Kamis, 18 September 2014

PNEUMONIA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 

2.1.  Pneumonia  
2.1.1.  Pengertian Pneumonia  
 Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru 
(alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh 
gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan 
dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit 
ISPA (P2ISPA) semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun 
bronchopneumonia disebut pneumonia (Depkes RI, 2002). 
Pneumonia merupakan penyakit batuk pilek disertai napas sesak atau napas 
cepat. Napas sesak ditandai dengan dinding dada bawah tertarik ke dalam, sedangkan 
napas cepat diketahui dengan menghitung tarikan napas dalam satu menit. Untuk 
balita umur 2 tahun sampai 5 tahun tarikan napasnya 40 kali atau lebih dalam satu 
menit, balita umur 2 bulan sampai 2 tahun tarikan napasnya 50 kali atau lebih per 
menit, dan umur kurang dari 2 bulan tarikan napasnya 60 kali atau lebih per menit 
(Depkes, 1991). 

2.1.2.  Penyebab Pneumonia  
Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh 
bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa. 
 
 
 
a.  Bakteri 
 Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai 
usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah 
Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu 
pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera 
memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi 
pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut 
jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008). 
b.  Virus
 Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus 
yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). 
Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, 
pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya 
sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. 
Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat 
dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008). 
c. Mikoplasma 
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit 
pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun 
bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan 
biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis 
usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian 
sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008). 
d.  Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia 
pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia 
(PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. 
Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa 
bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika 
ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen yang berasal dari paru 
(Djojodibroto, 2009). 
2.1.3.  Klasifikasi Pneumonia  
1) Berdasarkan Umur
a. Kelompok umur < 2 bulan
    1)   Pneumonia berat 
Bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu (jika 
sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau 
sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC atau lebih) 
atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernapasan cepat 60 kali 
atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada 
lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang. 
2)  Bukan pneumonia
Jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit dan tidak 
terdapat tanda pneumonia seperti di atas. 

b. Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun
 1)  Pneumonia sangat berat 
Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak 
dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit 
dibangunkan. 
 2)  Pneumonia berat 
Batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai 
sianosis sentral dan dapat minum. 
 3)  Pneumonia 
 
 
Batuk atau kesulitan bernapas dan pernapasan cepat tanpa penarikan dinding 
dada. 
4)  Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) 
Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding 
dada. 
5)  Pneumonia persisten 
Balita dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah diobati selama 
10-14 hari dengan dosis antibiotik yang kuat dan antibiotik yang sesuai, 
biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernapasan yang tinggi, 
dan demam ringan
 (WHO, 2003). 
 
2)  Berdasarkan Etiologi 
Tabel 2.1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Etiologinya
 
Grup Penyebab  Tipe Pneumonia 
Bakteri  

Streptokokus pneumonia 
Streptokokus piogenesis 
Stafilokokus aureus 
Klebsiela pneumonia 
Eserikia koli 
Yersinia pestis 
Legionnaires bacillus  
Aktinomisetes 
 
Fungi 
 
Aktinomisetes Israeli 
Nokardia asteroides  
Kokidioides imitis 
Histoplasma kapsulatum 
Blastomises dermatitidis 
Aspergilus 
Fikomisetes  
Pneumoni bakterial 





Legionnaires disease  
Aktinomisetes pulmonal 
Nokardia pulmonal  
Kokidioidomikosis 
Histoplasmosis 
Blastomikosis 
Aspergilosis 
Mukormikosis  
Riketsia 
Koksiela burneti  Q fever 
Klamidia 
Chlamydia trachomatis  Chlamydial Pneumonia 
Mikoplasma 
Mikoplasma pneumonia Pneumonia mikoplasmal
Virus 
Influenza virus, adeno  
Virus respiratory 
Syncytial 
Pneumonia virus 
Protozoa 
Pneumositis karini Pneumonia pneumosistis 
(pneumonia plasma sel) 
Sumber : Alsagaff dan Mukty, 2010.
 
