PENDAHULUAN
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD.
Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis regional. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum.
Wilks dan Moxon telah lebih dari satu abad mengenal Kolitis Ulserativa sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta
terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi
pada Kolitis Ulserativa relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada
rektum dan melibatkan kolon kearah proksimal.
Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa merupakan 2 kelainan yang berbeda, akan tetapi memiliki banyak kesamaan gejala klinis dan histopatologi. Penyakit
Crohn dan Kolitis Ulserativa telah dikenal selama satu setengah abad
namun proses inflamasi kronis yang terjadi menimbulkan kerusakan usus
dan sampai saat ini masih merupakan suatu misteri.
Pada referat ini akan dibahas mengenai
etiologi, patologi, epidemiologi, gejala klinis, komplikasi, diagnosis,
diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis Penyakit Crohn dan
Kolitis Ulserativa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ETIOLOGI
Sampai
saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas.
Namun diduga penyakit ini disebabkan oleh. multifaktor, yang meliputi genetik,
pengaruh lingkungan, integritas mukosa, dan faktor imunologis Beberapa
faktor pencetus seperti infeksi, toksin dapat memicu proses inflamasi
dan akan menyebabkan disregulasi respon imunologi mukosa traktus
gastrointestinal pada individu yang rentan.
PATOGENESIS
Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah:
A. Faktor Genetik
Penderita IBD
mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan
IBD. (penulis lain 10-25%). Pada kembar monozigot peluang untuk Penyakit
Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Kolitis Ulserativa sekitar
6%-17%.
Sampai
saat ini telah ditemukan beberapa kelainan kromosom yang berhubungan
dengan Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa atau keduanya. Kromosom 16
(gen IBDI) atau gen CARD15 berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA) ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD.
B. Faktor Lingkungan
Beberapa agen infeksius
diduga sebagai penyebab IBD. Akan tetapi, isolasi agen infeksius dari
jaringan IBD tidak dapat membuktikan hubungan antara agen infeksius
sebagai etiologi IBD karena pada IBD sering disertai koloni bakteri
oportunistik pada mukosa yang mengalami inflamasi. Selain itu pemberian
antibiotika tidak mempengaruhi perjalanan penyakit IBD. Sampai ini belum
ada data mengenai transmisi secara epidemik agen infeksius pada IBD.
Faktor lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan.
C. Faktor Imunologi
Kelainan
respon kekebalan telah diduga mempunyai peranan dalam patogenesis IBD.
Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan
mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap dan bertindak sebagai
lingkaran setan yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan interleukin (IL)-2, interferon (INF)-g, dan tumor necrosis factor (TNF)-a yang merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada Penyakit Crohn.. Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan merangsang antibody-mediated immune respons. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen lebih sering ditemukan pada Kolitis Ulserativa.
Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya antibodi, immune-complex complement atau
aktifitas limfosit terhadap mukosa kolon, namun semua fenomena ini
tidak berlangsung secara konsisten dan tidak berhubungan dengan
perjalanan penyakit. Selain itu, adanya kerusakan sel mukosa tanpa
disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon terhadap pemberian
kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme
kelainan kekebalan. Pada Kolitis Ulserativa ternyata berhubungan dengan
prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan
ekstraintestinal seperti eritema nodusum, artritis, dan uveitis. Akan
tetapi, sampai saat ini masih belum dapat
dibuktikan apakah kelainan kekebalan tersebut mempunyai peranan primer
atau sekunder pada patogenesis IBD. Diduga, kelainan kekebalan
poligenik, yang menjelaskan manifestasi klinis yang beragam pada IBD.
Sistem
kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada IBD diduga
mempunyai kelainan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin A
(IgA) sekretori atau fungsi barier mukosa yang imatur akan menyebabkan
meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein di lumen usus yang
bersifat antigenik, sehingga terjadi peningkatan pajanan terhadap
makromolekul dan sensitasi sistem kekebalan saluran pencernaan terhadap antigen, bakteri atau alergen makanan dan perubahan sekresi dan komposisi mukus. Pendapat lain mengatakan bahwa local gut associated lymphoid tissue mengalami sensitasi terhadap antigen, kemudian membentuk tahapan/dasar yang kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting antigents melalui respon imun antibody-dependent cell-mediated.
