Jumat, 04 Januari 2013

TULI KONGENITAL ( NSHL )

I. PENDAHULUAN
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir. Untuk mengukur ada tidaknya tuli kita menggunakan satuan decibel hearing loss (dB HL). Pada pendengaran normal kita dapat mendeteksi suara pada 0-20 db. Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar, sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplifikasi). Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter (ada faktor keturunan) dan non genetik.1,2
Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini. Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup, sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh Dep. Kes di 7 Provinsi pada tahun 1994 - 1996 yaitu sebesar 0,1 %.2
Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan, 2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal ini tentu saja berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa mendatang. WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu saja memerlukan kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenaga kesehatan.2
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan pemeriksaan fungsi pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa. Proses pendengaran pada anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi, dan audiologi. Pada sisi lain pemeriksa diharapkan dapat mendeteksi gangguan pada kelompok usia sedini mungkin.1
Penilitian terakhir menyebutkan bahwa anak dengan kelainan pendengaran membutuhkan tindakan rehabilitasi sesegera mungkin, bahkan juga anak usia 6 bulan yang telah diidentifikasi memiliki kelainan pendengaran. Pemberian amplifikasi perlu dipertimbangkan untuk memberikan rangsang stimulus pendengaran namun harus diperhatikan faktor penguatannya sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang permanen. Sedangkan di negara maju penggunaan implant koklear sudah banyak diterapkan pada anak dengan kelainan kongenital.3

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN

Gambar 1. Anatomi telinga 5
Anatomi pendengaran merupakan suatu rangkaian mekanik yang mengubah dari bentuk energi suara menjadi energi listrik yang dihantarkan oleh saraf ke pusat pendengaran di otak. Telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Organ korti memiliki dua tipe sel sensoris, sel rambut dalam sebanyak satu baris dan sel rambut luar sebanyak tiga baris. Sel rambut dalam merupakan reseptor murni yang mengantarkan sinyal suara menuju saraf pendengaran dan pusat pendengaran. Sedangkan sel rambut luar memiliki fungsi sensoris dan juga fungsi motorik yang berperan pada sensitifitas pendengaran dan amplifikasi frekuensi tertentu secara selektif.1,3,6
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga sehingga menggetarkan membran tympani. Getaran diteruskan ke tulang tulang pendengaran, stapes akhirnya menggerakkan foramen oval yang juga menggerakkan perilymph dalm skala vestibuli. Dilanjutkan melalui membran vestibuler yang mendorong endolymph dan membran basal ke arah bawah, perilymph dalam skala tympani akan bergerak sehingga mendorong foramen rotundum ke arah luar. Skala media yang menjadi cembung mendesak endolymph dan mendorong membran basal dan menggerakkan perilymph pada skala tympani. Pada saat istirahat, ujung sel rambut berkelok kelok dan dengan berubahnya membran basal, ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion kalium dan natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke nervus VIII yang diteruskan ke lobus temporal untuk dianalisis.1,6
Dalam koklea terdapat sistem transport ion yang unik di antara masing-masing cairan. Di dalam skala timpani dan skala vestibule terdapat cairan perilimf dengan komposisi menyerupai cairan ekstraseluler, dimana mengandung sedikit ion K+ dan tinggi akan  ion Na+. Sedangkan skala media berisi  cairan endolimf dengan komposisi menyerupai cairan intraseluler atau sitoplasma, dimana mengandung tinggi ion K+ dan sedikit ion Na+ dan Ca+. Kadar konsentrasi ion-ion tersebut dipertahankan oleh adanya perputaran ion dari sel marginal stria vaskular dan menyebabkan timbulnya potensial listrik pada endolimf sebesar +80mV. Adanya penurunan dari potensial listrik ini akan sangat berpengaruh pada sensitivitas terhadap rangsang akustik.3
Walaupun belum diketahui secara pasti, diperkirakan mekanisme perputaran ion tersebut berkaitan dengan hubungan antarsel yang difasilitasi oleh connexin junction. Berlokasi pada membrane sel 6 connexin dengan jenis yang sama atau berbeda akan membentuk satu connexon, dan inilah yang akan membuat pori-pori pada membran sel yang digunakan sebagai saluran untuk pertukaran ion. Kelainan pada saluran ini akan mengganggu proses pertukan ion antarsel dan secara keseluruhan akan menyebabkan kematian dari sel rambut dan ketulian secara menetap.3

