Diagnosis
penyakit autoimun ditegakkan bila keadaan autoimun (respons imun terhadap diri sendiri) berhubungan dengan pola gejala
dan tanda klinik yang dikenali. Keadaan autoimun biasanya ditetapkan
berdasarkan deteksi adanya antibodi yang khas dalam sirkulasi penderita.
Ada
dua teori utama yang menerangkan mekanisme terjadinya penyakit autoimun. Yang
pertama adalah : autoimun disebabkan oleh kegagalan pada delesi normal limfosit
untuk mengenali antigen tubuh sendiri. Teori yang berkembang terakhir adalah
autoimun disebabkan oleh kegagalan regulasi normal dari sistem imunitas (yang
mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri namun
mengalami supresi). Nampaknya kombinasi faktor lingkungan, genetik dan tubuh
sendiri berperan dalam ekspresi penyakit
autoimun.1,
2
Keberadaan
penyakit autoimun pada kehamilan bukan hal yang jarang dijumpai. Beberapa
penyakit autoimun dapat menimbulkan dampak yang menonjol dalam kehamilan. Yang
lainnya mungkin dipengaruhi oleh kehamilan dan ada juga yang mempunyai bentuk
yang khas yang berhubungan dengan kehamilan. Seorang obstetrikus harus
mengetahui dengan baik penyakit autoimun
yang sering ditemukan, bagaimana pengaruhnya terhadap kehamilan dan bagaimana
pengaruh kehamilan terhadap penyakit autoimun tersebut serta apa akibat yang
dapat ditimbulkan oleh penyakit ini terhadap ibu dan janinnya. Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai beberapa penyakit autoimun yang sering ditemukan
dalam kehamilan.
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
Systemic lupus erythematosus (SLE)
adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang idiopathic, mengenai kulit, sendi,
ginjal, paru-paru, membrana serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ tubuh
yang lain. Seperti penyakit autoimun yang lain kejadiannya ditandai oleh
periode remisi dan relaps. Gejala yang paling sering ditemukan adalah
kelelahan. Demam, penurunan berat badan, myalgia dan arthralgia juga merupakan
gejala yang sering ditemukan.1, 3
Prevalensi
penyakit ini berkisar 5-100 per 100.000 individu, wanita dewasa mempunyai
kemungkinan 5-10 kali lebih besar untuk menderita penyakit ini dibandingkan
dengan pria. Populasi tertentu mempunyai prevalensi yang lebih tinggi, misalnya
pada wanita Amerika turunan Afrika prevalensinya tiga kali lebih tinggi
dibanding dengan wanita turunan Kaukasian.1, 3
Predisposisi
genetik untuk SLE mencakup beberapa faktor. Kejadian SLE berkisar 5-12% pada
keluarga penderita SLE, pada penderita yang kembar monozigot kejadiannya lebih
dari 50%. Sejumlah petanda genetik ditemukan lebih sering pada penderita SLE
dibanding kelompok kontrol, meliputi HLA-B8, HLA-DR3 dan HLA-DR2. Penderita SLE
juga mempunyai frekuensi defisiensi protein komplemen C2 dan C4 yang lebih tinggi.2
Diagnosis
Diagnosis SLE ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi yang
beredar dalam sirkulasi. Sejumlah antibodi dikenali berhubungan dengan kejadian
SLE, yang terutama adalah antinuclear antibodi (ANA). Dahulu dikenali faktor
serum yang menyebabkan fenomena lupus erythematosus (LE), suatu autoantibodi
yang diketahui melawan nukleoprotein (DNA-histone), namun saat ini fenomena sel
LE tidak penting untuk diagnosis dan sudah digantikan oleh pemeriksaan
immunofluorescent terhadap ANA yang berperan sebagai uji saring dalam diagnostik awal terhadap penderita yang
dicurigai menginap SLE.1
Antibodi terhadap DNA
untai ganda merupakan pemeriksaan yang
paling spesifik untuk SLE dan ditemukan pada 80-90% penderita yang tidak
diobati. Peningkatan kadar antibodi ini berhubungan dengan eksaserbasi penyakit
dan persalinan prematur. Antibodi terhadap DNA untai tunggal juga meningkat
pada penderita SLE yang tidak diobati namun kurang spesifik dibanding antibodi
DNA untai ganda.1-3
Tabel 1. Frekuensi gejala klinis SLE (dikutip dari kepustakaan 1 )
Gejala
|
Penderita (%)
|
Kelelahan
Demam
Arthralgia,
arthritis
Myalgia
Penurunan
berat badan
Kulit
:
-
ruam
berbentuk kupu-kupu
-
fotosensitif
-
lesi
membran mukosa
Komplikasi
ginjal
Paru-paru:
-
pleurisy
-
efusi
-
pneumonitis
Jantung
(perikarditis)
Lymphadenopathy
SSP
-
kejang
-
psikosis
|
80-100
80-100
95
70
>60
50
60
35
50
50
25
5-10
10-50
50
15-20
< 25
|
Pada tahun 1971 American
Rheumatism Association (ARA) membuat kriteria diagnosis SLE yang kemudian di revisi pada tahun 1982.
