LATAR BELAKANG
Meningitis
merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia
disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS).
Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut
dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang
jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan
durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis
juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut
merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini
memiliki onset gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat akut.
Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
Meningitis
aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda.
Penderita biasanya menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis
LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa pemeriksaan
laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan
berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus
(HSV).
Pada
referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis
bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh
infeksi lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi meningitis bakterialis
di Amerika Serikat sudah menurun sejak diterapkannya penggunaan rutin
vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor
predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media,
mastoiditis, trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan
defisiensi imun lainnya.
PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS
Pertama-tama
bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang.
Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan,
saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini,
bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang
(seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah
akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:
Invasi
ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara
hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri.
Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis
media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama
manipulasi intrakranial.
Sesampainya
di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun (
misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian
terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh
termasuk SSP.
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak
Mekanisme
patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai
sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan
dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP.
Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade
inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin
yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin
(IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis
dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan
IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.
Paparan
sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk
yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri
merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru
memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri
(seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor
(Toll-like receptor)
TNF-α
merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag,
limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen
endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua
mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin
intrasisternal.
Mediator
sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2)
dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses
inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari
infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO
merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat
diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas
blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan
aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.
Pada
akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi
peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai
komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan
terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon
terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari
aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran
pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.
Peningkatan
viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang
subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema
interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas
selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema
serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra
kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF).
Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi
laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia
merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses
yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi
disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.
Tekanan
tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting
dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema
interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik
(akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema
vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
Edema
serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya
penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan
menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis
keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek
postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.
FREKUENSI
Berdasarkan
grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus
meningitis terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .
Gambar 2. Kasus Meningitis di Amerika Serikat pada tahun 2003
Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4 kasus/100.000 anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae
meningitis adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi
meningitis pada neonatus adalah 0,25-1 kasus/1000 kelahiran hidup. Pada
kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000 kelahiran aterm
sedangkan pada kelahiran preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran
preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum berhubungan dengan meningitis bakterial.
MORTALITAS-MORBIDITAS
Sebelum
ditemukannya antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial cukup
tinggi. Dengan adanya terapi antimikroba, mortalitas menurun tapi masih
tetap dikhawatirkan tinggi. 19-26% mortalitas diakibatkan karena meningitis oleh Sterptococcus pneumoniae, 3-6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% oleh Neisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi pada usia tua.
RAS
Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan pada populasi Kaukasia dan Hispanik.
JENIS KELAMIN
Bayi
laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram
negatif dibanding bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan
terhadap meningitis oleh Listeria monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama untuk bayi perempuan maupun laki-laki.
USIA
Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada anak dengan usia kurang dari 2 tahun.
GEJALA KLINIS
Gejala
klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi
gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis,
febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat,
shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis
pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis
adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging
fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran,
irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya
selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
● Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya disertai febris dan fotofobia.
●
Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50%
penderita meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada,
kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski,
Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu dalam
menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.
Gambar 3. Kaku kuduk (nuchal rigidity) pada penderita meningitis
● Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf.
●
Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder
terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan
prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka
panjang.
●
Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan
yang memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum
hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan
adanya sekuelae yang berat.
●
Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan
tekanan darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil
edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
● 6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
●
Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP
fokal dan sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya
transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi
subdural tergantung pada etiologinya.
● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi meningitis:
›
Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat
memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai
meningitis.
›
Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea
menunjukkan adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
› Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap pertumbuhan bakteri di meningen.
ETIOLOGI
* Etiologi meningitis neonatal
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia coli)
dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus
preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur
pembedahan sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas.
Meningitis Streptococcus
grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan
sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat
persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi
setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter diversus dan Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga menderita abses otak.
* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB).
HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada
negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.
› Streptococcus pneumoniae meningitis
Gambar 4. Streptococcus pneumoniae
Patogen
ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan
penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14,
19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia
dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi
dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia.
Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di
parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae
sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia,
hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen
ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat.
Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi
sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang
ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural,
hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Pengobatan
antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam
24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap
antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal
ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam
pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri
sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus
yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap
cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide.
Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan
pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten.
Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin)
walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya
kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi
adekuat ke SSP.
› Neisseria meningitidis meningitis
Gambar 5. Neisseria meningitidis
Patogen
ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering
ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis
berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan
serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran
pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan
antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi
saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa
inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari.
Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9),
infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis,
penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus
umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi
tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae
sering dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi
gambaran normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah
hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan
gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul
kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada
sediaan apus darah tepi.
› Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis
Gambar 6. HIB
HIB
merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari
kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya
terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90%
kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3
tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah
memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB
yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia
melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran
pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal penyakit. Beberapa
data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin
karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus
menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat
menurunkan morbiditas dan sekuelae.
