BAB I
PENDAHULUAN
Kelenjar
prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas. Dengan bertambahnya usia, kelenjar
prostat juga mengalami pertumbuhan, sehingga menjadi lebih besar. Pada
tahap usia tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang
disertai gangguan buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
Pembesaran
kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi
pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas
usia 50 tahun (50-79tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup
seseorang. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran
prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan
mikroskopik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik
(kelenjar membesar) dan kemudian bermanifes dengan gejala klinik.
Dengan
adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara
mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non
operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah1.
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah1.
II. KELENJAR PROSTAT
A. Anatomi
Prostat
merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada
disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke
apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm1.
Pada
bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika yang
melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat
terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan
rectum. Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan
peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan invasi
karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bagian
posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan
secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar uretra prostatika
persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan superior,
prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan
dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh
lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani
yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena
ototnya lebih sedikit dan fasia lebih sedikit2.
Gambar 1. kelenjar prostat dan uretra
Menurut
klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc
Neal, prostat dibagi atas 4 bagian utama2:
- Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular dapat dibagi menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4).
- Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular, membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian distalnya terdiri dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian distal.
- Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular, dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika bagian distal. Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong yang berisikan segmen uretra proximal dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular.
- Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5 %), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk silinder dan dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar periuretral bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.
B. Epidemiologi
Hiperplasia
prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran
yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat
dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan
dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia1.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun3.
C. Etiologi
Belum
diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain1:
Teori Hormonal
Teori
ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak
terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain
androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya
BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim
aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya
hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain
ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan
menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat
menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Peranan
dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming
growth factor, transforming growth 1, transforming growth factor 2, dan
epidermal growth factor.
Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati
Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati
Teori Sel (stem cell hypothesis)
Seperti
pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya
kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat
mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan
tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi
proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel
kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
Teori Dihidro Testosteron (DHT)
Testosteron
yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat
oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya
2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa
masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel
langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi
oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian
bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”.
Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor,
menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian
melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan
menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar
prostat.
Teori Reawakening
Mc
Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada
kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme
“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya
alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan
“glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan
prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan
kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Selain
teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan
faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori
yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan
kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan
sebab-akibatnya.
D. Patofisiologi
Pada
BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan
mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine
(obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot
polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor.
Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi
otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini
tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik1.
Berbagai
keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra.
Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk
mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan
berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang
terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi1.
Perubahan
struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus1.
Dengan
semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi
akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua
muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal1.
E. Gambaran Klinis
Gejala Klinis
Gejala
hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala
obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena
penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang
membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan
atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya
antara lain1:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga factor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Gejala
iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.,
gejalanya ialah1 :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Untuk
menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan
jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH,
dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association
(AUA). Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor
Boyarski. Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk
menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan
skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19
sedang, dan 20-35 berat3.
Skor
Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa
pertanyaan-pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan
untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor
<> 20 berat. Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen
Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya. Perbedaan
ini yang mendasari mengapa skor Madsen-Iversen digunakan di Sub Bagian
Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo3.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus
spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan
lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan1:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Simetris/ asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok
dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat
keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.
Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi1.
Kelenjar prostat Normal
Kelenjar prostat Hiperplasia, ada pendorongan prostat kearah rectum
Kelenjar prostat Karsinoma,teraba nodul keras
Gambar 4. Digital Rectal Examination , Kelenjar Prostat Normal, Hiperplasia, Karsinoma2.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus1.
F. pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium1
· Darah
Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific Antigen (PSA), Gula darah
· Urine
Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis, sedimen
Pemeriksaan pencitraan1
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari
sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat
untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran
prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada
dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk
seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan
pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta
penyulit (trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli). Foto
setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
e. MRI atau CT scan
Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan
Pemeriksaan lain1
ü Uroflowmetri
Untuk
mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya
kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka
normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah
menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik.
ü Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran
urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi
otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut
dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan
Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan
intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
ü Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume
residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa
(meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.