Untuk menegakkan diagnosis SLE diperlukan minimal 4 dari 11 kriteria pada satu kali pemeriksaan atau pada
pemeriksaan serial. Kriteria – kriteria ini sangat sensitif dan spesifik untuk
SLE namun perlu diketahui bahwa kriteria ini jangan pernah diharapkan untuk
membentuk sine quo non untuk diagnosis
SLE.1,
2
Klasifikasi ARA untuk diagnosis SLE : 1
Malar rash
Discoid rash
Photosensitivity
Oral ulcers
Arthritis (non-deforming arthritis)
Serositis (pleuritis and/ or pericarditis)
Renal disorder (proteiuria >0,5
g/day or celluler casts)
Neurological disorder (psychosis
and/or seizures)
Hematological disorder (leukopenia or
lymphopenia / hemolitic anemia / thrombocytopenia)
Immunological disorder (anti-DNA /
anti SM/LE cell/ false positive STS)
Antinuclear antibody
Risiko maternal
Risiko
yang paling ditakuti pada masa kehamilan adalah eksaserbasi SLE. Deteksi
eksaserbasi SLE pada masa kehamilan sulit dilakukan karena manifestasi khas
dari eksaserbasi mungkin merupakan hal yang normal pada kehamilan. Penelitian
yang dilakukan Garenstein dkk menemukan bahwa risiko eksaserbasi 3 kali lebih
besar pada 20 minggu pertama kehamilan dan 6 kali lebih besar pada 8 minggu
pertama postpartum dibanding dengan masa 32 minggu sebelum konsepsi.1, 2, 4
Beberapa
penelitian menemukan angka kematian
janin pada penderita SLE relatif tinggi, sehingga disarankan agar penderita SLE
tidak boleh hamil. Secara keseluruhan sekitar 15-60% penderita SLE akan
mengalami eksaserbasi dalam masa kehamilan dan postpartum, namun untungnya
tigaperempatnya bersifat ringan sampai sedang dan dapat diobati dengan
glukokortikoid dosis ringan sampai sedang.1, 3
Devoe
dkk menemukan bahwa eksaserbasi ditandai dengan penurunan kadar C3 dan C4,
sedang Lockshin dkk menemukan bahwa kadar Cls-C1 inhibitor complex yang
seharusnya meningkat akan menetap pada kebanyakan wanita hamil dengan
hypocomplementemia, namun ada pula penelitian lain yang menemukan
hypocomplementemia pada kehamilan tanpa SLE dan tidak memprediksi luaran janin
yang buruk. Tomer dkk menemukan peningkatan kadar anti-dsDNA berhubungan dengan
risiko eksaserbasi dan persalinan prematur, mereka juga menemukan bahwa
peningkatan kadar anti-dsDNA dan
antibodi antikardiolipin meningkatkan risiko abortus.1
Penyakit
ginjal merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada SLE (50%). Pada
umumnya dianggap bahwa lupus nephritis (LN) berhubungan dengan deposisi
kompleks imun yang mengakibatkan aktivasi komplemen dan kerusakan inflamasi
jaringan pada ginjal yang ditandai dengan gejala proteinuria pada 75%
penderita, dan sekitar 40% dengan hematuria dan pyuria, serta sepertiganya
dengan urinary cast. Hasil biopsi ginjal sangat penting untuk menentukan
pengobatan dan prognosis. Laporan penelitian terdahulu menyebutkan bahwa LN
merupakan kontributor utama untuk morbiditas dan mortalitas ibu. Gambaran
patologi biopsi ginjal berupa : diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN), focal
proliferative glomerulonephritis, membranous glomerulonephritis dan mesangial
nephritis.1,
2
Secara
keseluruhan pada 20-30% kehamilan dengan SLE terjadi komplikasi pregnancy
induced hypertension (PIH), penyebabnya belum diketahui namun mungkin didasari
oleh penyakit ginjal yang merupakan suatu faktor yang berhubungan dengan PIH. Pemakaian
kortikosteroid dosis tinggi (> 30 mg prednison) selama kehamilan mungkin
pula merupakan faktor predisposisi terjadinya PIH.1, 4
Risiko pada janin
Kematian
janin merupakan salah satu risiko SLE pada kehamilan, hal ini mungkin
berhubungan dengan disfungsi plasenta yang dibuktikan dengan peningkatan alfa
fetoprotein dalam serum ibu hamil yang menderita SLE dibandingkan dengan ibu
hamil normal. Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Lockshin dkk menemukan
