Sabtu, 18 Oktober 2014

ATRESIA BILIARIS

I.    PENDAHULUAN
Atresia biliaris merupakan suatu keadaan di mana sistem bilier ekstrahepatik mengalami hambatan atau tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan obstruksi pada aliran empedu. Kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama kolestasis yang harus segera mendapat terapi bedah bahkan tranplantasi hati pada kebanyakan bayi baru lahir.Jika tidak segera dibedah, maka sirosis bilier sekunder dapat terjadi. Pasien dengan atresia biliaris dapat dibagi menjadi 2 kelompok yakni, atresia biliaris terisolasi yang terjadi pada 65-60% pasien, namun menurut Hassan dan William, presentasenya dapat mencapai 85-90% pasien (bukti atresia diketahui pada minggu ke 2-8 pasca lahir), dan pasien yang mengalami situs inversus atau polysplenia/asplenia dengan atau tanpa kelainan kongenital lainnya, yang terjadi pada 10-35% kasus (bukti atresia diketahui < 2 minggu pasca lahir).

Kelainan patologi sistem bilier ekstrahepatik berbeda-beda pada setiap pasien. Namun jika disederhanakan, maka kelainan patologis itu dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi atresia yang sering ditemukan:
•    Tipe 1: terjadi atresia pada ductus choledocus
•    Tipe II:  terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan stuktur kistik ditemukan pada porta hepatis
•    Type III (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus hepaticus dextra dan sinistra hingga setinggi  porta hepatis.
Varian-varian di atas tidak boleh disamakan dengan hipoplasia bilier intrahepatis yang tidak dapat dikoreksi meskipun dengan pembedahan sekali pun.

II.    INSIDENS
Insidens terjadinya atresia biliaris di Amerika Serikat adalah 1 per 10.000-15.000 kelahiran hidup.Sedangkan secara internasional, insidens atresia biliaris termasuk tinggi di populasi asia. Dan atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi-bayi Cina dibanding pada bayi-bayi di Jepang. Insidens tinggi juga ditemukan pada pasien dengan ras kulit hitam yang dapat mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras kulit putih.Dari segi gender, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada anak perempuan. Dari segi usia, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi-bayi baru lahir dengan rentang usia kurang dari 8 minggu.

III.    ETIOLOGI
Atresia biliaris jarang ditemukan pada bayi lahir mati ataupun bayi prematur yang semakin mendukung kemungkinan etiologi pada akhir masa kehamilan. Sebaliknya, pada bayi yang mengalami hepatitis neonatal, yang merupakan diagnosis banding utama atresia biliaris,lebih sering terjadi pada bayi prematur, kecil masa kehamilan (KMK) ataupun keduanya. Adapun beberapa etiologi yang dapat menyebabkan atresia biliaris antara lain:
•    Agen infeksius
Belum ditemukan satu agen pasti yang dapat menyebabkan atresia biliaris, meskipun peranan organisme infeksius sudah dipelajari secara luas. Fischler dkk melaporkan infeksi sitomegalovirus pada 25% bayi yang menderita atresia biliaris. Menariknya, beberapa peneliti melaporkan adanya peningkatan infeksi sitomegalovirus yang lebih tinggi lagi pada bayi-bayi yang menderita hepatitis neonatus idiopatik. Hal ini semakin mendukung konsep yang menjelaskan bahwa kelainan atresia biliaris memiliki spektrum patologis yang sama dengan hepatitis neonatus idiopatik.  Investigasi pada reovirus tipe 3 justru menghasilkan hasil yang berlawanan. Wilson dkk menemukan virus ini merusak duktus biliaris dan hepatosit pada tikus. Sedangkan pada penelitian lain, Steele dkk gagal menemukan bukti infeksi pada bayi yang mengalami kolestasis. Penelitian lain sudah berusaha mencari peran rotavirus grup A, B dan C serta virus hepatitis A, B, C yang biasa menyerang hati, namun hingga kini belum ditemukan hubungan yang dapat menyebabkan atresia biliaris.
•    Faktor genetik
Adanya bentuk atresia biliaris yang terjadi pada usia di bawah 2 minggu kehidupan yang selalu berasosiasi dengan kelainan kongenital lainnya, memberikan kemungkinan adanya hubungan antara faktor genetis dengan insidens atresia biliaris. Beberapa penelitian telah menemukan adanya mutasi genetis spesifik pada tikus yang mengalami heterotaksi viseral dan kelainan jantung, yang mana kelainan ini menyerupai bentuk kelainan yang ditemukan pada atresia biliaris tipe yang usia bayinya < 2 minggu. Abnormalitas genetik lainnya termasuk delesi gen c-jun tikus (sebuah faktor transkripsi proto-oncogen) dan mutasi faktor gen transkripsi homeobox yang berhubungan dengan kelainan hati dan limpa. Tapi masih belum dapat dijelaskan hubungan langsung antara mutasi gen ini dengan atresia biliaris.
•    Penyebab lain
Kelainan pada proses sintesis asam empedu dicurigai juga sebagai penyebab atresia biliaris. Faktanya, asam empedu memang memiliki kontribusi yang besar terhadap kerusakan hepatoseluler dan kerusakan ductus bilier pada semua pasien atresia biliaris. Namun tetap saja, tidak ditemukan hubungan pasti antara kelainan pembentukan asam empedu dengan peristiwa terbentukanya atresia biliaris. Beberapa peneliti lain berusaha mempelajari efek agen potensial lain seperti teratogen dan faktor imunologis. Tapi lagi-lagi, belum ditemukan hubungan yang jelas antara atresia biliaris dengan faktor-faktor tersebut.