2.1.4.  Gejala Klinis dan Tanda Pneumonia  
a.  Gejala
  Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas 
atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh 
meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk 
dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada 
sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu 
makan, dan sakit kepala (Misnadiarly, 2008). 
b. Tanda
Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita 
antara lain : 
a. Batuk nonproduktif
b. Ingus (nasal discharge)
c. Suara napas lemah
d. Penggunaan otot bantu napas
e. Demam
f. Cyanosis (kebiru-biruan)
g. Thorax photo menujukkan infiltrasi melebar
h. Sakit kepala
i. Kekakuan dan nyeri otot
j. Sesak napas
k. Menggigil
l. Berkeringat
m. Lelah
n. Terkadang kulit menjadi lembab
o. Mual dan muntah 
 
2.1.5.  Cara Penularan Penyakit Pneumonia  
Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang 
ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang 
menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. 
Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia kedalam 
saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu terdapat juga 
cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh 
penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita, transmisi 
langsung dapat juga melalui ciuman, memegang dan menggunakan benda yang telah 
terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Azwar, 2002)
2.1.6.  Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Pneumonia 
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada 
balita (Depkes, 2004), diantaranya :  
a.  Faktor risiko yang terjadi pada balita 
 Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat 
ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut 
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : 
1.   Status gizi 
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia. 
Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat 
dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan 
meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti 
pneumonia (Dailure, 2000). 
2.   Status imunisasi 
  Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada 
balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari 
penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka 
diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada 
balita (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi 
kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian 
imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan 
dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi. 
 3. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) 
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan 
makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, 
karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian 
ASI yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan 
kejadian pneumonia pada balita (Dailure, 2000). 
4. Umur Anak 
 Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian 
pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur 
dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status 
kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas 
yang masih sempit (Daulaire, 2000). 
b.  Faktor Lingkungan 
 Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan resiko 
terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak 
mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan 
berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang 
berasal dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang berpengaruh 
diantaranya : 
 1. Ventilasi 
  Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran udara 
kotor dari ruangan yang tertutup. Termasuk ventilasi adalah jendela dan 
penghawaan dengan persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya 
ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang 
tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri terutama bakteri 
patogen (Semedi, 2001). 
 2.  Polusi Udara 
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan oleh 
polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor risiko 
terhadap kejadian pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga 
dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan 
dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor 
(Lubis, 1989). 
2.1.7.  Pencegahan Penyakit Pneumonia  
Untuk mencegah pneumonia perlu partisipasi aktif dari masyarakat atau 
keluarga terutama ibu rumah tangga, karena pneumonia sangat dipengaruhi oleh 
kebersihan di dalam dan di luar rumah. Pencegahan pneumonia bertujuan untuk 
menghindari terjadinya penyakit pneumonia pada balita. Berikut adalah upaya untuk 
mencegah terjadinya penyakit pneumonia : 
 
 
1. Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu 
selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi 
kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan 
terhadap hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan. 
2. Perbaikan gizi balita
 
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena 
malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi neonatal 
sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak terkontaminasi 
serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat memberikan 
perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu, 
balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding balita 
yang tidak mendapatkannya. 
3. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi 
yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan, imunisasi 
DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan 
dan 4 bulan. 
4.  Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk. 
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk 
mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai 
dengan napas cepat/sesak napas. 
 
5.  Mengurangi polusi di dalam dan di luar rumah 
Untuk mencegah pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan 
dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa balita ke dapur 
serta membuat lubang ventilasi yang cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan 
tidak bersih, cuaca panas, cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin 
sebagai faktor yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit pneumonia. 
6. Menjauhkan balita dari penderita batuk. 
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran 
pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang penyakit batuk. 
Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan pneumonia pada 
orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan 
menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan menyebabkan berkurangnya 
penyakit saluran napas yang berat. Semua anak yang sehat sesekali akan 
menderita salesma (radang selaput lendir pada hidung), tetapi sebagian besar 
mereka menjadi pneumonia karena malnutrisi. 

