1. Definisi
Dermatitis
merupakan epido-dermitis dengan gejala subyektif pruritus. Obyektif
tampak inflamasi eritema, vesikulsi, eksudasi dn pembentukan sisik.
Tanda-tanda polimorfi tersebut tidk selalu timbul pda saat yang sama.
Penyakit bertendensi resisif dan menjadi kronis(Arief Mansjoer : 86.
2002)
Dermatitis kontak alergi adalah
suatu dermatitis atau peradangan kulit yang timbul setelah kontak
dengan alergen melalui proses sensitasi(R.S. Siregar : 109. 2002).
Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitasi
alergi terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabakan reaksi
peradangan pada kulit bagi mereka yang mengalami hipersensivitas
terhadap alergen sebagai suatu akibat dari pajanan sebelumnya(Dorland,
W.A. Newman : 590. 2002)
1. Definisi
Dermatitis
merupakan epido-dermitis dengan gejala subyektif pruritus. Obyektif
tampak inflamasi eritema, vesikulsi, eksudasi dn pembentukan sisik.
Tanda-tanda polimorfi tersebut tidk selalu timbul pda saat yang sama.
Penyakit bertendensi resisif dan menjadi kronis(Arief Mansjoer : 86.
2002)
Dermatitis kontak alergi adalah
suatu dermatitis atau peradangan kulit yang timbul setelah kontak
dengan alergen melalui proses sensitasi(R.S. Siregar : 109. 2002).
Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitasi
alergi terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabakan reaksi
peradangan pada kulit bagi mereka yang mengalami hipersensivitas
terhadap alergen sebagai suatu akibat dari pajanan sebelumnya(Dorland,
W.A. Newman : 590. 2002)
2. Etiologi
Penyebab
dermatitis kontak alergi adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan
kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi
sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
Dermatitis
kontak alergik terjadi bila alergen atau senyawa sejenis menyebabkan
reaksi hipersensitvitas tipe lamat pada paparan berulang. Dermatitis ini
biasnaya timbul sebagai dermatitis vesikuler akut dalam beberapa jam
sampai 72 jam setelah kontak. Perjalanan penyakit memuncak pada 7 sampai
10 hari, dan sembuh dalam 2 hari bila tidak terjadi paparan ulang.
Reaksi yang palning umum adalah dermatitis rhus, yaitu reaksi alergi
terhadap poison ivy dan poison cak. Faktor predisposisi yang menyebabakn
kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabakan integritas kulit
terganggu, misalnya dermatitis statis(Baratawijaya, Karnen Garna. 2006)
3. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensititas di kullit timbulnya lambat (delayed hipersensivitas), umumnya dlam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Sebelum
seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih
dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya.
Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana
yang disebut hapten yang terikat dengan protein, membentuk antigen
lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel
langerhans, selanjutnya dipresentasekan oleh sel T. Setelah kontak
dengan ntigten yang telh diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah
bening regional untuk berdiferensisi dan berploriferasi memebneetuk sel T
efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini
kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem
limfoid, sehingga menyebabkab keadaan sensivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase
saat kontak pertama sampai kulit menjdi sensitif disebut fase induksi
tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan
individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat
mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti
bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya
kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut,
bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan
ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala
klinis disebut fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48
jam(Djuanda, Adhi. 2004)
4. Gejala
Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada
yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas tegas, kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat
pecah menimbulkan erosi dan eksudasi(basah). Pada yang kronis terlihat
kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin jugga fisur,
batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedaknn dengan dermatitis
kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.
Gejala
yang umum dirasakan penderita adalah pruritus yang umumnya konstan dan
seringkali hebat (sangat gatal). DKA biasanya ditandai dengan adanya
lesi eksematosa berupa eritema, udem, vesikula dan terbentuknya
papulovesikula; gambaran ini menunjukkan aktivitas tingkat selular.
Vesikel-vesikel timbul karena terjadinya spongiosis dan jika pecah akan
mengeluarkan cairan yang mengakibatkan lesi menjadi basah. Mula-mula
lesi hanya terbatas pada tempat kontak dengan alergen, sehingga corak
dan distribusinya sering dapat meiiunjukkan kausanya,misalnya: mereka
yang terkena kulit kepalanya dapat curiga dengan shampo atau cat rambut
yang dipakainya. Mereka yang terkena wajahnya dapat curiga dengan cream,
sabun, bedak dan berbagai jenis kosmetik lainnya yang mereka pakai.
Pada kasus yang hebat, dermatitis menyebar luas ke seluruh tubuh.
5. Diagnosis
Diagnosis didasarakan pada hasil diagnosis yang cermat dan
pemeriksan klinis yang teliti.Pertanyaan mengenai kontaktan yang
dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya ada
kelainan kulit berupa lesi numularis disekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifiksi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memeakai kancing celana atau kepala ikat
pinggan yang terbuat dari logam(nikel). Data yang berrsal dari anamnesis
juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui dapat
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit
kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan
fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalissasssi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemugnkinan penyebabnya.
Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam
tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemerikassaan hendaknya dilakukan
pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit
lain karena sebab-sebab endogen.
Diagnosis
didasarkan pada riwayat paparan terhadap suatu alergen atau senyawa
yang berhubungan, lesi yang gatal, pola distribusi yang mengisyaratkan
dermatitits kontak. Anamnesis harus terpusat kepada sekitar ppaparan
tehadap alergen yan gumum. Untuk mengidentifikasi agen penyebab mungkin
diperlukan kerja mirip detektif yang baik.