D. Integritas Epitel
Kelainan
barier epitel mukosa akan menyebabkan peningkatan pajanan antigen
terhadap sistem kekebalan traktus gastrointestinal diduga sebagai faktor
inisial pada IBD. Pada Penyakit Crohn dijumpai adanya gangguan
integritas mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi dan
komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik
terhadap protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein
luminal pada penderita Penyakit Crohn.
PATOLOGI
Inflamasi pada Penyakit Crohn ditandai dengan karakteristik area inflamasi diskret, ulserasi fokal, aphtae, atau striktur disertai area mukosa yang normal (skip area). Jika mengenai kolon, sering mengenai kolon ascendens dan jika mengenai daerah anal sering timbul skin tags, fisura anal, abses serta fistula dan terjadi pada 25% penderita Penyakit Crohn.
Pada
Penyakit Crohn terjadi proses inflamasi transmural yang dapat meluas
keseluruh lapisan dinding traktus gastrointestinal dan menyebabkan
fibrosis, adhesi striktur, dan fistula. Perubahan pada mukosa traktus gastrointestinal berupa kriptitis, dan/atau distorsi striktur kripta. Granuloma nonkaseosus pada lamina propria atau submukosa dapat
ditemukan pada lebih dari 50% penderita. Ditemukannya fibrosis dan
proliferasi histiosit di submukosa spesifik untuk Penyakit Crohn,
walaupun perubahan mukosa tersebut dapat terjadi pada penyakit inflamasi
usus yang lain.
Pada
Kolitis Ulserativa, proses inflamasi terbatas pada lapisan mukosa
rektum dan kolon. Inflamasi terbatas pada mukosa dan dan secara kontinyu
sepanjang kolon dengan berbagai macam derajat
ulserasi, perdarahan, edema, dan regenerasi epitel. Selain itu pada
Kolitis Ulserativa, terjadi kriptitis, abses kripta, dan terjadi
distorsi kripta serta hilangnya sel goblet. Kelainan pada rektum hampir
terjadi pada seluruh penderita Kolitis Ulserativa. Inflamsai dapat terjadi sampai daerah sekum dan mungkin terjadi pada ileum terminal (backwash ileitis).
Pada
Kolitis Ulserativa yang berat, setelah epitel mukosa dihancurkan,
proses inflamasi melibatkan daerah submukosa selanjutnya ke bawah menuju
daerah muskularis daerah yang terlibat akan membentuk jaringan pulau-pulau
yang dinamakan Pseudopolyps. Penebalan dan fibrosis dari dinding usus
besar sangat jarang terjadi, namun dapat terjadi pemendekan kolon dan
striktur fokal dikolon pada penyakit yang berlangsung lama. Tidak
terjadi pembentukan granuloma dan fibrosis.
Gambar. Inflammatory Bowel Disease
EPIDEMIOLOGI.
Insidens
IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika
Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia
10-19 tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya
pada laki-laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit
putih, didaerah urban, dan terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki
mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn.
Puncak onset usia IBD bersifat bimodal, dan
kasus paling sering terjadi pada usia dekade ke-2 dan ke-3. Pada anak,
Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25%
kasus baru di populasi berusia <20>
Pada populasi anak, penelitian epidemiologi pospektif dan retrospektif telah dilakukan di beberapa negara dalam 10
tahun terakhir. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa insidens Penyakit
Crohn 0,2-5,9 per 100.000 anak/tahun, dan insidens Kolitis Ulserativa
0,5-3,2 per 100.000 anak/tahun.
GEJALA KLINIS
Gejala
klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala klinis
yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala
klinis gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan
rektum, massa abdomen dan kelainan perianal. Onset klinis IBD dapat
terjadi perlahan (insidious), dengan gejala klinis tidak
spesifik gastrointestinal atau gejala ekstraintestinal seperti gagal
tumbuh. Hal ini sering menyebabkan terlambat diagnosis atau diagnosis
yang tidak tepat. Gagal tumbuh terjadi pada 10-40% penderita IBD.
Gambaran klinis IBD pada anak tegantung dari lokasi dan luasnsya proses
inflamasi traktus gastrointestinal, gejala klinis ekstrainterstinal, dan
akibat penyakit pada tumbuh kembang harus dipertimbangkan dalam
evaluasi diagnosis. Gambaran gejala klinis IBD pada anak dan dewasa
seperti tabel dibawah ini.