IV.    KLASIFIKASI

Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:

-  Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen proksimal paten

- Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)

-  Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu normal

-  Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus

Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.

V.    PATOFISIOLOGI

Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir. Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik.

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.

Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur. Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak
Meskipun gambaran histopatologi atresia biliaris sudah dipelajari secara ekstensif dalam spesimen bedah yang telah dieksisi dari sistem bilier ekstrahepatik bayi yang telah mengalami portoenterostomy, namun patogenesis kelainan ini masih belum sepenuhnya dipahami. Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan malformasi kongenital pada sistem ductus bilier sebagai penyebabnya. Tapi bagaimana pun juga kebanyakan bayi baru lahir dengan atresia biliaris, ditemukan lesi inflamasi progresif yang menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau gangguan agen toksik yang mengakibatkan terputusnya ductus biliaris.
Pada tipe III, varian histopatologis yang sering ditemukan,  sisa jaringan fibrosis mengakibatkan sumbatan total pada sekurang-kurangnya satu bagian sistem bilier ekstrahepatik. Ductus dalam hati, yang memanjang hingga ke porta hepatis, pada awalnya paten hingga beberapa minggu pertama kehidupan tetapi dapat rusak secara progresif oleh karena serangan agen yang sama dengan yang merusak ductus ekstrahepatik maupun akibat efek racun empedu yang tertahan lama dalam ductus ekstrahepatik.
Peradangan aktif dan progresif yang terjadi pada pengrusakan sistem bilier dalam penyakit atresia biliaris merupakan suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan satu faktor etiologik saja. Namun agen infeksius dianggap lebih memungkinkan menjadi penyebab utamanya, terutama pada kelainan atresia yang terisolasi. Beberapa penelitian terbaru telah mengidentifikasi peningkatan titer antibodi terhadap reovirus tipe 3 pada pasien – pasien yang mengalami atresia. Peningkatan itu terjadi pula pada rotavirus dan sitomegalovirus.

VI.    DIAGNOSIS
A.    Gambaran Klinis

1.      Warna tinja pucat, terhambatnya aliran empedu untuk mengakut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak dalam usus halus dimana fungsi empedu adalah mengekresikan bilirubin dan membantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam empedu
2.      Asites
3.      Spenomegali
4.      Distensi abdomen
5.      Hepatomegali
6.      Pruritus, akibatnya adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi resistensi garam empedu
7.      Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan (kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat > 5 mg/dl dalam 24 jam, kadar bilirubin serum > 12 mg/dl pada bayi cukup bulan serta > 15 mg/dl pada bayi premature pada minggu pertama kehidupan), karena obtruksi pengaliran getah empedu dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu tidak dibawa ke duodenum tapi di serap oleh darah dan penyerapan empedu ini akan menyebabkan kulit dan membrane mukosa berwarna kuning
8.      Letargi
9.      Urine berwarna gelap, sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan di ekresikan ginjal ke dalam urine pada obstruksi saluran empedu bilirubin tidak memasuki intestinum sehingga urobilinogen tidak terdapat dalam urine
10.  Bayi tidak mau minum dan lemah
11.  Mual muntah

