ACUTE BRONCHIOLITIS
BRONKIOLITIS AKUT
Pendahuluan
Bronkiolitis
akut merupakan sindroma infeksi saluran pernapasan yang ditandai oleh
obstruksi inflamasi saluran napas kecil (bronkiolus).
Insidensi
Bronkiolitis terutama menyerang anak-anak berusia
di bawah dua tahun dengan insidensi tertinggi pada usia enam bulan.
Bronkiolitis akut yang terjadi di bawah umur satu tahun kurang lebih 12%
dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua, frekuensi insidensinya
lebih jarang lagi, yaitu sekitar setengah dari frekuensi tahun pertama
(sekitar enam persen).
Etiologi
Bronkiolitis
akut menimbulkan angka morbiditas terbanyak dari semua infeksi saluran
napas bawah pada anak-anak. Etiologi yang paling sering adalah Respiratory syncytial virus
(RSV), berkisar antara 45--55% dari total kasus yang ada. Sedangkan
virus-virus lainnya, seperti Parainfluenza virus, Rhinovirus, Adenovirus
dan Enterovirus sekitar 20%. Bronkiolitis juga dapat disebabkan oleh
Eaton agent (Mycoplasma pneumoniae) dan bakteri, walau frekuensinya
relative sedikit yang sampai menyebabkan bronkiolitis pada bayi.
Sekitar
70% kasus kejadian bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat
sehingga harus dirawat di rumah sakit, sedangkan sisanya biasanya dapat
dirawat di poliklinik.
Sebagian
besar infeksi saluran napas transmisinya melalui droplet infeksi.
Infeksi primer oleh RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi
infeksi sekunder pada anak-anak di tahun-tahun pertama kehidupan yang
bermanifestasi berat.
RSV
lebih virulen daripada virus lain dan imunitas yang dibentuk oleh tubuh
tidak dapat bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak
menimbulkan gejala klinis. Hal ini mungkin dikarenakan toleransi yang
lebih tinggi.
RSV adalah golongan paramiksovirus dengan envelope
lipid serupa dengan virus parainfluenza, tetapi RSV hanya mempunyai
satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan nukleokapsid RNA heliks
linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya mempunyai satu
antigen envelope menandakan bahwa komposisi antigen RSV relatif stabil dari tahun ke tahun.
Infeksi virus sering berulang terutama pada bayi. Hal ini disebabkan oleh:
- Kegagalan sistem imun host untuk mengenal epitope protektif dari virus.
- Kerusakan sistem memori respons imun untuk memproduksi interleukin I inhibitor dengan akibat tidak bekerjanya sistem APC (antigen presenting cell).
- Penekanan pada sistem respons imun sekunder oleh infeksi virus dan kemampuan virus dalam menyebabkan infeksi, baik pada makrofag maupun limfosit. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi seperti kegagalan produksi interferon, interleukin I inhibitor, hambatan terhadap antiobodi neutralizing dan kegagalan interaksi dari sel ke sel.
Bronkiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini karena neutralizing antibody
ibu masih tinggi pada 4 - 6 minggu kehidupan, yang akan menurun pada
bulan-bulan berikutnya. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi
terhadap infeksi saluran napas bawah, terutama terhadap virus.
Patofisiologi
Invasi
virus pada percabangan bronkus kecil menyebabkan edem, akumulasi mukus
dan debris seluler (eksudat) hingga terjadi obstruksi saluran napas
kecil (bronkiolitis). Karena perbandingan nilai resistensi aliran udara
saluran napas berbanding terbalik dengan radius pangkat empat dari
saluran nafas, maka sedikit penebalan dinding bronkus sudah memberikan
akibat cukup besar terhadap aliran udara pada saluran nafas, terutama
pada saluran nafas bawah.
Resistensi
aliran udara pada saluran napas kecil sama-sama meningkat baik pada
fase inspirasi maupun ekpirasi. Tetapi, oleh karena radius pada saluran
napas lebih kecil selama fase ekpirasi bial dibandingkan dengan fase
inspirasi, maka terdapat suatu mekanisme klep, dimana udara yang ada
akan terperangkap (air trapping). Keadaan ini pada akhirnya dapat
menimbulkan hiperinflasi dari rongga dada.
Obstruksi
pada saluran bronkiolus dapat terjadi secara parsial maupun total.