III. DERAJAT TULI
Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas :7
•    0-25 dB HL     : normal
•    26-40 dB HL     : tuli ringan
•    41-55 dB HL     : tuli sedang
•    56-70 dB HL     : tuli sedang berat
•    71-90 dB HL     : tuli berat
•    >90 dB HL     : tuli sangat berat
Menurut American National Standart Institute, derajat tuli terbagi atas:6
•    16-25 dB HL : tuli sangat ringan
•    26-40 dB HL : tuli ringan, tidak dapat mendengar bisikan
•    41-70 dB HL : tuli sedang, tidak dapat mendengar percakapan
•    71-95 dB HL : tuli berat, tidak dapat mendengar teriakan
•    >95 dB HL : tuli sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang menyakitkan bagi pendengaran manusia yang normal.4

Selanjutnya, ketulian dapat diklasifikasikan sebagai tuli konduktif (dimana terdapat kegagalan gelombang suara mencapai telinga dalam melalui saluran konduksi udara luar dan tengah), tuli sensorineural (dimana terdapat abnormalitas atau kerusakan sel-sel sensoris dan serat saraf pada telinga dalam), dan tuli campuran (gabungan tuli konduktif dan tuli sensorineural).4,6

IV. EPIDEMIOLOGI
Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus mengenai 6-8% dari populasi di negara berkembang dan sebagian merupakan defek yang didapatkan sejak lahir. Berdasarkan universal newborn hearing screening (UNHS) angka kekerapan yang didapatkan akan jauh lebih tinggi lagi.3 Kurang lebih  1,64 dari 1000 anak lahir hidup mengalami tuli kongenital. 1,0 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli bilateral, dan 0,64 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli unilateral.4

V. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang dapat meningkatkan kecurigaan tuli kongenital diantaranya:4,6
•    Riwayat keluarga dengan tuli kongenital
•    Adanya infeksi prenatal : infeksi TORCH
•    Lahir prematur dan berat badan lahir rendah
•    Persalinan yang sulit dan fetal distress pada saat kelahiran
•    Ikterus (menyebabkan tuli retrokoklear)
•    Mengkonsumsi obat-obat ototoksik
•    Adanya infeksi lainnya, seperti meningitis bakterialis

VI. ETIOLOGI
1.    Genetik
Gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik dapat memiliki etiologi yang berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1% dari seluruh gen manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik terbagi menjadi non-syndromic hearing loss (NSHL) dan syndromic hearing loss (SHL). Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal (single gene) atau disebut monogenic form atau merupakan kombinasi mutasi pada gen yang berbeda dan faktor lingkungan (multifactorial form). Sekitar 50% kasus merupakan kelainan pendengaran bentuk monogenik; sedangkan faktor perinatal dan infeksi selama usia bayi atau trauma bertanggung jawab untuk sisanya. Gambaran perpindahan gen yang bermutasi dari generasi ke generasi berikutnya dapat ditelusuri dari diagram yang disebut sebagai pedigree.3

a.    Non-syndromic hearing loss (NSHL)
NSHL merupakan gangguan pendengaran tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan kelinan fisik lainnya. NSHL mengenai sekitar 1 dalam 4000 orang. NSHL lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural. NSHL terjadi pada 80% tuli genetik. Kelainan genetik pada penderita NSHL memiliki 4 dasar kelainan, yaitu:3
•    Autosomal resesif
Gangguan pendengaran kongenital yang bersifat autosomal resesif terjadi pada 75% dari seluruh tuli kongenital, dan berkaitan dengan mutasi Connexin 26, yaitu hilangnya suatu nukleotida (guanine). Connexin 26 merupakan protein protein yang terekspresikan pada koklea, berperan dalam proses perputaran ion K+ dalam koklea.3
•    Autosomal dominan
•    X-linked
•    Kelainan mitokondria