Gejala Klinis
|
Kolitis Ulserativa
|
Penyakit Crohn
| ||
Anak
|
Dewasa
|
Anak
|
Dewasa
| |
Nyeri perut
Diare
Perdarahan Rektum
Penurunan berat Badan
Demam
Gagal tumbuh
Artritis
|
71%
67%
52%
39%
12%
6%
16%
|
33-53%
37-80%
80-90%
43%
27%
-
13%
|
62-95%
66-77%
80-92%
22-83%
14-60%
30-33%
15-25%
|
60%
60-100%
20%
34%
26-51%
-
4-7%
|
Tabel Gambaran klinis IBD
Pada
Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan),
kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala
klinis yang paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus.
Perdarahan rektum terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis
ekstraintestinal atau gagal tumbuh mungkin sebagai gejala awal dari
Penyakit Crohn.
Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan berlebih dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika. Diduga prevalens malabsorbsi pada anak dengan penyakit Crohn
sekitar 17% terhadap laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein.
Diare berdarah yang menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai
nyeri perut dan urgensi untuk defekasi karena terjadi peningkatan
kecepatan transit di kolon dan distensi dari bagian kolon yang mengalami inflamasi.
Pada umumnya gejala klinis Kolitis Ulserativa berupa diare, peradarahan rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi secara perlahan (insidious)
tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau
hipoalbuminemia. Sekitar 30% anak dengan gejala sistemik dan disertai
diare berdarah, kram, urgensi anoreksi, penurunan berat badan dan demam.
Sebagian dari anak dengan derajat berat akan mengalami kolektomi karena
tidak berespon terhadap terapi medikamentosa.
Gejala ekstraintestinal pada IBD terjadi pada 25-35% penderita. Gejala Klinis ekstraintestinal yang sering terjadi berupa:
Tempat
|
Manifestasi
|
Kulit
Hati
Tulang
Sendi
Mata
Ginjal/urologi
Hematologi
Vaskular
Pankreas
Lain-lain
|
Eritema nodusum, pioderma gangrenosum
Infiltrasi lemak, sclerosing cholangitis, hepatitis kronis, kolelitiasis
Osteopenia, aseptik nekrosis
Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis
Uveitis, episkleritis, kerastitis
Nefrolitiasis, hidronefrosis obstruktif, fistula enterovesikal, glomerulonefritis
Anemia (defisiensi zat besi, folat, vitamin B12)
Tromboflebitis, vaskulitis, trombosis vena portal
Pankreatitis
Gagal tumbuh, terlambat maturasi seksual
|
Gambar. Gejala Klinis Ekstra intestinal pada IBD
Gejala ekstraintestinal tersebut terbagi menjadi 4 kelompok:
· Kelompok 1 :
Secara langsung berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus
gastrointestinal, biasanya respon pada terapi kelainan gastrointestinal
(seperti demam dan anemia)
· Kelompok 2 : Tidak berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal (seperti sclerosis cholangitis)
· Kelompok 3 : Akibat dari kelainan traktus gastrointestinal (seperti obstruksi uretra)
· Kelompok 4 : Timbul akibat dari terapi (seperti drug-induced pancreatitis)
Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah, peripheral form (10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya
berhubungan dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk
aksial berupa ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak.
Gambaran
ekstraintestinal yang dapat timbul sebagai gejala awal dan petunjuk
pada Penyakit Crohn adalah kelainan perianal, stomatitis, eritema
nodusum, eritema sendi besar, uveitis, dan jari tabuh serta gagal
tumbuh. Kelainan perianal lebih sering terjadi pada penyakit Crohn
dibanding Kolitis Ulserativa berupa skin tags, abses perianal, atau
fisura dan fistula yang tidak nyeri. Artritis dapat terjadi pada 11%
kasus dan bersifat monoartikular terutama pada lutut dan pergelangan
kaki atau poliartritis migran tanpa disertai kerusakan sendi atau
deformitas. Artritis sering terjadi pada penderita dengan kelainan kolon
dan cenderung berhubungan dengan aktifitas penyakit. Eritema nodusum
terjadi pada 5% kasus dan berhubungan dengan aktivitas penyakit terutama inflamasi pada kolon. Uveitis yang terjadi berupa simtomatik pada 3% anak dan asimtomatik pada 30% anak. Gagal tumbuh terjadi pada 87% anak, dan disertai dengan osteoporosis serta gangguan maturasi seksual.
Seperti
halnya pada penyakit Crohn, pada Kolitis Ulserativa terjadi gejala
klinis ekstraintestinal. Gejala ekstraintestinal yan sering dijumpai
seperti artritis sendi besar, lesi kulit pioderma gangrenosum atau
eritema nodusum (lebih sering pada Penyakit Crohn) dan gagal tumbuh.