Apabila obstruksi hanya sebagian, maka dapat timbul emfisema.
Atelektasis dapat terjadi bila terjadi obtruksi total dan dari udara
yang diserap sebelumnya. Proses patologik ini akan menimbulkan gangguan
pada proses pertukaran udara di paru, ventilasi berkurang, dan
hipoksemia. Pada umumnya, hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada keadaan
yang sangat berat.
Pada
dinding bronkus terdapat infiltrat-infiltrat sel radang. Selain itu,
terdapat peradangan pada daerah peribronkial dan di jaringan
interstitiel.
Berbeda
dengan bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi edem
saluran napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, angka morbiditas untuk
terjadinya bronkiolitis pada anak besar dan orang dewasa jarang
terjadi.
Manifestasi Klinis
Mula-mula
terjadinya bronkiolitis akut didahului dengan infeksi saluran napas
bagian atas yang relatif ringan. Infeksi saluran nafas ini dapat berupa
batuk-batuk paroksismal, pilek encer, bersin-bersin dan bisa disertai
demam subfebril atau tanpa demam. Kadang-kadang, pada bayi yang tidak
mempunyai riwayat ataupun demam sama sekali, dapat terjadi suatu keadaan
hipotermi. Gejala-gejala ini biasanya berlangsung beberapa hari.
Kemudian
timbul distres pernafasan yang ditandai dengan keadaan dimana anak-anak
menunjukkan gejala, seperti sesak nafas yang sifatnya progresif,
pernafasan cuping hidung yang disertai dengan retraksi interkostal dan
suprasternal. Pada keadaan yang berat dapat terdengar suara mengi.
Keadaan ini dikompensasi dengan pernafasan Kussmaul’s (pernafasan cepat
dan dalam). Pada akhirnya, anak-anak menjadi gelisah, iritabel dan
tampak sianosis.
Selain
itu, gejala lainnya dapat berupa kesulitan minum terutama pada bayi.
Hal ini disebabkan karena frekuensi napas yang cepat sehingga
menghalangi terjadinya proses menelan dan menghisap. Pada kasus yang
ringan, gejala-gejala tersebut menghilang dalam kurun waktu satu sampai
tiga hari hari. Sementara, pada kasus yang berat, gejalanya dapat tetap
ada sampai beberapa hari dan perjalanan penyakitnya berlangsung cepat.
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilihat adanya distres pernapasan (keadaan dimana frekuensi napas
sekitar 60 x/menit, dengan pernapasan cuping hidung, penggunaan otot
pernapasan tambahan, retraksi dan juga sianosis). Namun, pada
bronkiolitis akut retraksi biasanya tidak dalam karena adanya
hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan limpa
dapat teraba karena terdorong oleh diafragma akibat hiperinflasi
paru-paru. Kadang terdengar ronki basah byaring halus pada akhir fase
inspirasi atau pada permulaaan fase ekpirasi. Fase ekpirasinya memanjang
dan mengi pada keadaan tertentu dapat terdengar dengan jelas. Pada
keadaan yang amat beratm suara pernafasan dapat tidak terdengar. Hal ini
dapat dikarenakan obstruksi yang terjadi sifatnya hampir menyeluruh.
Gambaran radiologik
Gambaran
radiologik foto toraks dapat memberikan gambaran normal atau
hiperinflasi (hiperaerasi) paru dengan diameter anteroposterior
meningkat pada foto lateral. Pada sepertiga penderita, dapat ditemukan
bercak-bercak pemadatan (konsolidasi) yang tersebar merata akibat
atelektasis sekunder terhadap obstruksi atau peradangan (inflamasi)
alveolus.
Pemeriksaan laboratorium
Pada
apusan darah tepi menunjukkan gambaran dalam batas normal. Limfopenia
yang sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan pada
brokiolitis. Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan
menunjukkan tanda-tanda asidosis metabolik maupun metabolik, yang dapat
ditandai dengan hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat
dikeluarkan, akibat edem dan hipersekresi bronkiolus. Pada usapan
nasofaring hanya didapat flora komensal.
Diagnosis dan diagnosis banding
Berdasarkan
manifestasi klinisnya yang khas tersenut, maka bronkiolitis akut harus
dibedakan dengan asma yang juga dapat timbul pada usia muda. Dalam hal
ini, dua keadaan ini dapat dibedakan dengan pemberian bronkodilator.