G. Diagnosis
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui1:
1. Anamnesis : adanya gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan
fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai
prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan
menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat
batas atas semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi
H. Diagnosis Banding
Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya3:
1. Struktur uretra
2. Kontraktur leher vesika
3. Batu buli-buli kecil
4. Kanker prostat
5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Karsinoma in situ vesika
3. Infeksi saluran kemih
4. Prostatitis
5. Batu ureter distal
6. Batu vesika kecil.
I. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut1
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal
J. Penatalaksanaan
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting
di mana tidak diperlukan teknologi yang canggih dan dapat dilakukan
oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif yang memerlukan
teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi. Berikut ini
akan dibahas penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif3.
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS <>3.
1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi nokturia.
2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).
3. Mengurangi kopi.
4. Melarang
minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil.
Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa:
skoring, uroflowmetri, dan TRUS.
5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Terapi Medikamentosa
Pilihan
terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).
Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap
rasional, yaitu dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a
reduktase, dan fitoterapi3.
· Penghambat adrenergik a-1
Obat
ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada
otot polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat.
Dengan demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga
tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan mengurangi derajat
obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif
cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique).
Pengobatan
dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan,
seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap
baik mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan
tumbuhnya volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1
mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin dengan dosis
0.2-0.4 mg/hari2.
· Penghambat enzim 5a reduktase
Obat
ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga
testosteron tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian,
konsentrasi DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan
terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan perbaikan
simptom setelah 6 bulan terapi.
Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari.
· Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase
Terapi
kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase
pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat
penurunan skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan
penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat keraguan mengingat
prostat pada kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok lain.
Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi
dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa dan
baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari
tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya3.
Terapi Bedah Konvensional
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan3:
1. Prostatektomi terbuka :
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
- Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
- Prostatektomi perinealis (Young)
2. Prostatektomi tertutup :
a. Reseksi transuretral.
- Bedah beku
Open simple prostatectomy
Indikasi
untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar,
di atas 100 gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli.
Dapat dilakukan dengan teknik transvesikal atau retropubik. Operasi
terbuka memberikan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada
TUR-P1-23.
Terapi Invasif Minimal
Transurethral resection of the prostate (TUR-P)
Prinsip
TUR-P adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang
menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter.
Sampai saat ini, TUR-P masih merupakan baku emas dalam terapi BPH.
Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat dilakukan dengan
endoskopi3.
Komplikasi
jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia (sindrom TUR),
dan retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang adalah
struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%), inkontinensia
(<1%),>3.
Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Dilakukan
terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran
prostat kecil, yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior
(leher kandung kemih yang tinggi)3.
Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5 dan 7. Penyulit yang bisa terjadi adalah ejakulasi retrograd3.
Terapi laser
Terdapat dua sumber energi yang digunakan, yaitu Nd YAG dan holmium YAG. Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy3.
Keuntungan
terapi laser adalah perdarahan minimal, jarang terjadinya sindrom TUR,
mungkin dilakukan pada pasien yang menjalani terapi antikoagulan, dan
dapat dilakukan tanpa perlu dirawat di rumah sakit3.
Kerugiannya
di antaranya tidak didapatkan jaringan untuk pemeriksaan histopatologi,
diperlukan waktu pemasangan kateter yang lebih lama, keluhan iritatif
yang lebih banyak, dan harga yang mahal1,2. Efek samping yang pernah
dilaporkan di Indonesia adalah perdarahan (2%), nyeri pasca operasi
(3%), retensi (19%), ejakulasi retrograd (3%), dan disfungsi ereksi (1%)3.
.
Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi3.
Trans urethral needle ablation (TUNA)
Alat
yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat
mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas,
sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan
prostat3.
High intensity focused ultrasound (HIFU)
Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound dengan intensitas tinggi dan terfokus3.
Intraurethral stent
Adalah
alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk
mempertahankan lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan
harapan hidup terbatas dan tidak dapat dilakukan anestesi atau
pembedahan3.
Transurethral baloon dilatation
Dilakukan
dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan
leher kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat
kurang dari 40 g, sifatnya sementara, dan jarang dilakukan lagi3.
Batu saluran kemih
Batu saluran kemih (kalkulus uriner)
adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran
kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih
atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu saluran kemih), ureter (ureterolithiasis) maupun di dalam kandung kemih (vesicolithiasis).