lebih dari 20% kematian janin terjadi
pada trimester kedua dan ketiga, namun Wong dkk menemukan tidak ada kematian
janin pada 19 kehamilan dengan SLE yang berlanjut.1
Pada
satu penelitian ditemukan bahwa antibodi antiphospolipid merupakan indikator
yang sensitif untuk kegawatan janin dan kematian janin. Antibodi
antiphospholipid ditemukan pada 10 dari 11 penderita dengan kematian janin
dalam rahim dan mempunyai nilai prediksi postif lebih dari 50%.1, 2
Persalinan
prematur lebih sering ditemukan pada penderita SLE dibandingkan dengan ibu
hamil normal terutama pada ibu hamil dengan komplikasi eksaserbasi. Mintz dkk
menemukan 23% kehamilan yang berakhir dengan gangguan pertumbuhan janin
termasuk 4 kasus lahir mati. SLE dengan komplikasi lupus nephritis meningkatkan
kejadian restriksi pertumbuhan janin dalam rahim.1, 3
Neonatal
lupus erythematosus (NLE) merupakan kejadian yang jarang (1:20.000 kelahiran
hidup) merupakan kondisi yang ditandai dengan abnormalitas kulit, jantung dan
hematologik. Lesi kulit adalah kelainan yang paling sering ditemukan ditandai
dengan bercak bulat atau elips. Kelainan jantung yang berhubungan dengan NLE
adalah congenital complete heart block (CCHB) dan endocardial
fibroelastosis, dengan gejala bradikardia 60-80 denyut permenit yang
ditemukan pada kehamilan 16-25 minggu. Dapat terjadi hidrops fetalis yang
tergantung pada derajat fibrosis endomyocardial dan disfungsi miokard. Oleh
karena lesi yang permanen pada CCHB maka diperlukan pemasangan pacu jantung
untuk meningkatkan harapan hidup neonatus.1, 3
Penanganan
Pada
masa pra kehamilan diperlukan konseling untuk menjelaskan risiko SLE pada
kehamilan baik terhadap ibu maupun janin yang dikandung. Idealnya untuk hamil
pasien harus dalam keadaan remisi dan tidak mendapat terapi obat-obat
sitotoksik dan NSAID, dan dilakukan pemeriksaan darah dan urin untuk menyingkirkan adanya anemia,
trombositopenia dan penyakit ginjal yang mendasari. Pada masa kehamilan ibu
hamil penderita SLE harus diperiksa tiap 2 minggu sekali pada trimester I dan
II serta tiap minggu pada trimester III. Pada setiap kunjungan harus ditanyakan
tentang aktivitas tanda dan gejala SLE.1, 3
Berhubungan
dengan risiko insufisiensi uteroplasenter maka dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan USG tiap 4-6 minggu sejak kehamilan 18-20 minggu. Penilaian
kesejahteraan janin harus dilakukan pada kehamilan 30-32 minggu. Pada pasien
dengan eksaserbasi, hipertensi, proteinuria, pertumbuhan janin terhambat dan
APS dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan USG yang lebih sering dan pada usia
kehamilan yang lebih dini (24-25 minggu).1, 3
Bila
eksaserbasi terjadi pada masa persalinan maka dianjurkan pemberian
hidrokortison 100 mg /iv tiap 8 jam. Kehadiran neonatologist dalam persalinan
diperlukan sehubungan dengan kemungkinan komplikasi CCHB dan manifestasi lupus
neonatal yang lain. Pengobatan yang diberikan pada masa persalinan diteruskan
sampai postpartum, penyesuaian dosis obat dapat dilakukan dalam rawat jalan.1
ANTIPHOSPHOLIPID SYNDROME (APS)
Adalah
suatu keadaan autoimun yang ditandai
dengan produksi antibodi antiphospholipid dalam kadar sedang sampai tinggi dan
dengan gambaran klinis tertentu seperti trombosis (vena maupun arteri termasuk
stroke), trombositopenia autoimun dan abortus. Kemungkinan terjadinya APS lebih
sering pada penderita dengan penyakit autoimun seperti SLE disebut APS
sekunder, namun dapat pula terjadi pada wanita yang tidak mempunyai penyakit
autoimun (APS primer).1, 3
Diagnosis
Pemeriksaan
laboratorium APS masih sulit dan membingungkan, kendalanya karena hanya sedikit
laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan dengan kualitas yang baik.
