HIDUNG BERBAU (FOETOR EX NASI)
1. PENDAHULUAN
Indera penghidu yang merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja bersama-sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di dasar fossa kranii posterior.1
Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik nafas dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang selalu ada di permukaan mukosa daerah olfaktorius. Berdasarkan survei data di Amerika Serikat tahun 1994 sekitar 2,7 juta orang mempunyai masalah dengan penciuman, salah satu diantaranya adalah hidung berbau (foetor ex nasi). Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan disebut sebagai offensive odor, fetid odor, stinkende afscheiding, a stench. Ini merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis. Sebagai simptom, foetor ex nasi sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, kadang disertai dengan darah. Penelitian yang dilakukan di RS dr. Kariadi Semarang tahun 1975-1976 tentang jenis penyakit yang paling banyak menimbulkan gejala foetor ex nasi di poliklinik Telinga Hidung Tenggorok adalah korpus alienum dan sinusitis.1,2,3
Dalam kenyataannya, masih sering dijumpai penderita datang ke dokter dengan keluhan hidung berbau, yang penting diperhatikan adalah bagaimana menentukan diagnosis secara praktis, apalagi bagi seorang dokter yang tidak mempunyai alat yang lengkap untuk memeriksa keadaan dalam hidung. Untuk keperluan ini maka penulis tertarik untuk menulis referat tentang “Hidung Berbau” (foetor ex nasi) bagaimana patogenesis, anamnesis, cara pemeriksaan secara klinis yang sederhana dan pedoman diagnostik berdasarkan diagnosis banding dari kelainan atau beberapa penyakit yang dapat memberikan gejala foetor ex nasi.
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
2.1 Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus frontal os maksila.4,5
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar (dikutip dari: kepustakaan 5)
Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.4
2.2 Hidung Dalam
Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Pada dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yaitu meatus superior, media dan inferior.5,6
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat mengganggu penciuman.6
Gambar 2. Anatomi hidung dan cavum nasi (dikutip dari: kepustakaan 5)
2.3 Fisiologi Hidung
Fungsi hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses bicara dan reflek nasal.4,7,8
a. Sebagai jalan nafas
Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk lengkungan atau arkus. Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti saat inspirasi, di bagian depan aliran udara memecah sebagian melalui nares anterior dan sebagian lagi ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran udara nasofaring.8
b. Pengatur kondisi udara
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
c. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir dan enzim yang dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut lisozim.8
d. Indera penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.4,7
Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri dari tiga macam sel-sel saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Lamina propia di daerah olfaktorius mengandung kelenjar olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) yang menghasilkan mukus cair.4,7
Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan diri ke permukaan epitel, kemudian membentuk bulatan disebut vesikel olfaktorius. Menurut teori stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar, indera penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor yang bentuk dan dimensinya tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan partikel reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial, kamper, “musky”, wangi bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul dengan dua atau lebih reseptor primer.4
Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau adalah interaksi antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar, permulaan perjalanan impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau silia, mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam lendir. Pada perangsangan sel reseptor, akan timbul perubahan potensial listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas listrik yang menetap dan terus-menerus.4
Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1 mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul membentuk gabungan 20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina kribrosa dan memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin.4
Di dalam bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan dengan sel-sel mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk ke korteks piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius dan limbus anterior kapsula interna dengan hubungan sekunder.4
Gambar 3. Hubungan langsung dari mukosa olfaktorius ke bulbus olfaktorius di Central Nervus System. (dikutip dari: kepustakaan 4)
e. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).8
f. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.8
g. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8
3. HIDUNG BERBAU (FOETOR EX NASI)
3.1 Definisi
Hidung berbau (foetor ex nasi) berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan disebut sebagai offensive odor, fetid odor, stinkende afscheiding, a stench. Ini merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis. Sebagai simptom, foetor ex nasi sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, yang kadang-kadang disertai dengan darah.3,9
3.2 Etiologi
Ada beberapa penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi antara lain: 3
a. Korpus alienum
b. Rinolit
c. Difteri hidung
d. Sinusitis
e. Rinitis atrofi (Ozaena)
f. Nasofaringitis kronis
g. Rinitis kaseosa
3.3 Patogenesis
Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis dari mukosa dan adanya organisme saprofit. Pus yang kronis dan berbau dalam sinus maksilaris mungkin juga berasal dari gigi. Menurut BOYD, nekrosis dapat disebabkan oleh: (1) berkurangnya aliran darah (blood supply), (2) toksin bakteri, dan (3) iritasi secara fisik maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan oleh organisme saprofit.3
Berdasar pendapat tersebut di atas, maka foetor ex nasi dapat disebabkan oleh:3
1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) atau korpus alienum oleh kuman saprofit.