Pada asma didapat respon terhadap pengobatan dengan
bronkodilator, sementara pada bronkiolitis akut tidak didapat respon
tersebut. Selain asma, keadaan ini harus dapat dibedakan dengan
bronkopneumonia yang disertai emfisema obstruktif dan keadaan gagal
jantung.
Prognosis
Serangan
bronkiolitis akut ini dapat segera teratasi setelah 48 – 72 jam. Angka
mortalitasnya kurang dari 1 persen. Kematian dapat terjadi dikarenakan
anak jatuh dalam keadaan apnoe yang berlangsung lama atau pada keadaan
asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau pada keadaan dehidrasi
yang timbul karena takipnoe dan kurangnya intake makanan dan minuman.
Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterialis dan gagal
jantung relatif jarang dijumpai.
Pengobatan dan tata laksana
Infeksi oleh virus RSV biasanya bersifat self limiting disease, sehingga pengobatan yang ditujukan biasanya hanya berupa pengobatan suportif. Prinsip pengobatannya adalah:
- Oksigenasi
Oksigenasi
sangat penting untuk menjaga agar jangan sampai terjadi hipoksia
jaringan yang justru akan lebih memperberat penyakitnya. Hipoksia
jaringan terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi dari paru-paru.
Oksigenasi harus tetap diberikan walaupun anak belum dalam keadaan
sianosis.
Oksigenasi
dengan kadar oksigen 30 - 40% sering digunakan untuk mengatasi keadaan
ini. Apabila tidak terdapat oksigen, maka anak harus ditempatkan dalam
ruangan dengan kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin
(mist tent). Tujuannya unutuk mencairkan sekret pada tempat peradangan.
- Cairan
Pemberian
cairan sangat penting untuk mengoreksi keadaan asidosis metabolic dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah terjadinya dehidrasi
akibat keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi),
karena pola pernapasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan.
Cara pemberian cairan ini bisa melalui intravena atau nasogastrik. Akan
tetapi, harus kita harus hati-hati, khususnya pada pemberian cairan
melalui lambung karena dapat terjadi aspirasi yang dapat memperberat
sesak napas yang ada, akibat lambung yang terisi cairan menekan
diafragma ke paru-paru.
- Obat-obatan
- Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis
paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk
mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah
obat antivirus yang bersifat virus statik. Tetapi, penggunaan obat ini
masih kontroversial baik mengenai efektivitas maupun keamanannya.
The American of Pediatric
merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan
penyakitnya akan menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis
dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik,
immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi premature. Penggunaan ribavirin
terhadap penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung, didapatkan
bahwa ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas jika
diberikan sejak awal.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12 - 18 jam per hari atau dalam dosis kecil.
- Antibiotik
Penggunaan
antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis,
karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali bila didapat adanya
tanda-tanda infeksi bacterial sekunder. Antibiotik yang dipakai
biasanya yang bersifat broad-spectrum.
Bila diketahui etiologi penyebabnya adalah Mycoplasma pneumoniae, maka dapat dengan pemberian eritromisin.
Penggunaan antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut.
- Bronkodilator dan Antiinflamasi (kortikosteroid)
Kedua
macam obat tersebut masih kontroversial penggunaannya pada
bronkiolitis. Bronkodilator merupakan kontra indikasi, karena dianggap
dapat memperberat keadaan anak, karena menyebabkan anak menjadi lenih
gelisah sehingga kebutuhan oksigennya akan ikut meningkat.
Namun,
ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa penggunaan bronkodilator
dan antiinflamasi dapat mengurangi beratnya penyakit dan mencegah
terjadinya mengi di kemudian hari
- Sedativa
Penggunaan golongan sedative tidak diperbolehkan, karena dapat menimbulkan depresi pernafasan. Bila memang diperlukan, maka dapat dipertimbangkan untuk penggunaan kloralhidrat.
Bronkiolitis dan Immunopatologi Spesifik
Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun antara non-neutralizing antibody
dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan pengamatan di mana
terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda, terutama kurang
dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang secara pasif didapatkan dari ibu
masih cukup tinggi. Namun mekanismenya masih belum jelas.