Selain itu, insidens kelainan hepatobilier pada Kolitis Ulserativa
mencapai 5-10% dan kelainan yang sering ditemukan adalah sclerosing cholangitis.
Derajat berat gejala klinis Penyakit Crohn terbagi 3 kriteria yaitu:
Ringan-sedang
Dapat
mentoleransi diet secara oral tanpa dehidrasi, demam, nyeri perut,
massa abdomen, obstruksi, atau penurunan berat badan >10%
Sedang-berat
Tidak
respon terhadap terapi derajat ringan-sedang atau gejala demam
menetap, penurunan berat badan yang tidak signifikan, nyeri perut,
mual dan muntah intermiten (tanpa adanya obstruksi), atau anemia yang
signifikan.
Berat-fulminan
Gejala
klinis yang persisten meskipun telah mendapat kortikosteroid, atau
penderita dengan demam tinggi, muntah persisten, obstruksi intestinal,
kaheksia atau abses intra abdominal.
|
Pada
Kolitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan tanda
klinis yang berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan
sistemik.
Prodromal (<5%)
Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum, occult fecal blood. Peningkatan LED, nyeri perut tidak khas, atau perubahan pola defekasi.
Ringan (50-60%)
Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada gangguan sistemik
Sedang (30%)
Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness
Gangguan sistemik: anoreksia, penurunan berat badan, panas badan, anemia ringan
Berat (10%)
Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness
dengan atau tanpa distensi, takikardia, panas badan, penurunan berat
badan, anemia yang signifikan, lekositosis dan hipoalbuminemia
|
KOMPLIKASI
Inflamasi
transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab
komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi
adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang
dapat terjadi berupa keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula
dapat terjadi enterokutan, enteroenteral, enterokolika, perirektal,
labial, enterovaginal, dan enterovesikal.
Komplikasi
Kolitis Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan
merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah. Anak dengan
megakolon toksik mempunyai risiko tinggi untuk perforasi kolon, sepsis
akibat bakteri gram negatif dan perdarahan masif. Selain itu, komplikasi
yang dapat terjadi berupa striktur dan keganasan.
DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi.
A. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis
yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala sistemik, riwayat
keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan perkembangan dan kematangan
seksual serta manifestasi ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik
tanda-tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala ekstraintestinal.
Adanya hipotensi ortostatik, takikardia, distensi abdomen dan adanya
massa merupakan indikasi parahnya penyakit dan memerlukan perawatan.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Sampai
saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk IBD.
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai keberhasilan
pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis ekstraintestinal
dan status nutrisi. Pemeriksaan feses rutin dan biakan mikroorganisme
feses dilakukan untuk eksklusi penyakit infeksi
Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut adalah perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan antibodi anti saccharomyces cervisiae (ASCA).
Antibodi pANCA ditemukan pada 80% Kolitis Ulserativa dan 45% pada
Penyakit Crohn. Sedangkan antibodi ASCA ditemukan pada 60-70% Penyakit
Crohn dan 14% pada Kolitis Ulserativa. Pada 2 penelitian
seroepidemiologi menunjukkan bahwa kombinasi pANCA positif dan ASCA
negatif mempunyai prediksi positif Kolitis Ulserativa sebesar 88-92%.
Sedangkan kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai
prediksi positif Penyakit Crohn 95-96%.
C. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi abdomen posisi tegak dan
terlentang untuk mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi
yang berhubungan dengan ileus, obstruksi, pneumoperitonium karena
perforasi. Barium enema dapat menilai karakteristik dan luas kelainan
kolon, akan tetapi tidak boleh dilakukan pada penyakit akut (active disease),
yaitu kolitis aktif karena dapat menyebabkan dilatasi toksik. Pada
kolitis ringan dan sedang tanpa distensi abdomen, barium enema dengan double contrast
dapat mendeteksi kelainan mukosa berupa karakteristik lesi, deformitas
sekum, kelainan segmental/seluruh kolon. Pemeriksaan barium enema dapat
menentukan adanya pemendekan vili, hilangnya haustrae, pseudopoli, striktur dan spasme pada IBD. Pemeriksaan radiologi traktus gastrointestinal atas dengan follow trough
sampai dengan usus halus dapat menentukan ada/tidaknya kelainan pada
usus halus. Pada Penyakit Crohn, ileum terminal tampak rigid,
konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses inflamasi
transmural. Pada Kolitis Ulserativa dapat ditemukan backwash-ileitis,
berupa gambaran mukosa yang menghilang dan ileum terminal dilatasi
tanpa disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak ditemukan kelainan
lain dari usus halus pada Kolitis Ulserativa.
Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan double contrast kolon penderita IBD adalah.
- Gambaran stove-pipe
- Gambaran rectal sparing
- Gambaran thumbprinting
- Gambaran skip lesion
- Gambaran string sign
- Gambaran collar button
Pemeriksaan
lain yang dapat membantu adalah ultrasonografi dan CT scan. Pemeriksaan
tersebut terutama untuk menentukan adanya abses intra abdomen.
D. Pemeriksaan Endoskopi
Kolonoskopi
secara visual langsung mukosa dengan biopsi mukosa pada kolon dan ileum
termminal merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada
IBD. Kontraindikasi kolonoskopi pada kolitis yang berat, karena resiko
perforasi, perdarahan dan menginduksi megakolon toksik.
Kelainan mukosa pada Penyakit Crohn berupa lesi diskret atau aphthae pada mukosa dengan eksudat sentral dan eritema dan gambaran cobblestone-like appearance. Diantara daerah lesi terdapat daerah mukosa yang normal (skip area). Pada Kolitis Ulserativa, kelainan mukosa difus dan kontinyu dengan edema, eritema, dan erosi mukosa serta pseudopolyp.
Kolonoskopi
pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan terapi. Tindakan yang
sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada Penyakit Crohn dan
injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg pada 4 kuadran)
dapat membantu untuk mencegah pembentukan striktur berulang.
DIAGNOSIS BANDING
Gejala klinis dan ektraintestinal yang beragam menyebabkan diagnosis Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa sulit ditegakkan. Beberapa kelainan yang menyerupai IBD adalah Chronic inflamatory-like intestinal disorder seperti enterokolitis karena infeksi (bakteri
dan parasit, kelainan sistem imunitas (seperti gastroenteritis
eosinofilik), kelainan vaskular (seperti vaskulitis sistemik,
Henoch-Scholein Purpura, sindrom hemolitik-uremik) dan kolitis
Hisrchsprung serta limfoma intestinal, serta keganasan.
PENATALAKSANAAN
Tujuan
terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi
dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status
nutrisi dan kualitas hidup.
Konsultasi ke
bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita
IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis
metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan
energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan
penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan tertentu yang
menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin mempengaruhi
proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai penranan
dalam proses inflamasi pada Kolitis Ulserativa.
A. Terapi Medikamentosa
Medikamentosa yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi, mencegah dan mengurangi relaps adalah:
1. Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis tinggi digunakan untuk induksi remisi.
· Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat ditingkatkan sampai 75 mg/kg
· Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal 3,2g/hari)
· Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis
2. Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak berperan dalam mempertahankan remisi.
· Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi
· Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
3. Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan remisi.
· Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal
· 6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal
4. Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi
· infliximab
merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa. Infliximab, dosis: 5 mg/kg
dilarutkan dengan 250 ml NaCl fisiologis secara intravena. Infliximab
dosis tunggal untuk Penyakit Crohn derajat moderat-berat atau pada
fistula dengan dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3 kali pada minggu 0, 2, dan 6,
sering diikuti pemberian setiap 8 minggu. Data penggunaan infliximab pada Kolitis Ulserativa tidak sebaik pada Penyakit Crohn.
5. Antibiotika
· Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Metronidazole diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn
Terapi
medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat dan
luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk
mengendalikan proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah
komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan
bedah karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya
inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu:
· Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan dapat dicapai dengan terapi topikal
· Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis dan memerlukan terapi sistemik
Pada Penyakit Crohn
sampai saat ini belum ada terapi definitif, penatalaksanaan umumnya
terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan nutrisi. Sampai saat ini,
belum ada regimen medikamentosa yang dapat mempengaruhi outcome jangka panjang Penyakit Crohn. Oleh karena itu, medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi frekuensi serangan eksaserbasi.
B.Terapi Bedah
Pendekatan
terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat penyakit. Tujuan
terapi bedah pada Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn berbeda. Karena
kelainan Kolitis Ulserativa terbatas pada kolon, maka total kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit Crohn
dimana kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut
sampai anus, saat ini belum ada terapi bedah definitif.