Epidemiologi
Insidensi
batu saluran kemih pada negara sedang berkembang dan negara sudah
maju berbeda. Banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain
industrialisasi, urbanisasi, derajat ekonomi dan social. Di samping
itu faktor jenis kelamin, ras, pekerjaan, ildim juga mempengaruhi
insidensi batu saluran kemih. Pernah dilaporkan bahwa pada musim panas
kasus batu saluran kemih, khususnya batu jenis kalsium dan oksalat,
kasusnya meningkat di daerah Eropa. Pada musim itu kasus kolik ginjal
meningkat.
Kasus
ini lebih banyak diderita oleh laki-laki dari perempuan. Disebutkan
ratio antara 3:1. Terdapat kecenderungan familier. Pada bangsa kulit
hitam lebih sering terkena daripada bangsa kulit putih, hal ini ada
hubungannya dengan faktor diet. Umur yang sering terdapat penyakit
ini, pada anak-anak ldi bawah 5 tahun sedang pada dewasa sekitar umur
30 – 50 tahun. Batu saluran kemih lebih sering diketemukan pada ginjal
sebelah kanan jika dibanding dengan ginjal sebelah kid, dimana 15 –
20% didapatkan bilateral.
Patogenesis
Dengan
pemeriksaan yang teliti pada penderita dengan batu akan dapat
ditunjukkan faktor penyebabnya pada 40–50% kasus. Teori terjadinya
batu saluran kemih masih belum dapat dipastikan. Pada urin normal
sendiri dijumpai satu atau beberapa zat penghambat (fisiologis) yang
mencegah terjadinya kristalisasi zat yang ada sehingga tak terbentuk
batu. Diperkirakan dengan membentuk suatu komplek yang selalu larut
dalam urin. Zat penghambat tersebut adalah magnesium pirofosfat,
sitrat dan penghambat peptida. Zat-zat inilah yang mencegah
perkembangan batu pada area kalsifikasi pada papilla ginjal (Randall's plaque) dari
kristal tunggal atau agregatagregat kecil lain, yang umum terdapat
pada urin, untuk kemudian berkembang menjadi besar dan menempatkan
diri pada sistem pelvikalik ginjal untuk kemudian menjadi batu.
Perubahan
pH urin atau adanya kolloid lain akan menyebabkan terjadinya
pengendapan. Asam urat, xanthine, sistin dapat larut lebih banyak di
dalam urin alkalis. Kalsium oksalat hampir tak dapat larut pada pH
urin berapa pun. Kalsium fosfat dan triple fosfat kurang larut jika pH urin alkalis.
Adanya
infeksi, stasis urin, hipersekresi zat tertentu seperti kalsium,
fosfor, oksalat, asam urat dan sistin juga bisa menyebabkan terjadinya
pengendapan. Pada infeksi misalnya, akan dijumpai suatu ulserasi yang
mana hal ini akan menjadi nidus dari batu. Keadaan seperti gumpalan
atau jendalan darah dalam ginjal atau kelompokan bakteri, yang mana
sering terjadi pada stasis urin atau infeksi, akan menjadi nidus dari
batu.
Di samping itu, kelainan pada anatomis ginjal sendini seperti sponge kidney, horseshoe kidney ataupun
adanya defek lokal dari kalik glnjal atau penyumbatan, bisa
menyebabkan timbulnya nidusiatu karena kelainannya tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya batu:
a. Faktor di luar urin
· diet, misalnya diet yang banyak mengandung oksalat. – intake cairan
ke dalam tubuh, sehingga diduga adanya dehidrasi berpengaruh terhadap
pembentukan batu pada daerah tropis. – familier, khususnya untuk
terbentuknya batu sistin.
· ras.
· trauma.
b. Faktor dalam urin :
· infeksi pada ginjal.
· kelainan aliran urin sehingga terjadi stasis.
· komposisi urin.
· kejenuhan urin.
· reaksi keasaman urin.
Jenis Batu
a. Menurut komposisi kimia
· batu
urat; radiolusen, mudah mengalir ke dalarn vesica urinaria, dijumpai
pada urin dengan suasana asam. Serihg dijumpai pada pasien yang
mendapat terapi zat uricosuric, intake purin yang tinggi baik
sekunder atau idiopatik, pasien yang mendapat terapi antikanker yang
menyebabkan perusakan jaringan/sel, sehingga terjadi kenaikan ekskresi
asam urat, pada penyakit myeloproliferative.