b.    Syndromic hearing loss (SHL)
Kelainan bentuk fisik yang khas mungkin dapat berhubungan dengan gangguan pendengaran yang bersifat sindromik (SHL). Terdapat lebih dari 100 sindrom, kebanyakan berhubungan dengan tuli sensorineural, diantaranya adalah:3,4
•    Alport syndrome
Kelainan ini mengenai sekitar 1 dari 200.000 orang. Memiliki karakteristik gangguan ginjal progresif dan gangguan pendengaran sensorineural. Lebih sering mengenai laki-laki disbanding wanita. Gangguan pendengaran biasanya bersifat bilateral dan simetris, dengan ketulian saraf progresif dan mengenai frekuensi tinggi. 3
•    Pendred syndrome
Pendred syndrome memiliki gejala khas yang dikenal dengan trias gangguan pendengaran kongenital, goiter multinodul, dan penurunan patologis dari hasil tes perklorat. Gangguan pendengaran biasanya terjadi bilateral. 3
•    Waardenburg syndrome
Waardenburg syndrome mengenai sekitar 2 dari 100.000 kelahiran dan diperkirakan sebesar 2% dari seluruh masalah gangguan pendengaran kongenital di Amerika. Kelainan klinis yang tampak adalah kelainan pada tulang temporal termasuk atropi organ korti dan stria vaskular, dengan penurunan jumlah sel saraf pada ganglion spiralis. Gambaran klinis dari Waadenburg syndrome adalah kelainan lokasi dari kantus medial dan punkta lakrimalijs, hyperplasia high nasal root, gambaran albinisme melingkar pada rambut bagian depan, ketulian saraf unilateral atau bilateral yang bersifat ringan sampai berat. 3
•    Usher syndrome - sensorineural deafness
Usher syndrome mengenai sekitar 3 dalam 100.000 kelahiran hidup. Kelainan bersifat progresif yang sering ditemukan adalah kebutaan karena terjadinya retinitis pigmentosa, juga tuli saraf sedang sampai berat. Kelainan histopatologi yang ditemukan adalah adanya degenerasi epitel sensoris koklea. Tidak ditemukannya cochlear microphonic mengindikasikan adanya gangguan pendengaran. 3
•    Lainnya : 4
    Branchio-Oto-Renal syndrome
    X-linked Charcot Marie Tooth
    Goldenhar syndrome
    Jervell-Lange-Nielsen syndrome
    Mohr-Tranebjaerg syndrome
    Norrie disease
    Stickler syndrome
    Treacher Collins' syndrome

2.    Non genetik
•    Mondini dysplasia
Deformitas tipe mondini ini dapat kita jumpai pada sindroma CHARGE (Coloboma, Heart desease, Choanal Atresia, Retarded development, Gonadal aplasia, dan Ear abnormalities).4
•    Sindroma pelebaran aquaduktus vestibular
Sistem vestibularis terdiri atas kanalis semisirkularis yang berjalan sepanjang utrikula dan sakula. Pada sindrom ini, diameter dari sistem tersebut meningkat (hal ini dapat diukur pada CT dan MRI resolusi tinggi) sehingga menyebabkan tuli sensorineural.4
•    Malformasi lainnya yang dapat meningkatkan terjadinya tuli konduktif antara lain: palatoskizis, malformasi osikular, fiksasi osikular, atresia liang telinga luar, kolesteatoma kongenital.4
•    Obat teratogenik, seperti gentamisin dan thalidomide. 4
•    Infeksi, seperti Toxoplasmosis, Other (HIV, syphilis), Rubella, Cytomegalovirus, Herpes (TORCH). 4

VII. GAMBARAN KLINIS
Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering memberikan gejala berupa keterlambatan bicara (speech delayed). Gagal atau tidak berkembangnya kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan tanda yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran dan perlu dievaluasi. Adapun beberapa gejala atau tanda lain pada anak yang mengalami gangguan pendengaran antara lain :8
•    Tidak ada respon pada bunyi yang keras pada bayi umur 3-4 bulan atau bayi tidak dapat mengetahui asal dari sumber bunyi
•    Bayi hanya melihat ketika dia melihat ibu atau orang lain yang berhadapan dengannya, sedangkan dia tidak akan melihat apabila tidak berhadapan dengannya atau meskipun dengan memanggil namanya
•    Pada bayi umur 15 bulan yang mengalami keterlambtan berbicara, tidak akan dapat mengucapkan kata-kata mama
•    Bayi atau anak tidak selalu respon ketika dipanggil
•    Anak-anak dapat mendengar beberapa bunyi tetapi bunyi yang lainnya tidak

