Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui
udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. (1)
Infeksi
biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala
-gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman
ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan
penderita maupun carrier. (2)
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi
baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi
diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti
mengurangi insidensi penyakit tersebut. (5)
Walaupun
difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang
masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri
banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang
buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri
meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi
terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir
ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka
kesakitan dan kematian menurun secara drastis. (3)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIFTERI
2.1. Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae
adalah kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini
bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan
formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu
sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang
menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan
media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah
dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang
berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan
berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae
dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa atau sukrosa. (4)
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae
yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut
antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat
heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias
menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih
dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin
ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi
toksin in vivo pada marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro
dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi
polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan
suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau
cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan
fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk
atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin
hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene. (1)
2.2. Patogenesis dan patofisiologis
Kuman
C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase
(elongation factor-2) yang aktif.
Toksin
difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini
menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons
terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas
sendiri pada masa penyembuhan. (1)
Pada
pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan
edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi
bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang
trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf
pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang
mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila
pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial.
Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput
myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)
2.3. Manifestasi Klinis
Tergantung
pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi
dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin
difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman
membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah
nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari.
Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita
keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala
lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. (3)
2.3.1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada
uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan
pada tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada
94%, dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim.
Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan
gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39ºC.
2.3.1.1. Difteri Hidung
Difteria
hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior
(lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen,
serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar
dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane
putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. (4)
2.3.1.2 Difteri Tonsil Faring
Pada
difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise
atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat
berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan
pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas
secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior,
hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan
pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya
gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane.
Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral,
disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias
terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan
terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis
atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari
dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (6)
2.3.1.3. Difteri Laring
Difteri
laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan
difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada
difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa
laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa
faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups
yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau
dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada
kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.
Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring,
maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan
toksemia.
2.3.2. Difteri Kulit
Difteri
kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah
infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak
menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan.
Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo
streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada
kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar
atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering
terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat
khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada
sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
2.3.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C.
diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada
tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata
(konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital
(vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi,
pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan
difteri dari penyebab bakteri dan virus lain. (7)
2.4. Diagnosis
Diagnosis
dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin
sangat mempengaruhi prognosa penderita.(3) Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi.
Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan
membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini
diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae
dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek). (1)
Adanya
membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,
karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan
lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat
terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
(4)
2.5. Diagnosis Banding
Difteria
Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea
(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung,
snuffles (lues congenital).
Difteria
Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang
disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat),
mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial,
tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca
tonsilektomi.
Difteria
Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai
infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema
pada laring, dan benda asing dalam laring.
Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus. (1)
2.6. Komplikasi
Komplikasi
difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam
infeksi tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat
membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin
terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal. (3)
Infeksi
tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala
kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan.
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok.
Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi
tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini,
kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada
anak. (7)
Obstruksi
jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane
difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servical.
Kasus
septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus
endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat
intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk
yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus
arthritis piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik,
dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi
dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan
tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti. (5)
Miokardiopati
toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara
dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang
lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara
langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif
dan penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung
khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring
membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall 1minggu bila
berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi lambat
sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan
dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system
saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T
pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia
jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti
blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan
takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai
secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat
serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disaritmia berat
menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan
sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan
hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran
permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik
biasanya sempurna.
Neuropati
toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer
dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah
mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal
palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis
posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar
menelan, dan resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas
terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan
paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur,
atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1hari sampai 3
bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor
dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai
menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda
klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom
Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin
terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang
ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi
atau gagal jantung. (1)
2.7. Pengobatan Dan Penatalaksanaan.
Tujuan
pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
- Pengobatan umum
Pasien
diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang
mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi
ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3)
B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin
harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini biasa meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
|
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
|
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /
Intravena
|
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
|
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
|
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
|
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
|
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
|
Sebelum
Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu,
oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji
kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka).
Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada
tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan
efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1)
2. Antibiotik
Antibiotik
diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh
bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan
organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai
agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin
dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada
populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang
dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.
Dosis :
· Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
· Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
· Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
· Amoksisilin.
· Rifampisin.
· Klindamisin.
Terapi
diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit
diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi
sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok
(atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8)
3. Kortikosteroid
Belum
terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai
dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau
tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan
terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
D. Pengobatan Karier
Karier
adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. (4)
Pengobatan Terhadap Kontak Difteria
Biakan
|
Uji Schick
|
Tindakan
|
(-)
|
(-)
|
Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria
|
(+)
|
(-)
|
Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
|
(+)
|
(+)
|
Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
|
(-)
|
(+)
|
Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi
|
2.8. Prognosis
Umumnya
tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. (8)
Prognosis
difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain.
Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan
oleh karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak
yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab
strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik
dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya
buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul
tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) (1).
2. 9. Pencegahan
Pencegahan
secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak
menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah
sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang
telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap
toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya.
Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam
nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. (5)
Toksoid
difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan
kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid.
Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit
toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung
tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid
potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer
dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan
reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih
tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar
toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin
kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin
tinggi.
Rencana (Jadwal) :
· Untuk
anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6
bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan
diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster
siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan
pada umur 4 tahun).
· Untuk
anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL
yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak
4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
· Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka
yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6
tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri
pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan
booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga
diberikan sesudah umur 4 tahun. (4)
BAB III
KESIMPULAN
Difteri
merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera,
oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah
terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri
sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada
yang terkena penyakit ini.
Penyebab
dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman
gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik
dan memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini
2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas
badan 38,9ºC.
Penyakit
ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri
vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang
paling terseringa adalah difteri tonsil faring.
Diagnosis
dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin
sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini
adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian
dalam (kultur).
Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan
eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotok penisilin dan
eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
Prognosis
umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis,
dan perawatan umum.
Pencegahan
secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan
tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi
DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT
0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
2. Garna
Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
3. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm
4. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm
5. http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
6. http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
7. http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299
nice post gan ,, mampir yaah ,,
romlahuchiha.blogspot.com