2. Pembusukan sel-sel jaringan yang nekrotis, sebagai akibat dari :
a. Trauma, mengakibatkan kerusakan jaringan sampai matinya jaringan karena tidak mendapat suplai darah. Terjadilah nekrosis dan infeksi sekunder sehingga timbul foetor.
b. Radang oleh iritasi fisik atau kimiawi.
c. Toksin bakteri.
d. Neoplasma maligna dengan bagian-bagian yang nekrotik.
3.4 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti sangat membantu untuk menentukan diagnosis etiologi dari foetor ex nasi, karena banyak penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi. Meskipun hidung adalah organ pembau, apabila dalam rongga hidung terjadi bau busuk, bau ini mungkin tidak disadari oleh penderita. Apabila penderita dapat membau, kita beri tanda (+), dan bila tidak membau kita beri tanda (-), maka kemungkinan yang dapat terjadi pada pasien adalah: 3
1. Penderita sendiri (+), orang lain (+)
2. Penderita sendiri (+), orang lain (-)
3. Penderita sendiri (-), orang lain (+)
Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia. Bila orang lain tidak membau, berarti bau tersebut subjektif. Keluhan bau busuk dari hidung anak sering dikeluhkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Gejala nasal discharge dengan foetor dapat bersifat unilateral atau bilateral. Hal ini perlu sekali ditanyakan dalam anamnesis oleh karena anamnesis yang teliti dan terarah akan sangat membantu kita dalam mencari kemungkinan diagnosis.3
Anamnesis perlu disesuaikan dengan pemeriksaan, salah satu pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah discharge purulent atau sanguinous, dan apakah discharge sangat banyak (profuse). Berdasarkan adanya macam-macam kelainan/penyakit yang dapat menimbulkan gejala foetor, dapatlah disusun diagnosis banding sebagai berikut :
1. Korpus alienum
2. Rinolit
3. Difteri hidung
4. Sinusitis
5. Rinitis atrofi (Ozaena)
6. Nasofaringitis kronis
7. Rinitis kaseosa
8. Radang kronis spesifik : sifilis tertier, tuberkulosis
9. Neoplasma maligna
1. Korpus alienum
Kebanyakan benda-benda kecil misalnya biji buah, manik-manik, kancing, karet penghapus, kelereng, kacang polong, batu dan kacang tanah. Kebanyakan ditemukan pada anak-anak dan biasanya unilateral. Bila benda tersebut belum lama dimasukkan, maka tidak atau hanya sedikit mengganggu, kecuali bila benda yang dimasukkan tajam atau sangat besar. Gejala yang muncul antara lain obstruksi yang bersifat unilateral dan sekret yang berbau. Benda asing umumnya ditemukan pada bagian anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar hidung. Karena penderita kebanyakan adalah anak-anak, apakah penderita sendiri dapat membau atau tidak hal ini tidak jelas.3,6,10
Gambar 4. Korpus alienum pada hidung (dikutip dari: kepustakaan 10)
2. Rinolit
Rinolit juga dianggap sebagai benda asing tipe khusus yang biasanya terdapat pada orang dewasa. Garam-garam tak larut dalam sekret hidung membentuk suatu masa berkapur sebesar benda asing yang tertahan lama atau bekuan darah. Warna sedikit abu-abu, agak coklat atau hitam kehijau-hijauan. Konsistensi dapat lunak sampai keras dan rapuh atau porus. Seperti halnya dengan korpus alienum, biasanya terdapat unilateral. Sekret sinus kronik dapat mengawali terbentuknya masa seperti itu di dalam hidung.3,6,10
Gambar 5. Rinolit (dikutip dari: kepustakaan 10)
3. Difteri hidung
Ada 2 tipe difteri hidung yaitu: (1) primer: terbatas dalam hidung, bersifat benigna, ±2%, (2) sekunder: berasal atau bersama-sama dengan difteri faring, bersifat maligna karena biasanya disertai gejala konstitusional. Discharge biasanya bilateral, sanguinous, sering disertai ekskoriasi vestibulum nasi. Berdasarkan adanya difteri hidung benigna dan maligna, maka jangan lupa memeriksa keadaan faring. Bila masih ragu, sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap sekret hidung dan tenggorok.3
4. Sinusitis