VIII. PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK

Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening) dibedakan menjadi:9
1.     Universal Newborn Hearing Screening (UNHS) : dilakukan pada semua bayi baru lahir, sebelum meninggalkan rumah sakit
2.    Targeted Newborn Hearing Screening : dilakukan khusus pada bayi yang mempunyai faktor resikoterhadap ketulian

 Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing tahun 2000, gold standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated Otoacoustic Emissions (AOAE) dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR). Program skrining ini telah dijalankan pada tahun 2001 dan telah diterapkan seutuhnya di Inggris.4

•    Automated Otoacoustic Emissions (AOAE)
OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari luar yang tiba di sel-sel rambut luar koklea. OAE bermanfaat untuk mengetahui apakah koklea berfungsi normal, berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang objektif, cepat, mudah, otomatis, non-invasif, dengan sensitivitas mendekati 100%. Kerusakan yang terjadi pada sel-sel rambut luar koklea, misalnya akibat infeksi virus, obat ototoksik, kurangnya aliran darah yang menuju koklea menyebabkan sel-sel rambut luar koklea tidak dapat memproduksi OEA.9 Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk bayi yang baru berusia 2 hari. Selain juga untuk orang dewasa. Pada bayi, pemeriksaan ini dapat dilakukan saat beristirahat/tidur. Tesnya tergolong singkat dan tidak sakit, namun memberi hasil akurat. Hasilnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni pass dan refer. Pass berarti tidak ada masalah, sedangkan refer artinya ada gangguan pendengaran hingga harus dilakukan pemeriksaan berikut.10
•    Automated Auditory Brainstem Response (AABR) atau Automated Brain Evoked Response Audiometri (BERA)
Tes BERA dapat menggambarkan reaksi yang terjadi sepanjang jaras-jaras pendengaran, dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan dimulai pada saat pemberian impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Pemeriksaan BERA mempunyai nilai objektifitas yang tinggi, penggunaannya mudah, tidak invasif, dan dapat dipakai untuk pemeriksaan anak yang tidak kooperatif, yang tidak bisa diperiksa secara konvensional. 9
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
•    Timpanometri.
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan pada anak-anak. Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.11

•    Auditory Brainstem Response (ABR)
Cara pemeriksaannya hampir sama dengan OAE. Bayi mulai usia 1 bulan sudah dapat dilakukan tes ini, Automated ABR yang berfungsi sebagai screening, juga dengan 2 kategori, yakni pass dan refer. Hanya saja alat ini cuma mampu mendeteksi ambang suara hingga 40 dB. Sedangkan guna mengetahui lebih jauh gangguan pendengaran yang diderita, lazimnya dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry). 10



•    Visual Reinforced Audiometry (VRA)
Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada bayi usia 9 bulan sampai 2,5 tahun. Pemeriksaan yang hampir sama dengan CORs ini juga berfungsi untuk mengetahui ambang dengar anak. Tergolong pemeriksaan subjektif karena membutuhkan respons anak. Namun pada tes ini selain diberikan bunyi-bunyi, alat yang digunakan juga harus dapat menghasilkan gambar sebagai reward bila anak berhasil memberi jawaban. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sambil bermain. 10

•    Play Audiometry
Pemeriksaan yang juga berfungsi mengetahui ambang dengar anak ini dapat dilakukan pada anak usia 2,5-4 tahun. Caranya dengan menggunakan audiometer yang menghasilkan bunyi dengan frekuensi dan intensitas berbeda. Bila anak mendengar bunyi itu berarti sebagai pertanda anak mulai bermain misalnya harus memasukkan benda ke kotak di hadapannya.10

•    Conventional Audiometry
Pemeriksaan ini dapat dilakukan anak usia 4 tahun sampai remaja. Fungsinya untuk mengetahui ambang dengar anak. Caranya dengan menggunakan alat audiometer yang mampu mengeluarkan beragam suara, masing-masing dengan intensitas dan frekuensi yang berbeda-beda. Tugas si anak adalah menekan tombol atau mengangkat tangan bila mendengar suara. 10

IX. TERAPI
•    Memberikan pengetahuan dan dukungan terhadap orang tua
•    Alat bantu dengar :

1.    Alat bantu dengar eksternal
Alat ini akan meningkatkan volume suara yang mendekati telinga. Alat ini diletakkan di belakang telinga atau di dalamnya. Alat bantu dengar yang diletakkan tepat di dalam meatus akutikus eksternus diperuntukkan bagi pasien dengan tuli derajat ringan dan sedang. 4

