapat sangat berat sehingga dibutuhkan tindakan trakeotomi.
h) Jantung
Miokarditis
dan perikarditis dapat menjadi penyulit campak. Walaupun jantung
seringkali terpengaruh efek dari infeksi campak, jarang terlihat gejala
kliniknya.
i) Black measles
Merupakan
bentuk berat dan sering berakibat fatal dari infeksi campak yang
ditandai dengan ruam kulit konfluen yang bersifat hemoragik. Penderita
menunjukkan gejala encephalitis atau encephalopati dan pneumonia.
Terjadi perdarahan ekstensif dari mulut, hidung dan usus. Dapat pula
terjadi koagulasi intravaskuler diseminata (Cherry, 2004).
Imunitas
Struktur antigenik
Imunoglobulin
kelas IgM dan IgG distimulasi oleh infeksi campak. Kemudian IgM
menghilang dengan cepat (kurang dari 9 minggu setelah infeksi) sedangkan
IgG tinggal tak terbatas dan jumlahnya dapat diukur. IgM menunjukkan
baru terkena infeksi atau baru mendapat vaksinasi. IgG menandakan pernah
terkena infeksi. IgA sekretori dapat dideteksi dari sekret nasal dan
hanya dapat dihasilkan oleh vaksinasi campak hidup yang dilemahkan,
sedangkan vaksinasi campak dari virus yang dimatikan tidak akan
menghasilkan IgA sekretori (Soegeng Soegijanto, 2002).
Imunitas transplasental
Bayi
menerima kekebalan transplasental dari ibu yang pernah terkena campak.
Antibodi akan terbentuk lengkap saat bayi berusia 4 – 6 bulan dan
kadarnya akan menurun dalam jangka waktu yang bervariasi. Level antibodi
maternal tidak dapat terdeteksi pada bayi usia 9 bulan, namun antibodi
tersebut masih tetap ada. Janin dalam kandungan ibu yang sedang
menderita campak tidak akan mendapat kekebalan maternal dan justru akan
tertular baik selama kehamilan maupun sesudah kelahiran (Phillips,
1983).
Imunisasi
Imunisasi
campak terdiri dari Imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif dapat
berasal dari virus hidup yang dilemahkan maupun virus yang dimatikan.
Vaksin dari virus yang dilemahkan akan memberi proteksi dalam jangka
waktu yang lama dan protektif meskipun antibodi yang terbentuk hanya 20%
dari antibodi yang terbentuk karena infeksi alamiah. Pemberian secara
sub kutan dengan dosis 0,5ml. Vaksin tersebut sensitif terhadap cahaya
dan panas, juga harus disimpan pada suhu 4˚C, sehingga harus digunakan
secepatnya bila telah dikeluarkan dari lemari pendingin.
Vaksin
dari virus yang dimatikan tidak dianjurkan dan saat ini tidak digunakan
lagi. Respon antibodi yang terbentuk buruk, tidak tahan lama dan tidak
dapat merangsang pengeluaran IgA sekretori.
Indikasi
kontra pemberian imunisasi campak berlaku bagi mereka yang sedang
menderita demam tinggi, sedang mendapat terapi imunosupresi, hamil,
memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau
bahan-bahan berasal dari darah (Soegeng Soegijanto, 2001).
Imunisasi
pasif digunakan untuk pencegahan dan meringankan morbili. Dosis serum
dewasa 0,25 ml/kgBB yang diberikan maksimal 5 hari setelah terinfeksi,
tetapi semakin cepat semakin baik. Bila diberikan pada hari ke 9 atau 10
hanya akan sedikit mengurangi gejala dan demam dapat muncul meskipun
tidak terlalu berat.
Penatalaksanaan
Pengobatan
bersifat suportif dan simptomatis, terdiri dari istirahat, pemberian
cairan yang cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan bila terjadi
infeksi sekunder, anti konvulsi apabila terjadi kejang, antipiretik bila
demam, dan vitamin A 100.000 Unit untuk anak usia 6 bulan hingga 1
tahun dan 200.000 Unit untuk anak usia >1 tahun. Vitamin A diberikan
untuk membantu pertumbuhan epitel saluran nafas yang rusak, menurunkan
morbiditas campak juga berguna untuk meningkatkan titer IgG dan jumlah
limfosit total (Cherry, 2004).
Indikasi
rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5˚C), dehidrasi, kejang,
asupan oral sulit atau adanya penyulit. Pengobatan dengan penyulit
disesuaikan dengan penyulit yang timbul (IDAI, 2004)
Pencegahan
Pencegahan terutama dengan melakukan imunisasi campak. Imunisasi Campak
di Indonesia termasuk Imunisasi dasar yang wajib diberikan terhadap
anak usia 9 bulan dengan ulangan saat anak berusia 6 tahun dan termasuk
ke dalam program pengembangan imunisasi (PPI). Imunisasi campak dapat
pula diberikan bersama Mumps dan Rubela (MMR) pada usia 12-15 bulan.
Anak yang telah mendapat MMR tidak perlu mendapat imunisasi campak
ulangan pada usia 6 tahun. Pencegahan dengan cara isolasi penderita
kurang bermakna karena transmisi telah terjadi sebelum penyakit disadari
dan didiagnosis sebagai campak (IDAI, 2004).
Prognosis
Campak merupakan penyakit self limiting sehingga bila tanpa disertai dengan penyulit maka prognosisnya baik (Rampengan, 1997).
Kesimpulan
Pencegahan
penyakit campak dengan melakukan imunisasi terhadap bayi sangat penting
karena insidensi campak terutama pada anak usia <>
DAFTAR PUSTAKA
Alan R. Tumbelaka. 2002. Pendekatan Diagnostik Penyakit Eksantema Akut dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 113
Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan (eds) Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5th edition. Vol 3. Philadelphia. Saunders. p.2283 – 2298
Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds) Nelson Textbook of Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders. p.743
Soegeng Soegijanto. 2001. Vaksinasi Campak. Dalam: I.G.N. Ranuh, dkk. (ed) Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal. 105
Soegeng Soegijanto. 2002. Campak. dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 125
T.H. Rampengan, I.R. Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 90
Komentar :
Posting Komentar