•    Anamnesis
Tanpa memperhatikan etiologi, gambaran klinis pada semua bayi yang mengalami kolestasis sangat mirip. Gejala utamanya antara lain ikterus, urin yang menyerupai teh pekat dan feses warna dempul. Pada kebanyakan kasus, atresia biliaris ditemukan pada bayi yang aterm, meskipun  insidens yang lebih tinggi lagi ditemukan pada yang BBLR (berat bayi lahir rendah). Pada kebanyakan kasus, feses akolik tidak ditemukan pada minggu pertama kehidupan. Tapi beberapa minggu setelahnya. Nafsu makan,pertumbuhan dan pertambahan berat badan biasanya normal.
•    Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak dapat mengidentifikasi semua kasus atresia biliaris. Tidak ada temuan patognomonik yang dapat digunakan untuk mendiagnosisnya. Beberapa tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik atresia biliaris, antar lain:
•    Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen. Splenomegali juga dapat ditemukan, dan apabila sudah ada splenomegali, maka kita dapat mencurigai telah terjadi sirosis dengan hipertensi portal.
•    Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 2 minggu
•    Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar pada palpasi di area epigastrium.
•     Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung bawaan, terutama apabila ditemukan bising jantung pada pemeriksaan auskultasi.
B.    Pemeriksaan Laboratorium
Serum bilirubin (total dan direk): hiperbilirubinemia terkonjugasi, didefinisikan sebagai peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih dari 20% total bilirubin.(1,2,6) Menariknya, bayi dengan atresia biliaris menunjukkan peningkatan moderat pada bilirubin total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan fraksi terkonjugasi mencapai 50-60% dari total bilirubin serum.
Memeriksa kadar alkaline phosphatase (AP), 5′ nucleotidase, gamma-glutamyl transpeptidase (GGTP), serum aminotransferases dan serum asam empedu.
Pada semua tes ini, terjadi peningkatan baik dalam hal sensitivitas maupun spesifitas. Sayangnya, tidak ada satu pun pemeriksaan biokimia yang dapat membedakan secara akurat antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis lain pada neonatus.
Sebagai tambahan terhadap hiperbilirubinemia terkonjugasi (temuan universal terhadap semua bentuk kolestasis neonatus), abnormalitas pemeriksaan enzim termasuk peningkatan level AP. Pada bebrapa kasus, peningkatan AP akibat sumber skeletal dapat dibedakan dengan yang berasal dari hepar dengan menghitung fraksi spesifik hati, 5` nucleotidase.
GGTP merupakan protein membrane integral pada kanalikuli bilier dan mengalami peningkatan pada kondisi kolestasis. Kadar GGTP berhubungan erat dengan kadar AP dan mengalami peningkatan pada semua kondisi yang berkaitan dengan obstruksi bilier. Tapi bagaimana pun juga terkadang  kadar GGTP normal pada beberapa bentuk kolestasis akibat kerusakan hepatoseluler.
Kadar aminotransferase tidak terlalu menolong dalam menegakkan diagnosis secara khusus, meskipun peningkatan kadar alanine transferase (>800 IU/L) mengindikasikan kerusakan hepatoseluler yang signifikan dan lebih konsisten pada kondisi sindrom hepatitis neonatus.
Serum alpha1-antitrypsin dengan Pi typing: defisiensi alpha1-antitrypsin sering diturunkan secara genetis pada kebanyakan penyakit hati herediter yang tampilan klinisnya berupa kolestasis. Fenotip PiZZ abnormal, dapat ditentukan dari elektroforesis yang berkaitan dengan kolestasis neonatal pada sekitar 10% pasien.
Sweat chloride (Cl): keterlibatan traktus biliaris merupakan salah satu komplikasi yang sangat sering ditemukan pada kistik fibrosis dan untuk membedakannya dari atresia biliaris, maka perlu dilakukan iontoforesis sweat chloride.
C.    Pemeriksaan Radiologis
•    Ultrasonography (US)
Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan  anomali sistem bilier ekstrahepatik dengan menggunakan US, terutama kista koledokal. Saat ini, diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan menggunakan US fetal in utero.
Pada atresia biliaris, US dapat menunjukkan ketiadaan kantung empedu dan tidak berdilatasinya jalur bilier. Sayangnya, sensitifitas dan spesifisitas temuan ini, bahkan untuk di pusat pemeriksaan yang berpengalaman, tidak  mencapai 80%. Karena alasan ini, US dianggap tidak menunjang untuk mengevaluasi atresia biliaris. Namun ada sejumlah peneliti yang menyatakan bahwa sensitivitas dan spesifisitas US terutama yang berfrekuensi tinggi dapat mencapai 90% lebih.
•    Hepatobiliary scintiscanning (HSS)
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengevaluasi bayi yang dicurigai mengalami atresia biliaris. Bukti gambaran unequivocal pada ekskresi usus yang sudah diberi radiolabel  dapat menunjukkan patensi sistem bilier ekstrahepatik. Bahkan pada atresia biliaris tiper asplenia, scintiscanning dapat mendiagnosis atresia biliaris meskipun tanpa harus ada upaya biopsi.
Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam  melakukan pemeriksaan ini. Pertama, realibilitas scintiscan dapat berkurang jika kadar bilirubin terkonjugasi sangat tinggi (>20 mg/L). Kedua, tes ini memiliki tingkat positif –palsu dan negatif-palsu mencapai 10%.
•    Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)
Meskipun belum digunakan seluas US, MRC dapat menjadi alternatif pilihan untuk mendiagnosis atresia biliaris. MRC dapat diaplikasikan untuk membedakan atresia bliaris, kolelitiasis, kista koledokal, dan tranplantasi hati.
•    Kolangiografi Intraoperatif
Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus biliaris. Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya etiologi obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan gagal menunjukkan hasil yang adekuat.