RSV-Respons IgE Spesifik
Infeksi
oleh virus dapat mengakibatkan respons IgE spesifik. Timbulnya IgE
spesifik berhubungan dengan derajat beratnya penyakit. Respons ini
disertai peningkatan kadar histamin pada sekret hidung yang ditemukan
pada anak dengan mengi akibat infeksi saluran napas bawah oleh virus
RSV. Hal ini menunjukkan keterlibatan IgE pada infeksi virus, walaupun
pada orang dewasa dikeluarkannya histamin oleh sel basofil kadang-kadang
tidak disertai peningkatan kadar IgE.
Ada
beberapa penelitian mengenai hubungan antara serum anti RSV IgE dengan
kadar IgG4 dengan kecenderungan timbulnya mengi di kemudian hari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa atopi bukan merupakan faktor risiko
terjadinya bronkiolitis, tetapi respons IgE merupakan salah satu faktor
yang dapat menunjukkan kecenderungan terjadinya mengi berulang.
Efek Infeksi Virus Terhadap Saluran Napas
Efek infeksi virus terhadap inflamasi saluran napas:
- Sel epitel
Sel
epitel merupakan tempat hidup virus saluran napas. Adanya infeksi ini
akan menyebabkan kerusakan selama replikasi virus. Virus ini juga akan
merangsang dikeluarkanya mediator inflamasi (sitokin) dan kemokin
seperti interleukin 6, interleukin 8, interleukin 11, Granulocyt Macrophag Stimulating Factor (GM-CSF) dan Rantes. Dengan dikeluarkanya mediator kimia tersebut akan menyebabkan terjadinya inflamasi.
- Sel endotel
Kelainan sel endotel akan memberikan gangguan pada saluran napas melalui dua mekanisme:
- Terjadinya reaksi inflamasi pada sel endotel.
- Transudasi protein plasma dari pembuluh darah ke mukosa hidung menyebabkan sekresi hidung dan bendungan.
Adanya
transudasi dapat diketahui dengan pengukuran albumin dan IgG. Kedua zat
tersebut akan meningkat puncaknya 2 - 4 hari setelah infeksi oleh
virus. Mekanisme terjadinya transudasi ini berkaitan dengan aktivasi
mediator kinin, sehingga meningkatkan permeabilitas sel endotel.
- Granulosit
Sel
neutrofil merupakan sel inflamasi yang muncul pada saat infeksi akut
oleh virus. Sel ini berfungsi sebagai faktor kemotaksis seperti IL-8 dan
leukotrien B4. Kompleks virus RSV dan antibodi akan merangsang IL-6 dan
IL-8 yang disekresi oleh sel neutrofil, sehingga akan dilepaskan
sitokin. Selain itu, virus dapat juga mengaktivasi granulosit, sel mast dan basofil.
- Makrofag dan monosit
Adanya infeksi pada saluran pernapasan oleh virus akan menyebabkan dikeluarkanya mediator kimia dari sel makrofag dan monosit. Selama
infeksi saluran napas sitokin: IL-q, TNF alfa, dan IL-8 dapat ditemukan
pada sekret hidung. Pada fase akut ini, sitokin yang dikeluarkan akan
menyebabkan gejala sistemik seperti demam dan malaise. Adanya
interleukin I dan TNF alfa berhubungan erat dengan timbulnya mengi pada
anak-anak dan dapat berkembang menjadi reaksi alergi serta asma di
kemudian hari.
- Sel T
Infeksi
virus dapat merangsang sel T spesifik dan non-spesifik. Sel T ini dapat
menyebabkan timbulnya asma. Ada 3 kemungkinan virus dapat menyebabkan
eksaserbasi asma:
- Sel T membantu membersihkan virus, tetapi tidak berhubungan dengan gejala asma.
- Virus Sel T spesifik dapat menyebabkan gejala asma, tetapi bila infeksinya telah berat.
- Infeksi virus dengan cepat mengaktivasi sel T sehingga menyebabkan inflamasi dan gejala-gejala selama infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus menyebabkan rangsangan terhadap sel T non-spesifik dan terjadi gangguan pada fungsi paru.
Efek Infeksi Virus Terhadap Hipereaktif Saluran Napas dan Mengi
Definisi
hipereaktif saluran napas adalah apabila terjadi penurunan FEV1 sebesar
> 20% setelah diberikan zat alergen seperti methacolin. Infeksi
oleh virus dapat menyebabkan kenaikan hipereaktivitas saluran
pernapasan pada manusia. Timbulnya reaksi ini biasanya sejak awal
penyakit sampai masa akut. Hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya
reaksi berlebihan pada penderita bronkiolitis terhadap inhalasi
methacolin, histamin nitric oksida dan alergen lainnya.