Dapat terjadi pada anak-anak ataupun dewasa, dapat unilateral, atau bilateral. Pada anak-anak, discharge yang banyak sering disertai infeksi pada adenoid dan alergi hidung. Pada anak-anak gejala yang sering ditemukan ialah: nasal obstruction, persistent mucopurulent discharge, frequent colds. Berdasarkan adanya infeksi adenoid dan alergi hidung, maka pada anak-anak gejala discharge tentunya lebih sering bilateral. Pada anak-anak diragukan apakah penderita sendiri membau atau tidak, jadi penderita sendiri (±), orang lain (+). Penderita dewasa sering menyadari adanya bau yang tidak enak dalam hidungnya, tetapi kadang-kadang hiposmia bila ada obstruksi dan bersifat temporer.3,9,10
Gambar 6. Sinusitis (dikutip dari: kepustakaan 10)
5. Ozaena
Disebut juga rhinitis chronica atrophicans cum foetida. Karakteristiknya adalah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya krusta yang berbau khas. Untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, karena derajat ozaena menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Adanya discharge yang berbau, bersifat bilateral, terdapat krusta kuning kehijau-hijauan. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita dari pada pria, terutama pada umur sekitar pubertas. Penderita sendiri mengalami anosmia, sedang orang lain tidak tahan baunya.3
6. Nasofaringitis kronis
Di nasofaring terdapat jaringan limpoid, kadang-kadang adenoid, dimana banyak tinggal bakteri-bakteri didalam kripti. Bila ada infeksi virus maka bakteri tersebut menjadi virulen dan dapat meluas ke semua arah. Pada kebanyakan kasus penyakit ini bersifat self limiting, bila daya tahan tubuh baik penyakit segera sembuh. Tetapi dapat juga penyakit menjadi kronis dan discharge nasofaring menjadi purulen serta mulai timbul bau, hal ini mulai dirasakan oleh penderita sendiri. Penderita sering berusaha mengeluarkan discharge di nasofaring yang dirasakan sangat mengganggu. Discharge pada nasofaringitis kronis bersifat bilateral.3
7. Rinitis kaseosa
Adalah perubahan kronis inflamatoar dalam hidung dengan adanya pembentukan jaringan granulasi dan akumulasi massa seperti keju yang menyerupai kolesteatoma. Ada banyak teori tentang etiologi penyakit ini, diantaranya bahwa penyakit ini adalah akibat radang kronis dan nasal stenosis sekunder yang menyumbat nasal discharge. Oleh perubahan mekanis dan kimiawi dan deskuamasi mukosa secara terus-menerus, terjadilah penumpukan massa seperti keju yang menyerupai kolesteatoma. Kebanyakan bersifat unilateral, dapat terjadi pada segala umur, tetapi terbanyak antara 30-40 tahun. Karena kelainan ini adalah akibat sinusitis, penderita sendiri membau (+), orang lain (+).3
8. Radang kronis spesifik
a. Sifilis tertier
Berupa gumma yang sering mengenai septum bagian tulang, yaitu pada vomer dan sering mencapai palatum durum. Bila terjadi nekrosis yang mengenai tulang dan meluas ke kartilago septum terjadilah perforasi septum. Foetor bersifat bilateral. Penyakit ini sekarang jarang dijumpai.3
b. Tuberkulosis
Dalam hidung sebagai tuberkuloma yang banyak mengenai septum bagian kartilago. Untuk membedakan sifilis tertier dari tuberkulosis lebih baik dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan biopsi. Pada tuberkulosis perlu dilakukan foto rontgen toraks dan nasal swab. Pada tuberkulosis, bila tuberkuloma pada septum bagian kartilago mengalami nekrosis, dapat juga terjadi perforasi septum, foetor dapat dirasakan bilateral. Penyakit itu sekarang juga jarang dijumpai.
9. Neoplasma maligna
Gejala yang menyolok ialah nasal obstruction yang bersifat unilateral dan nasal bleeding. Kadang-kadang ulserasi awal dan nasal bleeding terlihat lebih dulu sebelum nasal obstruction, terutama pada tumor kavum nasi yang anaplastik. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi yang diambil dari bagian yang tidak nekrotis. Perlu diagnosis sedini mungkin, maka bila ada kecurigaan kearah malignansi, biopsi perlu segera dilakukan.3