D.    Pemeriksaan Histopatologis
•    Biopsi hati perkutaneus
Biopsi perkutaneus hati diketahui secara luas sebagai teknik paling terpercaya dalam mengevalusia kolestasis neonatus. Tingkat morbiditasnya rendah pada pasien yang tidak mengalami koagulopati. Ketika diperiksa oleh patolog yang berpengalaman, suatu spesimen biopsi yang adekuat, dapat membedakan penyebab kolestasis akibat gangguan obstruksi dengan hepatoseluler, dengan tingkat sensivisitas dan spesifisitas mencapai 90% untuk atresia biliaris.
Pada beberapa kondisi kolestasis, termasuk atresia biliaris, dapat menunjukan perubahan pola histolpatologis. Sehingga perlu dilakukan biopsi serial dengan interval 2 minggu untuk mencapai diagnosis yang definitif.
Temuan Histologis
Meskipun ada yang fakta yang menyebutkan bahwa atresia biliaris dapat terjadi karena faktor ontogenik dan dapatan, namun tidak ada temuan histologis kualitatif yang dapat menunjukkan karaktersitik perbedaan keduanya. Spesimen bedah menunjukkan spektrum abnormalitas, termasuk inflamasi aktif yang disertai degenerasi duktus biliaris, suatu rekasi inflamasi kronik yang disertai proliferasi elemen duktus dan glandular serta fibrosis. Progresifitas kelainan ini dapat dikonfirmasi melalui gambaran histologisnya.
Bukti adanya obstuksi pada traktus biliaris menentukan apakah bayi membutuhkan laparatomi eksplorasi dan kolagiografi intraoperatif.  Proliferasi portal duktus biliaris, pengisian emepdu, fibrosis portal-portal dan reaksi inflamasi akut merupakan karakteristik temuan penyebab obstruksi pada kolestasis neonatus.
Pewarnaan Periodic Acid-Schiff (PAS) pada jaringan biopsi dapat  digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis defisiensi alpha1-antitrypsin dengan adanya temuan intraseluar berupa granul-granul PAS-positif yang resisten terhadap percernaan oleh diastase.