· batu
garam oksalat; kecil, keras, berlapis, bentuk seperti jarum dan
dijumpai pada urin dengan suasana netral. Dijumpai pada pasien dengan
oksaluria, baik kongenital maupun familier, pada reseksi ileum,
anestesi dengan metoksifluran dan orang dengan diet oksalat yang
tinggi.
· batu fosfat; mudah pecah dan dijumpai pada urin dengan suasana basa.
b. Menurut ada tidaknya kalsium :
· batu
yang mengandung kalsium, seperti batu kalsium oksa lat, kalsium
fosfat. Biasa dijumpai 'pasien dengan hiperkalsiuria idiopatik, renal tubular acidosis, hiperparatiroid primer, intake vitamin D berlebihan, intake susu
berlebihan, sarkoidosis, penyakit dengan kerusakan pada tulang
(tiroksikosis, ekses dari kortikosteroid), immobilisasi yang lama.
· batu tanpa kalsium, misalnya batu sistin yang biasanya dijumpai riwayat familier.
c. Menurut asal batu :
· batu endogen, yang terjadi karena hasil metabolisme.
· batu eksogen, yang akibat benda asing.
d. Menurut kejadian batu :
· batu primer, tak mempunyai nidus, terjadi pada urin yang steril dan berbentuk lapisan yang radier.
· batu sekunder, mempunyai nidus, berlapis-lapis dan kebanyakan pada urin non steril.
|
|
Gejala
Batu,
terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di dalam
kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang
menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis
(nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat
yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang
pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah
dalam.
Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah
di dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama
ketika batu melewati ureter. Batu bisa menyebabkan infeksi saluran
kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap di
dalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah
infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung lama, air kemih akan mengalir
balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan
menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.
Diagnosis
Kadangkala
batu saluran kemih ini tanpa keluhan sama sekali. Maka tak jarang
kelainan ini ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin tahunan
atau pada pembuatan, foto polos abdomen untuk keperluan lain. Kejelian
seorang klinisi berperanan panting sekali apabila sudah timbul
kecurigaan adanya kelainan ini.
Pada
penderita kolik ginjal karena batu, maka kemungkinan hal ini terjadi
sumbatan pada ureteropelvik dalam kalik ginjal, yang mana terjadi
distensi parenkim dan kapsul ginjal. Hal ini menyebabkan
hiperperistaltik dan mengejangnya otot-otot polos pada pelvik dan kalik
ginjal yang akan menimbulkan rasa nyeri mendadak dan intermitten pada
daerah angulus kostovertebralis, yang menjalar ke inguinal dan skrotal.
Anamnesis
akan ditemui adanya sakit pinggang/pinggul, di mana rasa sakit pinggang
yang menjalar ke inguinal dan skrotal atau riwayat pernah mengeluarkan
batu. Atau riwayat kencing berdarah. Riwayat keluarga dengan batu
saluran kemih dan pada usia berapa terdapat gejala batu saluran kemih
mulai tampak. Riwayat sakit sebelumnya, apakah pernah mengalami patah
tulang dan imobilisasi yang cukup lama. Riwayat sakit saluran kencing.
Riwayat diet tinggi vitamin D, susu dan alkali.
Pemeriksaan
fisik diagnostik biasanya tak dijumpai adanya kelainan yang khas.
Terkecuali apabila ada infeksi pada ginjal, maka akan dijumpai adanya
nyeri ketok pada daerah angulus kostovertebralis. Mungkin dijumpai
adanya renal tenderness, atau mungkin ada pembengkakan dari abdomen.
Laboratoris yang paling sederhana adalah pemeriksaan urin midstream, yang
kemudian dilakukan pengendapan dengan pemusingan. Dari hasil endapan
ini akan dijumpai adanya kristal zat tertentu, butir darah baik leukosit
atau eritrosit, dan kadangkala bakteri. Urin midstream ini sebaiknya dibiakkan. dan dilakukan sensitivitas tes untuk penanganan lebih lanjut.
Pemeriksaan
kimia darah meliputi kandungan fosfor, fosfatase alkali, total protein
dan albumin, asam urat, kreatinin, dan elektrolit. Semuanya itu
dimaksudkan untuk mencari adanya penyakit yang menumpangi timbulnya batu
saluran kemih, seperti hiperparatiroid, renal tubular asidosis tipe I,
gout, myeloproliferative disease dan yang lainnya. Pemeriksaan
lain yang tak kalah pentingnya adalah pemeriksaan rontgen, yaitu
fotopolos abdomen danpielografi. Kadangkala perlu dilakukan retrograde urogram untuk mengetahui adanya sumbatan atau memastikan adanya batu yang radiolusen.