6. Diagnosis Banding
Kelainan
kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermtitis
numularis, dermtitis seboroik, atau psoriris. Diagnosis banding yang
utama ialah dengan dermatitits kontak iritan. Dalam keadaan ini
pemeriksn uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah
dermatitis tersebut karena kontak alergi(Goldstein, Adam. 1998)
a. Eksema
numularis, yaitu ditandai dengan plak diakret, terskuama, kemerahan,
berbentuk uanga logam, dan gatal, serupa dengan dermtitis kontak tetapi
tanpa riwayat paparan terhadap alergen dan lesinya bundar, tidak ada
konfigurasi lainnya.
b. Eksema
pada tangan, yaitu tidak ada alergen yang dapt dikenali. Sering keadaan
ini hanya dapat dibedakan dari dermatitis kontak alergi dengna uji
tempel. Dermatitis kontak dapat memperparah eksema tangan yang sudah ada sebelumnya
c. Dermatofitosis, yaitu biasanya berbatas tegas pinggir aktif dan bagian tengah agak menyembuh
d. Kandidiasis, yaitu biasanya dengan lokalisasi yang khas. Efloresensi berupa eritema, erosi, dan ada lesi satelit.
7. Pengobatan
Hal
yang perlu diperhatikan pada dermatitis kontak adalah upaya pencegahn
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan
kulit yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek
untuk mengatasi peradangan pada dermtitis kontak alergik akut yang
ditandai dengan eritema, edema. Bula atau vesikel, serta ekskluatif,
misalnya predinson 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda
setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan
garam faal.
Untuk
deramatitis kontka alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah
mereda (setelah mendapat pengobatan kortikesteroid sistemik), cukup
diberikan kortikosteroid topikal. Secara bertahap, dpat diakukan hal-hal
dibawah ini :
a. Identifikasi agen-agen penyebab dan jauhlan pasien dari paparan, walaupun seringkal hal ini sukar, khususnya pada kasus kronik.
b. Tindakan simtomatik untuk mengontrol rasa gatal degan penggunaaan tunggal atau dalam bentuk kombinasi:
1) Kompres, pertama-tama gunakan kompres dingin dengan air keran dingin atau larutan burrow untuk lesi-lesi eksudtif dan basah. Kenakan selama 20 menit tiga kali sehari. Hindari panas disekitar lesi.
2) Antihistamin oral
Hidroksizin hidroklorida 10-50 mg setiap 6 jam bilamana perlu.
3) Lasio topikal yang mengandung menol, fenol, atau premoksin sangat berguna
untuk meringankan rasa gatal sementara, dan tidak mensensitisasi, tidak
seperti benzokain dan difenhidramin. Obat-obatan bebas yang dapat
digunakan antara lain lasio atau obat semprot sarna dan lasio Prax
Cetapil dengan mentol 0,25% dan fenol 0,25% dapat dibeli dengan resep
dokter.
4) Kortikosteroid
topikal, berguna bila daerah yang terkena terbatas atau bila
kortikosteroid oral merupakn kontraindikasi. Kortikosteroid topikal
poten diperlukan untuk mengurangu reaksi dermatitis kontak alergi.
a. Mengenai
tubuh seperti krim, atau salap bermetasson dipropionat 0,05 % dua kali
sehari, atau krim atau selap flusinonid dua samapi tiga kali sehari ke
daerah-daerah yang terken selama dua minggu.
b. Jangan gunakan lebih dari atau 2 hari pada wajah, lipat paha atau aksila
c. Salap kortikosteroid topikal poten sangat mahal .
5) Kortikosteroid oral : berguna untuk dermatitis kontak alergik sistemik atau yang mengenai wajah atau pada kasus di man rasa gatal tidak dapat dikontrol dengan tindakan-tindakan lokal.
6) Obati setiap infeksi bakteri sekunder.
7) Perintahkan
pasien untu ktidak menggunakan obat bebas, misalnya benadril topikal
atau benzokain topikal. Obat-obat tersebut dapat menyebabkan reaksi
alergi atau iritasi tambahan.
8) Pasien
dengan penyakit kronik yang tidak membrikan respons terhadap terapi dan
penghindaran semua penyebab yang dicurigai harus dirujuk ke ahli kulit
atau ahli lergi untuk tes tempel.
8. Pemeriksaan Pembantu
Adapun pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan eosinofil darah tepi
b. Pemeriksaan imminoglobulin E
1). Uji tempel (patch test)
Pelaksanaan
uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila
memungkinkan setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di
punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahn uji diletakkan
pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh,
ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian ditrekat degan plester.
Setelah 48 jam dibuka. Reaksi dibuka setelah 48 jam (pada waktu dibuka),
72 jam atau 96 jam. Untuk bahan tertentu bahkan baru memebrri reaksi setelah satu minggu. Hasil
positif dapat berupa eritema dengan urtika sampai vesikel atau bula.
Penting dibedakan, apakah reakssi karena alergi kontak atau krena
iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam( reksi tipe decresendo),
sedangkan reaksi alergik kontak makin meningkat.
2). Uji tusuk (prick test)
3). Uji gores (scratch test)
9. Prognosis
Prognosis
dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
didingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan
dengan dermatitis oleh faktor endogen.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: FKUI.
Djuanda, Adhi. 2004. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta FKUI.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC.
Goldstein, Adam. 1998. Dermatologi Praktis. Jakarta : Hipokrates.
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: FKUI. 2005.
Siregar, R.S, Prof.Dr. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2002.
Komentar :
Posting Komentar