VII.     PENATALAKSANAAN
•    Konsultasi
Evaluasi kolestasis neonatal dapat dilakukan di pelayanan kesehatan primer dengan bergantung pada realiabilitas temuan laboratorium. Tes non-bedah dan eksplorasi bedah lainnya hanya dapat dilakukan di pusat pelayanan kesehatan yang telah berpengalaman menangani kelainan seperti ini. Dokter umum tidak boleh menunda diagnosis atresia biliaris. Bila ditemukan bayi yang dicurigai menderita ikterus obstruktif, maka harus segera dirujuk ke dokter subspesialis.
•    Perawatan Medis
Tidak ada penatalaksanaan medis primer yang relevan dalam menangani atresia biliaris ekstrahepatis. Tugas utama seorang dokter anak hanyalah mengonfirmasi diagnosis penyakit ini. Sekali seorang pasien dicurigai menderita atresia biliaris, maka intervensi bedah hanyalah satu-satunya mekanisme yang  memungkinkan untuk mendiagnosisnya secara definitif (kolagiogram intraoperatif) sekaligus menjadi terapinya(Kasai portoenterostomy).
Setelah melalui sejumlah evaluasi, kolangiografi intraoperatif dilakukan untuk menegakkan diagnosis atresia biliaris ekstrahepatik. Selama proses operasi, traktus biliaris yang mengalami fibrosis diidentifikasi, dan patensi sistem bilier ditaksir. Pada kasis patensi bilier yang berkaitan dengan hipoplasia duktal, intervensi bedah tidak diindikasikan, dan empedu dapat diambil spesimennya untuk mengevaluasi kelainan metabolisme asam empedu. Pada kebanyakan kasus atresia, diseksi ke dalam porta hepatis dan pembentukan anostomosis Roux-en-Y dengan sebuah segmen retrokolik sepanjang 35-40 cm merupakan prosedur pilihan. Penelitian menunjukkan bahwa ekstensi diseksi portal yang melewati bifurkasio vena porta dan titik umbilikal pada hilum kiri dapat meningkatkan kemungkinan drainase empedu yang adekuat.
•    Diet
Selama masa evaluasi atresia biliaris, makanan bayi tidak perlu mengalami perubahan. Pemberian ASI pasca-operasi dianjurkan ketika memungkinkan karena ASI mengandung lipase dan asam empedu yang dapat menolong hidrolisis lipid dan pembentukan misel. Secara teori, ASI juga dapat melindungi bayi melawan kolangitis, suatu komplikasi umum yang terjadi setelah portoenterostomy, karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram-negatif dan flora anaerobik. Tapi, belum ada data yang cukup untuk mendukung klaim ini. Bayi yang mendapat susu formula yang mengandung trigliserida rantai sedang dan drainase empedunya baik tidak perlu mendapat diet khusus. Hanya perlu diperhatikan jangan sampai terjadi defisiensi vitamin yang larut lemak seperti A, D, E dan K.
•    Obat-obatan
Pada periode post-operasi, metilprednisolon dapat digunakan sebagai anti-inflamasi dan stimulan non-spesifik terhadap aliran garam empedu. Dosis pemberiaanya adalah 1.6-2 mg/kg/hari IV.
Pada pasien dengan kondisi kolestasis dan patensi duktus bilier, maka dapat digunakan asam ursodeoksikolik (UCDA) yang dapat mempertinggi aliran empedu. Untuk bayi yang telah mengalami portoenterostomi, UCDA dapat memperbaiki hasilnya, dan obat ini memiliki toksisitas yang rendah. Dosis pemberiannya adalah 15-30 mg/kg/hari PO.
Untuk mencegah kolangitis post-operasi, profilaksis yang dapat diberikan adalah kotrimoxazole. Namun sayangnya, data konklusif yang dapat mendukung penggunaan agen ini maupun obat lain dalam manajemen atresia biliaris belum tersedia. Dosis pemberian obat ini adalah 8 mg/kg/hari.
VIII.    PROGNOSIS
Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak penderita atresia biliaris yang telah mengalami portoenterostomy adalah 47-60% dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini , mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah,sehingga anak-anak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi portal (>60%).


Komentar :

ada 1
Unknown mengatakan...
pada hari

Atresia Bilier adalah suatu keadaan yang terjadi pada bayi yang baru lahir dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Penyebab atresia bilier ini tidak diketahui tetapi kondisi tersebut ditemukan pada 1 dari 15000 kelahiran. Atresia Bilier temukan jawab di tanyadok.com portal informasi layanan kesehatan untuk menemukan penyebab dan cara penangulangannya.

dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.