› Listeria monocytogenes meningitis
Gambar 7. Listeria monocytogenes
Bakteri
ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak
immunocompromised. Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi
makanan yang terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan
oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial
meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan.
Pada pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering disalahartikan
sebagai Streptococcus hemolyticus atau diphteroid.
› Etiologi lain-lain
Staphylococcus epidermidis
sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada penderita
dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang
immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia, Proteus dan diphteroid.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
- Abses otak
- Tumor otak
- Vaskulitis SSP
- Lead encephalopathy
- Meningitis fungal
- Meningitis tuberculosis
- Tuberculoma
- Stroke
- Encephalitis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Meningitis
adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui
isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi
pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan
penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga warna
LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak jernih
maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil
pemeriksaan LCS.
Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi tanpa melakukan
lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat tekanan
intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT
scan atau MRI sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan
pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan herniasi.
Gambar 8. Tabung spesimen LCS
Pada
spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah
total leukosit dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan
kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen perlu
dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar
protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi
pada penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini.
Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang
fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak
menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
Pada
kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit
yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan
pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan gram dari cytocentrifuged
LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung
dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga
perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan
patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler
Agent
|
Opening Pressure
|
WBC count per mL
|
Glucose (mg/dL)
|
Protein (mg/dL)
|
Microbiology
|
Bacterial meningitis
|
200-300
|
100-5000; >80% PMNs*
|
<40
|
>100
|
Specific pathogen demonstrated in 60% of Gram stains and 80% of cultures
|
Viral meningitis
|
90-200
|
10-300; lymphocytes
|
Normal, reduced in LCM and mumps
|
Normal but may be slightly elevated
|
Viral isolation, PCR† assays
|
Tuberculous meningitis
|
180-300
|
100-500; lymphocytes
|
Reduced, <40
|
Elevated, >100
|
Acid-fast bacillus stain, culture, PCR
|
Cryptococcal meningitis
|
180-300
|
10-200; lymphocytes
|
Reduced
|
50-200
|
India ink, cryptococcal antigen, culture
|
Aseptic meningitis
|
90-200
|
10-300; lymphocytes
|
Normal
|
Normal but may be slightly elevated
|
Negative findings on workup
|
Normal values
|
80-200
|
0-5; lymphocytes
|
50-75
|
15-40
|
Negative findings on workup
|
Tabel 1. Gambaran Liquor Cerebrospinal pada meningitis berdasarkan agen etiologiknya.
Beberapa
test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri
pada cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat
diperoleh dari spesimen LCS, darah atau urin. Test jenis ini bermanfaat
pada penderita meningitis dengan riwayat pengobatan belum lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada LCS tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita.
Deteksi
antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat
dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri
gram negatif dan S. pneumoniae serotipe tertentu yang
memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang dengan
poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik
dibandingkan rapid diagnostic test.
PARTIALLY TREATED MENINGITIS (PTM)
Beberapa
anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan.
Dosis kecil antimikroba oral atau bahkan pemberian antimikroba secara
intravena dosis tunggal tidak mengubah hasil pemeriksaan LCS termasuk
kultur bakteri khususnya pada penderita HIB meningitis.
Hasil
kultur dari spesimen LCS dapat menjadi steril secara cepat jika patogen
penyebabnya adalah pneumococcus atau meningococcus walaupun perubahan
sitologis dan kimiawi tetap eksis. Karena hal
ini maka diperlukan test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila
terjadi kesulitan untuk membedakan antara PTM dengan meningitis viral
(aseptik) maka lumbal punksi dapat diulang dalam rentang waktu 24 jam.
Pada kasus meningitis viral, pleositosis LCS dan perubahan kimiawi
cenderung untuk kembali menuju nilai normal.
PENATALAKSANAAN
*Perawatan medik
Pemberian
terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba.
Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau menurut
pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi
dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan
beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal
pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis.
Akses
intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan.
Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan
hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini
juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam
pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit
serum pada neonatus mencapai normal.
Peningkatan
tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi
pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk
menjamin oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan
penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan
kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial.
Pada neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji
fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran.
Pada
bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi
terapi antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan
elektrolit dilakukan dengan: memperhatikan tanda-tanda vital dan status
neurologis sehingga dapat menentukan input dan output yang akurat,
penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi
perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan
untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah
urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin
dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan
darah dan sirkulasi yang adekuat.
*Terapi antimikroba untuk neonatus
Antimikroba
diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi
antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan
aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus
gram positif termasuk Streptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS.
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens.
Tetapi aminoglikosida memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan
ventrikel bahkan pada saat meningen sedang mengalami peradangan.
Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar
tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada
suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan
bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik
mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39%
sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy
khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan
bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan Enterococcus
sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk
terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin
generasi III.
Jika
patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition
concentration) yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan
sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan aktivitas
yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.
Di
antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas
disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara
intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan.
Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau penicillin juga
memiliki efek sinergis melawan Streptococcus grup B dan Enterococcus.Tidak
jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan
penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya
resistensi.
Infeksi
yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa
memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin
atau kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida.
Etiologi
dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama
10-21 hari adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan
waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar
3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi
mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang
terhadap LCS berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh basil gram negatif.
Antibiotics
(dosage in
mg/kg/day)
|
Route
Of Administration
|
Body
weight
<2000>
|
Body
Weight
<2000>
|
Body
Weight
>2000 g
|
Body
Weight
>2000 g
|
Age 0-7
days
|
Age > 7
days
|
Age 0-7
days
|
Age > 7
days
| ||
Penicillins
| |||||
Ampicillin
|
IV,IM
|
100 div
q12h
|
150 div
q8h
|
150 div
q8h
|
300 div
q6h
|
Penicillin-G
|
IV
|
100,000 U
div q12h
|
150,000 U
div q8h
|
150,000 U
div q8h
|
250,000 U
div q6h
|
Oxacillin
|
IV,IM
|
100 div
q12h
|
150 div
q8h
|
150 div
q8h
|
200 div
q6h
|
Ticarcillin
|
IV,IM
|
150 div
q12h
|
225 div
q8h
|
225 div
q8h
|
300 div
q6h
|
Cephalosporins
| |||||
Cefotaxime
|
IV,IM
|
100 div
q12h
|
150 div
q8h
|
100 div
q12h
|
150 div
q8h
|
Ceftriaxone
|
IV,IM
|
50 once
daily
|
75 once
daily
|
50 once
daily
|
75 once
daily
|
Ceftazidime
|
IV,IM
|
100 div
q12h
|
150 div
q8h
|
100 div
q8h
|
150 div
q8h
|
Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia
Anti
biotics
|
Route of
Admini
stration
|
Desired
Serum
Levels
(mcg/ml)
|
New
born
Age
≤26 weeks
(mg/kg/
dose)
|
New
born
Age
27-34 weeks
(mg/kg/
dose)
|
New
born
Age
35-42 weeks
(mg/kg/
dose)
|
New
born
Age
≥43 weeks
(mg/kg/
dose)
|
Aminoglycosides
| ||||||
Amikacin
|
IV,IM
|
20-30
(peak)
<10
(trough)
|
7.5 q24h
|
7.5 q18h
|
10 q12h
|
10 q8h
|
Gentamycin
|
IV,IM
|
5-10
(peak)
<2,5
(trough)
|
2.5 q24h
|
2.5 q18h
|
2.5 q12h
|
2.5 q8h
|
Tobramycin
|
IV,IM
|
5-10
(peak)
<2,5
(trough)
|
2.5 q24h
|
2.5 q12h
|
2.5 q12h
|
2.5 q8h
|
Glycopeptide
| ||||||
Vancomy
cin
|
IV,IM
|
20-40
(peak)
<10
(trough)
|
15 q24h
|
15 q18h
|
15 q12h
|
15 q8h
|
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan berdasarkan usia
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak
Pemberian
antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis
bakterial sangat penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki
kemampuan untuk melawan 3 patogen umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae.
Umumnya terapi dimulai dengan pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV
dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone 100 mg/kg/hari
dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari dan
dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam
melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus influenzae
tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas
yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan
cefotaxime atau ceftriaxone.
Beberapa
evidence-based medicine menyarankan penggunaan carbapenem (misalnya
meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang resisten terhadap
cephalosporin. Peran antibiotik baru seperti oxazolidinone (linezoid)
masih dalam penelitian.
Karena
penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi
dan sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka
pemberian kortikosteroid dapat mengurangi efektivitas antibiotik seperti
vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga petugas kesehatan
perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian kortikosteroid
pada terapi meningitis.
Semua
antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS
adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena
tidak dapat dilakukan. Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai
kadar terapeutik dalam serum dan diberikan hanya jika tidak tersedia
obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan mual
muntah berkurang.
Pada
penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi
vancomycin dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek
samping chloramphenicol tidak diinginkan maka dapat diganti dengan
cotrimoxazole atau trovafloxacin.
Penggunaan
antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam,
sulbactam untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih
kurangnya data mengenai daya penetrasinya ke dalam SSP.
Penggunaan
antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi
kadang-kadang diulang sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah
penghentian terapi. Tetapi pemeriksaan ulang ini tidak dapat memprediksi
adanya relaps atau rekrudesensi meningitis. Misalnya HIB dapat terus
bertahan dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis yang
berhasil. Karena alasan ini, penderita perlu diberi rifampin 20 mg/kg
sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di
rumah atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N. meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.