Cheung
dan Collageus meneliti penderita asma sedang yang terkena infeksi virus
RSV. Ternyata, terjadi peningkatan respons saluran napas dan kembali
normal setelah satu minggu.
Data
tersebut menunjukkan bahwa infeksi virus pada saluran napas akan
menyebabkan peningkatan reaktivitas saluran napas yang dapat
mengakibatkan bronkokonstriksi. Efek ini dapat menetap beberapa minggu
setelah infeksi akut. Yang lebih menarik, selama infeksi akut terjadi
penurunan FEVI > 20%. Hal ini berhubungan dengan adanya obstruksi
saluran napas.
Faktor host
juga mempengaruhi terjadinya hipereaktivitas dan fungsi paru-paru.
Penderita dengan riwayat alergi akan terjadi peningkatan reaktivitas
bronkus yang lebih berat jika dibandingkan dengan yang tidak alergi.
Salah satu penelitian prospektif menunjukan bahwa 75% anak akan
mengalami serangan mengi dalam waktu 2 tahun pertama setelah
bronkiolitis dan 59% dari anak ini tetap akan mengalami episode mengi
3,5 tahun kemudian. Sampai usia 5 tahun, insiden mengi pada anak pasca
bronkiolitis menurun menjadi 42% dan menjadi 22% pada usia 8 - 10 tahun.
Mekanisme Kontrol Syaraf Terhadap Saluran Napas
Mekanisme
rangsangan syaraf terhadap saluran pernapasan yang disebabkan oleh
infeksi virus akan menyebabkan bronkokonstriksi. Melalui rangsangan
syaraf parasimpatis, dikeluarkan neuropeptidase dan serabut syaraf
sensoris (serabut C) atau melalui fungsi noradrenergik,-non kolinergik
dengan memproduksi nitrit oksida.
Efek
parasimpatis pada penderita non-asma akan menyebabkan bronkokonstriksi
dan meningkatkan reaktivitas saluran napas selama infeksi oleh virus.
Kerusakan yang diakibatkan oleh infeksi virus akan mengakibatkan
ketidakseimbangan. Fungsi otonom dan kolinergik
menjadi lebih dominan sehingga akan menyebabkan hiperreaktivitas.
Kerusakan ini juga akan menyebabkan gangguan pada reseptor muskarinik
(M2). Reseptor ini akan menginduksi reaksi inflamasi seperti eosinofil
kationik protein, sehingga akan terjadi inflamasi pada saluran napas.
Virus
menyebabkan kelainan pada lapisan epitel yang akan menimbulkan respons
syaraf sensoris. Inhalasi partikel virus atau mediator inflamasi syaraf
sensoris akan mengeluarkan neuropeptida dan menginduksi kontraksi sel
otot polos atau dapat mencetuskan refleks bronkokonstriksi dengan cara
mengaktivasi syaraf parasimpatis. Refleks bronkokonstriksi akan
menyebabkan dikeluarkanya acetilkolin dan kontraksi sel otot polos lewat
rangsangan reseptor muskarinik M3. Pada keadaan normal, acetilkolin
akan menghambat pengeluaran acetilkolin melalui rangsangan reseptor M3
pada presinap post ganglionik parasimpatis (auto inhibitory, feedback). Virus dan mediator inflamasi ini dapat menghambat auto inhibitory feedback sehingga dikeluarkan acetilkolin dan menyebabkan bronkokonstriksi.
Serabut syaraf C juga akan terangsang akibat infeksi virus melalui dua mekanisme:
- Serabut syaraf sensoris C akan menimbulkan refleks bronkokonstriksi oleh rangsangan otak atau menyebabkan udem dan kontraksi otot polos akibat dikeluarkanya neuropeptida seperti subtansi P dan neurokinin A.
- Dikeluarkannya leukotrien, mediator sel mast, rangsangan parasimpatis, dan sekresi mukus akan menyebabkan obtruksi saluran napas.