Indikasi bedah Penyakit Crohn adalah:
· Obstruksi traktus gastrointestinal
· Fistula
· Abses
· Perdarahan yang tidak terkontrol
· Megakolon toksik
· Perforasi
· Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa
· Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang terbatas (localized disease)
Indikasi bedah untuk Kolitis Ulserativa adalah:
· Megakolon toksik
· Perdarahan yang masif/tidak terkontrol
· Perforasi
· Prolonged corticostreoid dependent
· Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif
· Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi
· Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan
· Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa
· Striktur
C.Peran Probiotik dan Prebiotik
Peranan probiotik
dan prebiotik pada IBD masih belum jelas. Akhir-akhir ini banyak
penelitian pemberian probiotik dan prebiotik pada penderita IBD.
Probiotik dapat mengubah flora traktus
gastrointestinal dengan mekanisme kompetitif, menghasilkan zat
antimikroba, atau mempengaruhi respon kekebalan lokal. Ada juga yang
mengatakan bahwa interaksi probiotik dengan sel epitel dapat mempercepat
penyembuhan proses inflamasi. Efek prebiotik
dapat ditingkatkan dengan pemberian prebiotik yang dapat merangsang
pertumbuhan probiotik
Pada anak, penelitian probiotik pada IBD menunjukkan bahwa pemberian Lactobacillus casei strain GG
pada Penyakit Crohn meningkatkan respons kekebalan IgA traktus
gastrointestinal. Penelitian lain menunjukkan bahwa probiotik dapat
memperbaiki gejala kllinis dan permeabilitas
traktus gastrointestinal pada pada penyakit Crohn. Penelitian pemberian
prebiotik dan probiotik (sinbiotik) pada penderita Kolitis Ulserativa
mempercepat perbaikan gejala klinis.
PROGNOSIS
Inflamatory bowel disease ditandai dengan periode eksaserbasi dan remisi. Sebagian
besar anak (70%) dengan Kolitis Ulserativa mengalami remisi dalam 3
bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun.
Koletomi dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat
berat dibanding 10% kasus derajat ringan. Anak dengan proktitis, 70% akan mengalami penyakit lebih ekstensif dikemudian hari.
Hanya
1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah
didiagnosis dan terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk
mengalami respon buruk terhadap terapi medikamentosa. Sekitar 70% anak
dengan Penyakit Crohn akan mengalami tindakan bedah dalam 10-20 tahun
setelah diagnosis.
Selain
itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal. Resiko
keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis
Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan
kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk
adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun)
dan luas colitis (pankolitis > left-sided colitis > proktitis).
BAB III
KESIMPULAN
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD.
Sampai
saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah: Penderita IBD
mempunyai faktor predisposisi genetik, faktor Lingkungan (stres
psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau pengawet
makanan, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan), faktor imunologi, integritas epitel.
Insidens
IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika
Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia
10-19 tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya
pada laki-laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit
putih, didaerah urban, dan terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki
mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn. . Pada ana
k, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20>
Gejala
klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala klinis
yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala
klinis gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan
rektum, massa abdomen dan kelainan perianal
Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah, peripheral form (10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya
berhubungan dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk
aksial berupa ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak.
Inflamasi
transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab
komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, komplikasi Kolitis
Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan
kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah
Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi.
Tujuan
terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi
dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status
nutrisi dan kualitas hidup.
Konsultasi ke
bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita
IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis
metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan penyembuhan
Resiko
keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis
Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan
kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk
adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun)
dan luas colitis (pankolitis > left-sided colitis > proktitis).
Alur Diagnosis IBD
| |||||
| |||||
| |||||
|
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Kathleen
a. Calendra, W.Daniel J, Richard JG. Inflammatory Bowel Disease.
M.Gracey, Valerie B, editor Pediatric gastroenterology and hepatology.
Edisi ke-3. Boston: Blackwell,1993. Hlm 859-879.
2. Hyams J. Inflammatory Bowel Disease. Richard EB, Robert MK, Hal BJ, editor. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. Hal 1248-1255
3. William A Rowe. Inflammatory Bowel Disease. Htttp://www.emedicine.com
4. V.Alin Botoman, Gregory F. Bonner, Daniella A. Bootman. Management of Inflammatory Bowel Disease. http//www.aafp.org/
5. Doug Knutson, Gregg G, Holly C. Management of Crohn Disease. http//www.aafp.org/
Komentar :
Posting Komentar