Pemeriksaan antibodi antiphospholipid dan lupus anticoagulant (LA) harus
dilakukan bersama berhubung karena hanya
20% penderita APS yang dengan lupus anticoagulant positif. Pada tahun 1987
telah dibuat kesepakatan pada International Anti-Cardiolipin Workshop mengenai
interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium yang dilaporkan secara
semikuantitatif dan dibagi menjadi, negatif, positif rendah, positif sedang dan
positif tinggi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah IgG aCL, IgM aCL dan IgA aCL.
Mayoritas penderita APS mempunyai LA dan IgG aCL.1, 2
Beberapa peneliti
memperkirakan bahwa LA dan aCL merupakan immunoglobulin yang sama yang
dideteksi dengan metode pemeriksaan yang berbeda sebab mereka menemukan bahwa
pada penderita APS ditemukan salah satu dari LA atau aCL namun tidak pernah
menemukan keduanya bersamaan.1
Pemeriksaan lain yang
ditawarkan saat ini adalah b2-glycoprotein
I (b2-GPI) yang relevan dengan antigen aPL.
Banyak peneliti saat ini meyakini bahwa aPL bekerja melawan glycoprotein ini
atau lebih mungkin terhadap glycoprotein
ini dan phospholipid, namun belum ada bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai informasi
diagnostik yang lebih baik dari pemeriksaan LA dan aCL.1-3
Tabel
2. Kriteria klinis untuk sindroma antiphospholipid (dikutip dari kepustakaan 4)
Kriteria diagnostik
Ditemukan
satu atau lebih :
Thrombosis
vena / arteri
Abortus
berulang
Persalinan
prematur sebelum 34 minggu yang berhubungan dengan preeklamsia atau PJT
|
Gambaran klinis lain
Trombositopenia
dan anemia hemolititk
Livedo
reticularis
Gangguan
di otak khusunya epilepsi, infark otak, chorea dan migrain
Penyakit
katup jantung khususnya katup mitral
Hipertensi
Hipertensi
pulmonal
Ulkus
di tungkai bawah
|
Risiko maternal
Berbagai
penelitian retrospektif memastikan adanya hubungan antara aPL dan trombosis
vena serta arteri. Kejadian trombosis
vena berkisar 65-70% terutama pada ekstremitas bawah.1
Ada
hubungan yang kuat antara LA dan aCL dengan vaskulopathy desidua, infark
plasenta, restriksi pertumbuhan janin, preeklamsia dini dan abortus berulang.