Kesimpulan
Infeksi
virus dapat menyebabkan gangguan fungsi paru dan asma pada semua umur,
terutama pada anak-anak. Pada anak, infeksi virus RSV dapat menyebabkan
mengi berulang tetapi sebagian besar bersifat sementara. Artinya, risiko
ini akan berkurang dengan bertambahnya umur. Infeksi virus dini dapat
menimbulkan gangguan pada sistem immun, terutama pada saluran napas
sehingga bisa menjadi faktor risiko untuk terjadinya alergi dan asma.
Dari
beberapa penelitian, infeksi virus pada anak dapat menyebabkan
obstruksi dan gejala-gejala pada saluran napas. Mekanisme ini terjadi
akibat terjadinya obstruksi dan hipereaktivitas bronkus. Hal ini dapat
merupakan faktor risiko untuk terjadinya mengi berulang (asma) di
kemudian hari, tetapi biasanya bersifat sementara.
Dengan
bertambahnya umur maka risiko untuk terjadinya mengi akan berkurang.
Komplikasi jangka panjang lainnya adalah bronkiolitis obliteran dan
sindrom paru hiperlusen yang sering disebabkan oleh Adeno virus.
Kelainan
saluran napas kecil dapat terjadi 13 tahun setelah bronkiolitis,
terutama bila bronkiolitis didapat sebelum usia 6 bulan dan tidak
berespons terhadap pemberian bronkodilator inhalasi.
Dua meknisme (hipotesis) utama terjadinya gangguan respiratorik pasca bronkiolitis adalah:
- Infeksi virus akan merusak saluran napas atau sistem immun penderita sehingga dikeluarkanya mediator dan sitokin proinflamasi yang menimbulkan manifestasi inflamasi dan hipereaktivitas bronkus.
- Anak atau bayi sendiri telah mempunyai faktor genetik seperti atopi atau saluran napas tersebut telah peka terhadap berbagai stimulus.
Berdasarkan
bukti-bukti yang ada saat ini maka tampaknya hipotesis pertama yang
banyak dianut, yaitu terjadinya inflamasi dan hipereaktivitas bronkus.
Hal inilah yang akan menjadi risiko terjadinya mengi (asma) di kemudian
hari, sesuai dasar terjadinya asma menurut GINA.
Daftar Pustaka
- Edi H., Roni N. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012002/pus-1.htm. Tinjauan pustaka. Mengi Berulang Setelah Bronkiolitis Akut Akibat Infeksi Virus, Bagian IKA FK-UGM/IKA-RSUP Dr. Sardjito Yogyakart. 2002.
- Mardjais Said. Dalam. Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini; Pendidikan dokter berkelanjutan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994; 33 : 156-59.
- Mark LE. Acute bronchiolitis and pneumonia in infancy resulting from the respiratory syncytial virus. In ; Textbook of pediatric infectious desease, 3nd Philadelphia Saunders company, 1997: 580-90.
- Gert F, William MB, Frans PN. et ul Asthma and immunoglobulin antibodies after Respiratory syncytial virus bronchiolitis. American journal of respiratory and critical care medicine 1998; 157: 1709-20.
- Marry MB, Wohn MD. Bronchiolitis. In. Desease of respiratory tract in child. 2 nd Philadelphia : Saunders company, 19.87: 280-91.
- Robert CW, Marta BS, Reinaldo D. et al. Predictive value of respiratory syncytial virus spesific IgE responses of recurrent wheezing following bronchiolitis, J Pediatr. 1986; 109:776-80.
- Dannis MB, Cathy RN, Henry L. Increassed incidence of bronchial reactivity in children with history of bronchiolitis. J Pediatr 1981; 98: 551-55.
- Renato TS, Duanne S, Wayne J. Respiratory syncytial virus in early life and risk of wheeze and allergy by age 13 years. Lancet 1999; 354 ; 541-45.
- Darryl L, Cathlen C, Robert CW. Eosinofilia at the time of respiratory syncytial virus bronchiolitis predicts chilhood reactive airway desease. Pediatr. 2000; 105:79-83.
- Singgurs N, Bjanarson F, Sigurbegson ef al. Asthma and immunoglobulin E antibodies after respiratory syncytial virus bronchiolitis. Pediatrics 1995; 95:500-505.
- Paul HP, Umar RK, Cristopher B. Evaluation of an evidence based guidline for bronchiolitis. Pediatrics. 1999; 104: 1334-41.
- Kennet MC. Respirator syncytial virus infection. In. Textbook of pediatrics. 12nd Saunders company 1997; 147-51.
Komentar :
Posting Komentar