Phlebitis
pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa
penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga
penderita dengan febris perlu untuk dievaluasi ulang.
Antibiotics
|
Dose
(mg/kg/day)
|
Dosing
Interval
|
Maximum
Daily Dose
|
Ampicillin
|
400
|
q6h
|
10 g
|
Vancomycin
|
60
|
q6h
|
4 g
|
Penicillin G
|
250,000 U
|
q6h
|
24 million
|
Cefotaxime
|
200-300
|
q6h
|
12 g
|
Ceftriaxone
|
100
|
q12h
|
4 g
|
Chloramphenicol
|
100
|
q6h
|
4 g
|
Ceftazidime
|
150
|
q8h
|
6 g
|
Cefepime
|
100
|
q12h
|
4 g
|
Imipenem
|
60
|
q6h
|
4 g
|
Meropenem
|
120
|
q8h
|
6 g
|
Rifampin
|
20
|
q12h
|
600 mg
|
*Pemberian dexamethasone
Pada
berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone
ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi
dexamethasone (0,15 mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik.
Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam 24 jam,
kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna. Pemantauan yang
dilakukan sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae
neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan
dengan kegunaan dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae
meningitis kurang meyakinkan. Selain mengurangi reaksi inflamasi,
pemberian dexamethasone dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.
*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi
Peningkatan
tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara
signifikan. Gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial tidak
spesifik di antaranya vomitus, stupor, bulging fontanelle, palsy nervus
VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat mengalami
herniasi otak. Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor,
gangguan pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea, dekortikasi
atau deserebrasi.
Pemberian
manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien
osmolalitas ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari
jaringan otak ke dalam ruang intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV)
biasa diberikan selama 20-30 menit dan pemberiannya dapat diulang bila
diperlukan.
Dexamethasone
sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi
data terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid
dan furosemid juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi
efikasinya pada penderita meningitis belum dapat ditunjukkan pada controlled trials.
*Antikonvulsi
Bangkitan
kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang
adekuat dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang.
Pemberian antikonvulsi secara intravena. Phenobarbital natrium dengan
dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit cukup efektif dalam
mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena
kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan
kejang berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV
dengan kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk
kejang.
Jika
obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam
(Valium) diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan
tidak melebihi 10 mg. Efek antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga
perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV tiap 12 jam untuk mencegah
timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan) yaitu suatu
benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05
mg/kg tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat
tersebut dapat menyebabkan henti napas atau jantung. Selain itu, efek
aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan
phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat
meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika
penderita tetap kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada
kelainan intrakranial perlu dilakukan pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis
Semua
individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan
penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi
terhadap sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone,
ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis pada keadaan
tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah
kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang
yang kontak dengan penderita harus segera mencari pertolongan medik saat
timbul gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam
selama 2 hari.
* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin
dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang
kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau
lebih muda kontak dengan penderita maka anak tersebut harus diberi
profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan
‘kontak’ adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama dengan
penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih
waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum
diagnosis ditegakkan.
Jika
2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi
tempat pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain
perlu diberi profilaksis.
* Imunisasi
Imunisasi
massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan
dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug
Administration) telah meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang
pertama (Prevnar) pada April 2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima
imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.
Gambar 9. Contoh vaksin HIB (Act-HIB)
Vaksin
quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat
adanya wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C,
Y, W-135 dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita
dengan imunodefisiensi, penderita dengan asplenia anatomik atau
fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen. Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan. The
Advisory Committee on Imunization Practices (ACIP) menganjurkan
penggunaan vaksin ini untuk siswa sekolah yang tinggal di asrama-asrama.
KOMPLIKASI
Sekuelae
jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung
etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat
berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae
pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis,
hipertonia otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan
belajar, hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral.
Gangguan
pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone
dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan
pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi
audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali
kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka
perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk
menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi
motorik.
PROGNOSIS
Penderita
dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae
atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis
merupakan faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau mortalitas.
Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes
dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi
daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang
disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan
tubuh inang.
KESIMPULAN
- Meningitis merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa dan memberikan sekuelae yang bernakna pada penderita
- Pemberian
terapi antimikroba merupakan hal penting dalam pengobatan meningitis
bakterial di samping terapi suportif dan simptomatik
- Pencegahan meningitis dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
- Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and Human Development Michigan State University. College of Medicine and En Sparrow Hospital. www.emedicine.com/PED/topic198.htm.
- Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of Medicine. Mayo Clinic College of Medicine. www.emedicine.com/med/topic2613.htm
makasih kak
5 efek mayor dari tekanan darah tinggi
Penyaki radang usus gejala diagnosis dan pengobatan
Efek buruk tekanan darah tinggi pada kesehatan tubuh
6 cara yang mampu turunkan tekanan darah tinggi