3.5 Pedoman Diagnostik
Pada anak-anak
1. Korpus alienum: discharge unilateral.
2. Difteria hidung: discharge sanguinous bilateral.
3. Sinusitis: discharge profuse bilateral. 3
Dewasa
1. Sinusitis: discharge bilateral, penderita (+), orang lain (+)
2. Ozaena: discharge bilateral, Penderita (-), orang lain (+)
3. Nasofaringitis kronis: discharge postnasal bilateral, penderita (+), orang lain (-)
4. Rinitis kaseosa: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+)
5. Sifilis tertier: discharge bilateral, septum bagian tulang, penderita (+), orang lain (+)
6. Tuberkulosis: discharge bilateral, septum bagian kartilago, penderita (+), orang lain (+)
7. Neoplasma maligna: discharge uni/bilateral, penderita (+), orang lain (+).
8. Rinolit: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+).3
Pedoman diagnostik tersebut diatas akan mempermudah penentuan diagnosis secara klinis. Bila diagnosis masih meragukan dilakukan pemeriksaan khusus dan laboratorium. 3
3.6 Terapi
Terapi yang diberikan tergantung dari diagnosis :
a. Korpus alienum/ rinolit
Terapinya ialah mengangkat korpus alienum atau rinolit.
b. Nasal difteria
Diberikan antibiotika, Anti Difteri Serum (ADS), dan salep antibiotika untuk mencegah dermatitis akibat nasal discharge.
c. Sinusitis dan rinitis kaseosa
Prinsip terapi ialah membersihkan discharge, memperbaiki ventilasi dan drainase, pemberian antibiotika yang sesuai, dan bila tidak berhasil baru dilakukan operasi.
d. Ozaena
Terapi konservatif atau kombinasi dengan operatif.
e. Nasofaringitis kronis
Terapi ialah dengan mengisap discharge yang lengket di nasofaring, pemberian antibiotika dan obat tetes hidung.
f. Sifilis tertier dan tuberkulosis
Terapinya sesuai dengan terapi spesifik untuk sifiilis dan tuberkulosis pada umumnya.
g. Neoplasma maligna
Terapi operasi, radiasi atau kombinasi operasi dan radiasi. 3
3.7 Prognosis
Prognosis untuk korpus alienum dan rinolit setelah pengangkatan korpus alienum dan rinolit pada umumnya baik. Prognosis untuk radang pada umumnya baik. Adanya bermacam-macam antibiotika dapat memperkecil insidens, komplikasi dan mortalitas.3
Khusus untuk ozaena, prognosis tergantung dari derajat ozaena sebelum diobati.3
• Ozaena ringan, dengan terapi konservatif atau kombinasi konservatif dan operatif, prognosis baik, dapat sembuh 100%.
• Ozaena sedang, dengan terapi kombinasi konservatif dan operatif sekitar 75% - 83% berhasil baik, dapat residif.
• Ozaena berat, dengan terapi konservatif maupun operatif tidak berhasil, atau hasilnya 0%. Oleh sebab itu dianjurkan untuk tidak melakukan operasi pada ozaena berat.
2.4.8 Pencegahan
Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya foetor ex nasi adalah dengan:
a. menjaga kebersihan
b. mempertinggi daya tahan tubuh agar tidak mudah terkena infeksi
c. mencegah terjadinya infeksi kronis 3
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2001;130.
2. Leopold DA. Disorder of Taste and Smell. http://www.emedicine.com. [diakses tanggal 14 Februari 2009].
3. Soedarjatni. Foetor ex nasi. Maj Cermin Dunia Kedokt. 1977;21-24.
4. Ballenger JJ. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara,1994;1-2.
5. Encarta. Anatomy of The Nose. http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The Nose.html. [diakses tanggal 19 Februari 2009].
6. Hilger PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;174-176.
7. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Elsevier. 2007;131.
8. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2001;88-94.
9. RS Dhillon, East CA. Ear Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2nd ed. London: Churchill Livingstone, 1999;32.
10. Ghorayeb BY. Otolaryngology Houston. http://www.ghorayeb.com. [diakses tanggal 19 Februari 2009].
skip to main
|
skip to sidebar
blog ini menyediakan artikel kedokteran terbaru dan terlengkap.artikel ini berasal dari sumber yang terpercaya.bila anda tidak menemukan artikel yang anda cari di blog ini mohon anda konfirmasikan di kotak chat box kami.
Jumat, 04 Januari 2013
OZAENA
Diposting oleh
kumpulan artikel kedokteran terlengkap
di
8:13 PM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.
My profil
Blog Archive
Artikel Popupler
-
EKTIMA I. PENDAHULUAN Ektima adalah pioderma ulseratif kulit yang umumnya disebabkan oleh Streptococcus β-hemolyticus . Penye...
Komentar :
Posting Komentar