Seperti pada lupus, penderita penyakit ini juga mempunyai insiden yang tinggi
untuk terjadinya trombosis vena dan arteri, trombosis cerebral, anemia
hemolitik, trombositopenia dan hipertensi pulmonal.2, 4
Menurut
Chamley (1997) kerusakan platelet mungkin disebabkan langsung oleh antibodi
antiphospholipid, atau secara tidak langsug oleh ikatan antara antibodi ini
dengan b2-glycoprotein yang menyebabkan
platelet mudah mengalami agregasi. Agregasi in akan menyebabkan pembentukan
trombus.2
Data
penelitian prospektif yang dilakukan di Universitas Utah menunjukkan insiden
trombosis dan stroke pada ibu hamil dengan sindroma ini masing-masing 5% dan
12%. Pada penderita APS dengan kehamilan juga tampak peningkatan kejadian
preeklamsia. Beberapa penelitan dilakukan untuk menentukan adanya antibodi
antiphospholipid pada penderita preklamsia, pada satu penelitian tidak
ditemukan hubungan antara antibodi antiphospholipid dengan kejadian preeklamsia
sedang pada 4 penelitian yang lain ditemukan 11,7 – 17% penderita preeklampsia
mempunyai kadar antibodi antiphospolipid yang bermakna.1, 3
Risiko janin
Beberapa
penelitan terdahulu memberi perhatian terhadap hubungan antara kematian
janin antara 10 –12 minggu dengan aPL,
hasilnya lebih dari 90% wanita dengan APS dan kematian janin mempunyai paling
sedikit 1 kali riwayat kematian janin.1, 3
Akibat
lain yang ditimbulkan oleh APS terhadap janin adalah gangguan pertumbuhan
janin, bahkan pada penderita yang mendapat pengobatan. Kejadian gangguan
perrtumbuhan janin pada bayi yang lahir hidup hampir mencapai 30%. Fetas
distress juga relatif sering ditemukan pada APS, dan walaupun telah
mendapat pengobatan, 50% janin yang dilahirkan oleh ibu penderita APS akan
mengalami fetal distress. Demikian pula dengan persalinan prematur yang
banyak ditemukan pada penderita APS, pada penelitian dengan jumlah sampel yang
besar terhadap ibu hamil penderita APS yang telah diobati, sepertiganya
melahirkan pada atau sebelum usia kehamilan 32 minggu 1
Penanganan
Ibu
hamil penderita APS harus kontrol tiap 2 minggu pada paruh pertama kehamilan
dan tiap minggu sesudahnya. Pemeriksaan USG dilakukan tiap 3-4 minggu sejak
kehamilan 17-18 minggu untuk memantau gangguan pertumbuhan janin,
oligohidramnion dan abnormalitas pada
doppler arteri umbilikalis. Pemantauan kesejahteraan janin dilakukan sejak
kehamilan 26-28 minggu.1, 2
Dahulu
pengobatan dilakukan dengan pemberian prednison dan aspirin dosis rendah namun
pengobatan terkini adalah pemberian
heparin dengan berat molekul rendah dengan atau tanpa aspirin.1-3
Risiko
trombosis pada penderita APS mencapai 70%. Wanita dengan riwayat APS dan
tromboembolisme sebelumnya mempunyai risiko yang sangat tinggi dalam kehamilan
dan masa nifas dan perlu mendapat tromboprofilaksis antenatal berupa heparin
dengan berat molekul rendah 40 mg per hari.4
RHEUMATOID ARTHRITIS
Rheumatoid
arthritis adalah suatu penyakit arthritis yang kronik pada sendi synovial yang
mengenai 1/10.000 orang di Amerika Serikat dengan rasio wanita : pria 3:1 dan
prevalensi terbanyak pada umur 35-45 tahun. Penyakit ini mengenai sendi
pergelangan tangan, lutut, bahu, metakarpal-phalangeal dengan perlangsungan
progresif lambat yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi.
Sampai
sekarang etiologinya belum diketahui, pada pemeriksaan histologi tampak
synovial diinflitrasi oleh sel-sel inflamasi khususnya limfosit. Ditemukan anti
bodi yang khas disebut rheumatoid factor yang bereaksi dengan antigen membentuk
kompleks imun yang ditemukan pada synovial dan cairan pleura. Kerusakan
inflamasi yang terjadi pada synovial menimbulkan perubahan erosif yang khas
pada sendi.1,
2
Risiko maternal
Hubungan
antara rheumatoid arthritis (RA) dan kehamilan sangat menarik kerena dalam masa
kehamilan penyakit ini menunjukkan perbaikan yang dramatis. Berbagai penelitian
menunjukkan sedikitnya 50% pasien dengan RA yang menunjukkan perbaikan pada
sedikitnya 50% kehamilan mereka. Perbaikan ini dimulai pada trimester pertama
dan mencapai puncaknya pada trimester dua dan tiga, namun walaupun gejala
penyakit ini menunjukkan perbaikan tetapi fluktuasi jangka pendek tetap terjadi
seperti pada penderita yang tidak hamil. Tidak ada pemeriksaan laboratorium
atau tanda klinis yang dapat memperkirakan adanya perbaikan RA dalam kehamilan.