Gambar 2. Alat bantu dengar eksternal12

2.    Alat bantu dengar digital vs analog
Alat bantu dengar digital sering dapat memperbaiki kualitas dari suara. Alat yang tersedia untuk NHL selalu memiliki komponen digital di dalamnya. 4
3.    Alat bantu dengar implant
o    Implant koklear
Ini merupakan alat yang ditanam secara operasi dirancang untuk merubah suara menjadi sinyal listrik. Pada gangguan pendengaran sensorineural dapat dilakukan implantasi koklea untuk memperbaiki pendengaran sehingga akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi pasien tuli saraf berat atau total. Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:4,13
-    Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar
-    Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara yang tertangkap oleh mikrofon
-    Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik
-    Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan mengirimnya ke otak.


Gambar 2. Implant koklea13

Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan membantu mereka dalam memahami percakapan. Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan.13
Cara kerja Implan Koklea adalah sebagai berikut : impuls suara ditangkap oleh mikrofon, diteruskan ke speech processor yang menyeleksi informasi suara yang sesuai menjadi kode suara yang disampaikan ke transmitter. Kode suara dipancarkan melalui kabel dan menembus kulit menuju receiver atau stimulator yang berubah menjadi sinyal listrik dan diteruskan menuju elektroda-elektroda yang sesuai di dalam koklea yang merangsang serabut-serabut saraf. Saraf pendengaran ini meneruskan ke otak dan menerjemahkan informasi ini sebagai suara. Pada speech processor terdapat sirkuit listrik khusus yang berfungsi meredam bising lingkungan.13

o    Bone anchored hearing aid (BAHA)
Operasi jenis ini diperuntukkan untuk pasien dengan tuli konduktif atau tuli campuran. Keuntungan dengan penggunaan alat ini adalah kualitan suara yang lebih bagus dan juga memperbaiki penampilan, namun seperti halnya dengan operesi implant koklear, terkadang bisa saja terjadi hasil yang diluar harapan pasien. Juga terdapat resiko adanya rekasi jaringan dan hilangnya jaringan-jaringan dari posisinya semula di tulang tengkorak.4






Gambar 3. Bone anchored hearing aid 14

X. KESIMPULAN
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir dan merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak. Untuk terapi tuli kongenital, pemberian amplifikasi dapat dipertimbangkan untuk memberikan rangsang stimulus pendengaran ataupun dapat dilakukan implantasi koklea.
DAFTAR PUSTAKA

1.    Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 32-36.
2.    Wibisono. Tuli Kongenital. Http://vibizlife.com. [diakses tanggal 20 Februari 2009]
3.    Bashiruddin J, et al. Gangguan pendengaran genetik. Dalam : Jurnal Otolaringology Vol.36 No.3, Juli-September 2006
4.    Scott Olivia. Congenital Deafness. Http://www.patient.co.uk. [diakses tanggal 20 Februari 2009]
5.    Ghorayeb BY. Anatomy of The Ear. Http://www.ghorayeb.com. [diakses tanggal 20 Februari 2009]
6.    Shah RK, Lotke M. Hearing Impairment. Http://emedicine.medscape.com. [diakses 21 Februari 2009]
7.    Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 10-22.
8.    University of Virginia. Hearing loss in Babies. Http://www.healthysystem.virginia.com. [diakses 20 Februari 2009]
9.    Suwerto R. Keterlambatan Bicara dan Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Http://www.ketulian.com. [diakses tanggal 22 Februari 2009]
10.    Asbudi. Deteksi Pendengaran. Http://www.speech-therapy.co.cc. [diakses tanggal 25 Februari 2009].
11.    Mikolai TK, et al. A Guide to Tympanometry for Hearing Screening. Maico Diagnostic, 2006.
12.    Paulose. Hearing aid. Http://drpaulose.wordpress.com. [diakses tanggal 22 Februari 2009].
13.    O’Reilly C. Cochlear implant. Http://kidshealth.org. [diakses tanggal 22 Februari 2009]
14.    University of California. Bone Anchored Hearing Device. Http://www.ent.uci.edu. [diakses tanggal 22 Februari 2009]

Komentar :

ada 1
Unknown mengatakan...
pada hari

nice postingan, visit here for information all about aceh , saleum aneuk nanggroe
tuli sensorineural

dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.