Diagnosis Banding
Penyakit ini perlu dibedakan dengan:
· pielonefritis akut
· tumor ginjal
· tuberkolosis ginjal
· infark ginjal.
Batu
kecil yang tidak menyebabkan gejala, penyumbatan atau infeksi, biasanya
tidak perlu diobati. Minum banyak cairan akan meningkatkan pembentukan
air kemih dan membantu membuang beberapa batu; jika batu telah terbuang,
maka tidak perlu lagi dilakukan pengobatan segera. Kolik renalis bisa
dikurangi dengan obat pereda nyeri golongan narkotik.
Batu
di dalam pelvis renalis atau bagian ureter paling atas yang berukuran 1
sentimeter atau kurang seringkali bisa dipecahkan oleh gelombang
ultrasonik (extracorporeal shock wave lithotripsy, ESWL). Pecahan batu
selanjutnya akan dibuang dalam air kemih. Kadang sebuah batu diangkat
melalui suatu sayatan kecil di kulit (percutaneous nephrolithotomy,
nefrolitotomi perkutaneus), yang diikuti dengan pengobatan ultrasonik.
Batu
kecil di dalam ureter bagian bawah bisa diangkat dengan endoskopi yang
dimasukkan melalui uretra dan masuk ke dalam kandung kemih. Batu asam
urat kadang akan larut secara bertahap pada suasana air kemih yang basa
(misalnya dengan memberikan kalium sitrat), tetapi batu lainnya tidak
dapat diatasi dengan cara ini. Batu asam urat yang lebih besar, yang
menyebabkan penyumbatan, perlu diangkat melalui pembedahan. Adanya batu
struvit menunjukkan terjadinya infeksi saluran kemih, karena itu
diberikan antibiotik.
Pencegahan
Tindakan
pencegahan pembentukan batu tergantung kepada komposisi batu yang
ditemukan pada penderita. Batu tersebut dianalisa dan dilakukan
pengukuran kadar bahan yang bisa menyebabkan terjadinya batu di dalam
air kemih.
Batu kalsium
Sebagian besar penderita batu kalsium mengalami hiperkalsiuria, dimana kadar kalsium di dalam air kemih sangat tinggi. Obat diuretik thiazid (misalnya trichlormetazid) akan mengurangi pembentukan batu yang baru.
- Dianjurkan untuk minum banyak air putih (8-10 gelas/hari).
- Diet rendah kalsium dan mengkonsumsi natrium selulosa fosfat.
Untuk meningkatkan kadar sitrat (zat penghambat pembentukan batu kalsium) di dalam air kemih, diberikan kalium sitrat. Kadar oksalat
yang tinggi dalam air kemih, yang menyokong terbentuknya batu kalsium,
merupakan akibat dari mengkonsumsi makanan yang kaya oksalat (misalnya
bayam, coklat, kacang-kacangan, merica dan teh). Oleh karena itu
sebaiknya asupan makanan tersebut dikurangi. Kadang batu kalsium
terbentuk akibat penyakit lain, seperti hiperparatiroidisme, sarkoidosis, keracunan vitamin D, asidosis tubulus renalis atau kanker. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan pengobatan terhadap penyakit-penyakit tersebut.
Dianjurkan untuk mengurangi asupan daging, ikan dan unggas, karena makanan tersebut menyebabkan meningkatnya kadar asam urat di dalam air kemih. Untuk mengurangi pembentukan asam urat bisa diberikan allopurinol.
Batu asam urat terbentuk jika keasaman air kemih bertambah, karena itu
untuk menciptakan suasana air kemih yang alkalis (basa), bisa diberikan
kalium sitrat. Dan sangat dianjurkan untuk banyak minum air putih.
BAB III
KESIMPULAN
Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Dengan
bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah karena terjadi
hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar
(jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatif.
Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia., http://ababar.blogspot .com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html., 3 Maret 2009
2. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke – 2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85
3. McConnel
JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign
prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.
ssumber : http://referensikedokteran.blogspot.com/2010
Komentar :
Posting Komentar