Ada sekitar seperempat penderita yang tidak menunjukkan perbaikan selama
kehamilan, dan sejumlah kecil penderita malah menunjukkan gejala yang makin
berat. Sayangnya hampir tiga perempat penderita yang telah menunjukkan
perbaikan dalam masa kehamilan akan mengalami relaps dan beberapa bulan
postpartum.1-3
Kortisol
plasma yang meningkat selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada saat
aterm mungkin merupakan faktor penting
dari terjadinya perbaikan RA. Beberapa pendapat mengatakan bahwa protein yang
beredar dalam sirkulasi dalam jumlah yang tinggi atau khas terhadap kehamilan dapat
memperbaiki gejala RA, misalnya prenancy associated a2- glycoprotein dan g-globulin yang dihasilkan oleh plasenta. Sedang
pendapat lain mengatakan bahwa plasenta mungkin menyebabkan perubahan pada RA
dengan membersihkan kompleks imun atau mungkin modifikasi globulin imun selama
kehamilan merubah aktifitas inflamasinya.1, 2
Risiko Janin
Rheumatoid
arthritis mungkin tidak berdampak pada fertilitas, sekitar 15-20% ibu hamil
dengan RA akan mengalami abortus, angka
ini mungkin sedikit tinggi atau tidak
berbeda dengan wanita normal, beberapa penelitian mendapatkan hasil yang
berbeda, namun penderita RA tidak menunjukkan risiko yang bermakna untuk
terjadinya persalinan prematur, preeklamsia dan gangguan pertumbuhan janin.1, 2
Penanganan
Penanganan
pada wanita yang tidak hamil sama dengan penanganan penyakit autoimun yang
lain. Seperti dengan penderita SLE maka penderita RA yang hamil harus
memeriksakan diri ke dokter tiap 2-4 minggu sepanjang kehamilannya. Istirahat
merupakan faktor penting dalam penanganan RA, terapi fisik diperlukan pada
penderita yang tidak menunjukkan perbaikan dengan kehamilan.1
Untuk
analgesia sebaiknya digunakan acetaminophen. NSAID dan aspirin sedapat mungkin
dihindari karena dapat mengakibatkan gangguan hemostasis, kehamilan yang
memanjang dan penutupan duktus arteriosus yang dini. Pemberian prednison dosis
rendah menunjukkan hasil yang efektif namun tidak boleh digunakan untuk jangka
panjang. Obat-obat lain yang sering diberikan
pada penderita RA yang progresif seperti hydroxychloroquine,
sulfasalazine, D-penicillamine dan methotrexate merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan.1
Perlu
kewaspadaan bila pars servikalis dari kolumna vertebralis yang terkena karena
dapat terjadi subluksasi karena
kelemahan sendi. Bila mengenai sendi panggul maka dapat menghambat persalinan
pervaginam.2
SYSTEMIC SCLEROSIS
Merupakan
penyakit yang jarang, dikenal pula
dengan nama lain scleroderma, yang ditandai dengan fibrosis kulit,
pembuluh darah dan organ viscera yang progresif. Prevalensi penyakit ini 1 :
10.000 dengan rasio wanita : pria 3 :1
pada kelompok umur 15 - 44 tahun. Penyebabnya belum diketahui, namun target
utama dari penyakit ini adalah sel endotel, suatu faktor serum yang toksik
terhadap endotel telah ditemukan pada beberapa penderita.1, 2
Gambaran
klinisnya bervariasi dan morbiditas penyakit ini tergantung pada luasnya
permukaan kulit dan organ dalam yang terkena. Sering ditemukan fenomena
Raynauld khususnya pada pasien dengan sindroma CREST (calcinosis pada kulit,
fenomena Raynauld, dismotilitas esofagus, sclerodactyly dan telangiectasis).
