BAB I
PENDAHULUAN
Hischsprung
Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus
auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan puluh persen (90%)
terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon
bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA)). Tidak adanya
ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik
sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.
Pasien
dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886.
Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas
hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa
megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.
HD
terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit
Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun
akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat
20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN
Cipto Mangunkusomo Jakarta.
Mortalitas
dari kondisi ini dalam beberapa decade ini dapat dikurangi dengan
peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik
pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan enterokolitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi:
Penyakit
hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di
pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s).1,
2.2 Insidensi:
Penyakit
hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi
terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai
riwayat keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down Syndrome.1,4 Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus.1
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya penyakit hirschsprung.
Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai 17,6% dengan
130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada anak
perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan
oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari
kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma
Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22
pasangan kembar yang terkena yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.2
2.3 Etiologi
Penyakit
Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion
selalu tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi
keproksimal.
2.4 Anatomi dan fisiologi colon
Rektum
memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.
2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile.
Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian
anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal)
adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke
bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani
(eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum
ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan .
Persarafan
motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis (N.
hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf
parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua
jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus
levator ani dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus pudendalis
mempersarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis
tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N.
splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf
parasimpatis).
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga pleksus tersebut. 5
2.5. Patogenesis:
Kelainan
pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan
sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian
yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga
bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.
Bagian aganglionik selalu terdapt dibagian distal rectum. 1
Dasar
patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada
usus besar. 2
Hipoganglionosis 2
Pada
proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.
Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah
keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah
normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon
inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari normal.
Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang colon namun ada pula
yang mengenai seluruh colon.
Imaturitas dari sel ganglion 2
Sel
ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga
tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya.
Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu
pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi
SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun.
Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.
Kerusakan sel ganglion 2
Aganglionosis
dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari vaskular atau
nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1,
infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel
ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen
tersebut, akibat tindakan pull through secara Swenson, Duhamel, atau
Soave.
Tipe Hirschsprung’s Disease:
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena. Tipe Hirschsprun disease meliputi:
- Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rectum.
- Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari colon.
- Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
- Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan kadang sebagian usus kecil.
Usus sehat Short segment Long segment
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Diagnosis
penyakit ini dapat dibut berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus.
Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium
untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini
biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya
terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding,
vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih
tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang harus
diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonatus
yang diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai adanya
enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit
dibedakan dengan kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik
adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan
barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan
tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu awal
kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit hirschsprung
klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic pada segmen distal
intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal. 4
2.6.2 Gejala klinik:
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.
Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda
yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang
baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis. 1
Pada
anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan
makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Penyakit
hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode
obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis. 1
Kebanyakan
anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi intestinal atau
konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen
dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi
antara pasien dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi
dengan gejala obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami
beberapa gejala ringan pada minggu atau bulan pertama kehidupan. 2
Beberapa
mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola makan,
perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.
Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat
konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa
faeses multipel dan sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi
gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun beberapa waktu kemudian
terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur sphincter ani
teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong.2
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang berumur kurang dari 3 bulan. Harus
dipikirkan pada gejala enterocolitis dimana merupakan komplikasi serius
dari aganglionosis. Bagaimanapun hubungan antara penyakit hirschsprung
dan enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan. 2
Enterocolitis
terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit hirschsprung. Hal ini
karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga
translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan pertahanan mukosa,
perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficile atau Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala walaupun telah dilakukan colostomy. Enterocolitis
yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam jiwa. Yang
ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot,
distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik
pada mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi.
Hal ini harus dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican.
Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit hirschsprung.
Ada hubungan erat antara panjang colon yang aganglion dengan perforasi. 2
2.6.3 Pemeriksaan penunjang :
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:
1. Barium enema.
Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal rectum memberikan
gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon sigmoid
yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu diagnosis
penyakit hirschprung. 1 Segmen
aganglion biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus yang
mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran radiologis
terlihat zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan waktu,
mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru lahir.