Penderita dengan penyakit yang difus akan menampakkan gejala arthritis
pembengkakan tangan dan jari serta penebalan kulit yang dimulai pada jari dan
tangan dan bisa meluas ke muka dan
leher. Pada kelainan yang berat maka permukaan kulit yang terkena lebih luas
dan terjadi deformitas pada tangan dan jari. Fenomena Raynauld dan kerusakan
organ dalam yang terkena menandakan
adanya fibrosis arteriole dan arteri-arteri kecil, sehingga bila terjadi
respons vasokonstriksi karena berbagai rangsangan seperti udara yang dingin
akan menyebabkan obliterasi pembuluh darah yang komplit.1-3
Pada
sebagian besar penderita ditemukan ANA (anti-nuclear antibody) namun anti-ANA
tidak ditemukan, hampir setengah penderita
mempunyai serum cryoglobulin. Antibodi terhadap centromere ditemukan
pada penderita dengan sindroma CREST namun tidak ditemukan pada kelainan yang
difus.1
Risiko Maternal
Insiden
penyakit ini dalam kehamilan tidak diketahui, dalam literatur dilaporkan tidak
lebih dari 150 kehamilan dengan systemic sclerosis (SSc). Beberapa kepustakaan
terdahulu melaporkan dampak negatif SSc pada kehamilan berupa krisis renal,
namun sulit untuk menentukan perubahan pada kehamilan oleh SSc karena banyak
gejala pada kehamilan yang sama dengan gejala SSc misalnya edem dan refluks
gastrointestinal.1
Walaupun penelitian yang
dilakukan Steen dkk menemukan sedikit peningkatan persalinan prematur,
restriksi pertumbuhan janin dan kematian perinatal namun nampaknya kehamilan
pada penderita SSc tidak menimbulkan masalah bila tidak disertai kelainan
ginjal, jantung dan paru. Pada penyakit yang berat dapat menimbukan masalah
pada penyembuhan luka.1, 2
Kematian maternal dapat
disebabkan oleh scleroderma yang progresif dengan komplikasi pada paru-paru,
infeksi, hipertensi dan kegagalan jantung.4
Risiko janin
Diduga
dampak yang ditimbulkan pada mikrovaskuler dan gangguan pada ginjal dapat
mengakibatkan preeklamsia dan gangguan pertumbuhan janin. Ada satu penelitan
melaporkan kejadian preeklamsia 48% pada penderita SSc namun penelitian lain
melaporkan insiden preeklamsia sebesar 6%, dan gangguan pertumbuhan janin 10%.1
Penanganan
Penderita
SSc dengan gangguan kardiopulmoner serta gangguan ginjal dianjurkan untuk tidak
hamil, dan pada penderita yang hamil dianjurkan untuk melakukan terminasi
kehamilan. Hingga saat ini belum ada pengobatan yang memuaskan, pada penderita
dengan fenomena Raynauld diberikan vasodilator, dan pada SSc difusa diberikan
terapi glukokortikoid seperti pada penderita SLE namun kortikosteroid hanya
bermanfaat pada myositis inflamatory dan
anemia hemolititk.1-3
MYASTHENIA GRAVIS
Myasthenia
gravis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh kelemahan dari otot
wajah, orofaringeal, ekstraokuler dan otot anggota gerak. Kelemahan dari
otot-otot wajah dapat menyebabkan kesukaran untuk tersenyum, mengunyah dan
berbicara. Tanda utama dari penyakit ini adalah peningkatan kelemahan otot pada
aktivitas otot yang berulang. Merupakan penyakit yang jarang dengan insiden 1
per 100.000, wanita dua kali lebih banyak dibanding pria. 1-3
Penyebabnya diduga karena
serangan autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuro-muscular junction.
Antibodi terhadap reseptor asetilkolin atau receptor-decamethonium complex
(anti-AchR) ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita Myasthenia gravis
(MG).1
Abnormalitas
thymus juga ditemukan pada sebagian besar penderita MG, sekitar 75% dengan
hiperplasia folikel kelenjar dan 10-15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic
atau epithelial. Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada
masing-masing 35% dan 50% penderita
sehingga diduga MG berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada
thymus dan motor endplate atau abnormal
clone dari sel-sel imun di thymus.1
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis dan prosedur konfirmasi
diagnostik, dengan pemberian antikolinesterase kerja pendek (endrophonium) 210
mg intravena maka kekuatan otot secara dramatis dapat dipulihkan. Tes lain yang
lebih canggih dengan elektromyografi serabut tunggal dan pemeriksaan rangsangan
saraf berulang.1
Risiko maternal
Stres
emosional yang biasa dialami dalam kehamilan dapat memperburuk efek MG,
demikian pula pembesaran uterus dan elevasi diafragma dapat menyebabkan
hipoventilasi relatif pada bagian bawah paru, hal ini dapat menambah masalah
pada penderita dengan gangguan respirasi. Stres yang disebabkan oleh infeksi
berat seperti pyelonefritis dapat
menyebabkan eksaserbasi MG.1, 2
Perjalanan
penyakit MG dalam kehamilan tidak dapat diprediksi. Plauche menemukan bahwa 40%
wanita dengan MG mengalami eksaserbasi pada saat kehamilan, 30% tidak
menunjukkan perubahan, dan 30% mengalami eksaserbasi postpartum yang biasanya
terjadi tiba-tiba dan berakibat serius. Angka kematian maternal pada penderita
MG berkisar 4%.1,
3
Risiko Janin
Plauche
menemukan bahwa angka abortus dan kematian janin pada penderita MG tidak
berbeda dengan populasi normal, namun angka persalinan prematur meningkat.