Radiologis konvensional menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus
kecil dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang
dapat ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling penting
adalah zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat penting
untuk melihat dilatasi dari rektum secara lebih optimal. Retensi dari
barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada tanda yang
penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis pada Hirschsprung dapat
didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur
irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem,
spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat
terlihat jelas dengan barium enema. Nilai prediksi biopsi 100% penting
pada penyakit Hirschsprung jika sel ganglion ada. Tidak adanya sel
ganglion, perlu dipikirkan ada teknik yang tidak benar dan dilakukan
biopsi yang lebih tebal. Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe
aganglionik yang long segmen , sering seluruh colon. Tidak
ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan kolon mungkin terlihat
normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang paling mungkin
berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus dengan gejala ileus
obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi
rectal sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan pada
semua neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus
besar/kecil atau semua anak kecil dengan appendicitis selama 1 tahun. 6
2. Anorectal manometry dapat
digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung, gejala yang
ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika rectum
dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat segera
dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan
anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonatus. 1
3. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit hirschprung. 1,4
Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas
minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk
pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga
mengambil sample yang normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang
aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal. 1
2.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik
- Meconium ileus
- Simple
- Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
- Meconium plug syndrome
- Neonatal small left colon syndrome
- Malrotation with volvulus
- Incarcerated hernia
- Jejunoileal atresia
- Colonic atresia
- Intestinal duplication
- Intussusception
- NEC
Obstruksi fungsional
- Sepsis
- Intracranial hemorrhage
- Hypothyroidism
- Maternal drug ingestion or addiction
- Adrenal hemorrhage
- Hypermagnesemia
- Hypokalemia
2.8 Tatalaksana
Terapi
terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk
melakukan Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi
anak dan respon dari terapi awal.. Decompresi kolon dengan pipa besar,
diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan kateter pada rektum
harus dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi
hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang
buruk, perlu dilakukan colostomy
Step 1: The diseased segment is removed.
|
Step 2: The healthy intestine is moved to an opening in the abdomen where a stoma is created.
|
Diagnosis
dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan pendekatan
pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif setelah berat badan anak >5 kg (10 pon).
Ada 3 pilihan yang dapat digunakan, untuk setiap prosedurnya, prinsip
dari pengobatan termasuk menentukan lokasi dari usus di mana zona
transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang
aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah ganglionik
ke anus atau bantalan mukosa rektum. 3
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through
primer dapat dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus.
Pendekatan ini mengikuti prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur
bertingkat melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan. Banyak
dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop.
Cara ini terutama banyak pada periode neonatus yang dapat menyediakan
visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus yang
signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi
menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through.
Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi
ekstrim, kolostomi dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat
dekompresi sebelum dilakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada prosedur pull-through. 3
Dari ketiga prosedur pull-through
yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung yang pertama adalah prosedur
Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan
dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui
pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum
dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis
secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon
ganglionik dan dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis
menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur ini sangat
efektif, namun keterbatasannya adalah adanya kemungkinan kerusakan
syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum. Untuk mengatasi masalah
ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa
rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang ganglionik
dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat
dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat penting
untuk menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah
mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah
yang sel ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through
pada zona transisi yang berhubungan dengan tingginya angka komplikasi
karena tidak adekuatnya pengosongan segmen usus yang aganglionik.
Sekitar 1/3 pasien yang di pull-through pada zona transisi akan membutuhkan reoperasi. 3
Komplikasi
utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif,
konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding
dan secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang
ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon
total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through. 3
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit hirschsprung:
· Secara
klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen kemudian
dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy
seromuskuler.
· Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum
2. Metode
Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang
ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler
GIA kemudian dimasukkan melalui anus.
3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal aganglioner.
Setelah
operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil
baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi. 1
Daftar Pustaka
1. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114
2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-468
3. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in: Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New York. Page 1496-1498
4. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640
5. Snell Anatomy
6. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153
BUKAN BUATAN SENDIRI.. HANYA ARSIP DARI REKAN SEJAWAT. . .
Komentar :
Posting Komentar