Alasan teoritis terjadinya persalinan prematur ini karena obat
antikolinesterase mempunyai kerja seperti oksitosin. 1
Pasase transplasenter dari
antibodi anti-AChR dapat menyebabkan MG pada janin dan neonatus. Ditemukan tiga
kasus arthrogryposis, dan juga ditemukan hydramnion yang disebabkan gangguan
menelan pada janin. Donaldson dkk menduga kejadian MG pada janin relatif jarang
karena adanya alfa fetoprotein yang menghambat kerja anti-AChR terhadap AChR.1, 3
Penanganan
Antikolinesterase
merupakan pilihan pertama dalam pengobatan MG. Dahulu digunakan neostigmin
(Prostigmin) namun karena waktu paruhnya singkat maka saat ini yang digunakan
adalah pyridostigmin (Mestinon) yang mempunyai waktu paruh yang panjang.
Glukokortikoid pada umumnya juga efektif, dan banyak ahli yang menganjurkan
pemberian dosis tinggi (prednison 60-80 mg/hari) yang kemudian di kurangi
secara bertahap. Thymectomy menghasilkan perbaikan namun mekanisme kerjanya
belum jelas.1,
2
Dalam
masa kehamilan pasien dianjurkan memeriksakan diri secara teratur tiap 2 minggu
pada trimester pertama dan kedua serta tiap minggu pada trimester ketiga.
Hindari stres fisik dan emosional serta pemakaian beberapa jenis obat yang
dapat menyebabkan eksaserbasi akut dari MG (tabel 3).1
Myasthenia
gravis tidak mengenai otot polos
sehingga tidak mempengaruhi kala I persalinan, namun pada kala II MG dapat
menyebabkan pengaruh pada upaya mengejan, namun rata-rata lama persalinan pada
penderita MG dalam batas normal. Semua pasien MG harus dikonsultasikan pada
ahli anestesi sejak awal kehamilan. Anestesi epidural mungkin merupakan cara
yang terbaik sebab mengurangi kebutuhan analgesia, mencegah terjadinya
kecemasan dan kelelahan dan sangat baik untuk persalinan tindakan dengan
forcep.1,
2
Tabel
3. Daftar obat-obat yang dapat menyebabkan terjadinya eksaserbasi atau
kelemahan otot pada pasien dengan
myasthenia gravis.
(dikutip dari kepustakaan 1)
Garam
magnesium
Aminoglycosid
Halothane
Propranolol
Tetracycline
Barbiturat
Garam
lithium
Trichloethylene
|
Cholistin
Polymyxin
B
Quinine
Lincomycin
Procainamide
Ether
Penicillamine
|
Penutup
Telah
dibicarakan beberapa jenis penyakit autoimun yang sering dijumpai dan
komplikasi serta penanganannya dalam masa kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Branch
D, Porter T. Autoimune disease. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B,
editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B
Saunders; 2000. p. 853-84.
2. Cunningham F, MacDonald P, Gant N,
Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Connective tissue disorders. In: Williams
Obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p. 1383-99.
3. Blinder M. Hematological diseases. In:
Winn H, Hobbins J, editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New
York: Parthenon Publishing Group; 2000. p. 437-50.
4. Letsky E. Coagulation defects in
pregnancy and puerperium. In: Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson
M, Neilson J, editors. Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill
Livingstone; 2001. p. 311-29.
Komentar :
Posting Komentar