2.1.8.  Program Pemberantasan Penyakit ISPA  
Program P2ISPA merupakan program yang menangani masalah ISPA yang 
ditujukan pada kelompok balita. 
a. Mengumpulkan dan menganalisa data penyakit 
b.  Melaporkan kasus penyakit menular 
c.  Menyembuhkan penderita sehingga tidak lagi menjadi sumber infeksi 
d.  Pemberian imunisasi 
e.  Pemberantasan vektor  
f.  Memberikan penyuluhan kesehatan. 
 
Masalah yang menjadi prioritas untuk ditanggulangi adalah pneumonia 
beserta komplikasinya. Penanggulangan penyakit pneumonia menjadi fokus kegiatan 
program  P2ISPA. Program ini mengupayakan agar istilah pneumonia lebih dikenal 
masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi 
tentang penanggulangan pneumonia (Sibarani, 1996). 
 
2.2.   Konsep Balita 
Perkembangan seorang anak secara umum digambarkan melalui periode-
periode. Salah satunya adalah periode Bawah Lima Tahun (BALITA) merupakan 
salah satu periode manusia setelah bayi sebelum anak-anak awal. Rentang usia balita 
dimulai dari   1 sampai 5 tahun. Periode usia ini disebut juga periode usia prasekolah. 
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita karena pada masa 
ini pertumbuhan dasar yang memengaruhi dan menentukan perkembangan anak 
selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, 
kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan 
landasan bagi perkembangan selanjutnya (Djaeni, 2000). 

2.3.   Pencegahan 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pencegahan adalah proses, 
cara, tindakan mencegah atau menahan agar sesuatu tidak terjadi. Dengan kata lain 
pencegahan merupakan tindakan. Maka pencegahan  identik dengan perilaku. 
 
2.4.   Perilaku
2.4.1. Batasan Perilaku
 Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme 
(mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis, 
semua mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia 
itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dengan 
demikian yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan 
atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas 
antara lain berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan 
sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku 
manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati 
langsung maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). 
 Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta 
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, 
sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku manusia merupakan respon atau reaksi 
seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. 
Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan yaitu: berpikir, berpendapat, 
bersikap) maupun bersifat aktif yaitu dengan tindakan (Sarwono, 1997). 

2.4.2. Perilaku Kesehatan 
 Berdasarkan batasan perilaku Skiner dalam Notoatmodjo (2007), maka 
perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus 
atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, 
makanan, minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat 
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: 
1.  Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintanance)  
Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang 
untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk 
penyembuhan bila mana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan 
ini terdiri dari tiga aspek yaitu: 
a.  Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta 
pemulihan kesehatan bila mana telah sembuh dari penyakit.  
b.  Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu 
dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari 
itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan 
yang seoptimal mungkin.  
c.  Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat 
memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya 
makanan dan minuman juga dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan 
seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung 
pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut (Notoatmodjo, 
2003). 
2.  Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan 
Sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour). 
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat 
menderita atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati 
sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri (Notoatmodjo, 
2003).  
3.  Perilaku kesehatan lingkungan  
Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons 
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, 
sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya. Dengan 
perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak 
mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya. Misalnya 
bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah 
dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).  
Becker dalam Notoatmodjo (2003) membuat klasifikasi lain tentang perilaku 
kesehatan yaitu : 
a.  Perilaku hidup sehat (healthy behaviour)  
 Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan 
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.  
b.  Perilaku sakit (illness behaviour)  
Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, 
persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : penyebab, gejala penyakit, 
pengobatan penyakit dan sebagainya. 
c.  Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)  
 Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup 
hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak 
dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain 
(terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the 
sick role).  
  Menurut Kosa dan Robertson dalam Notoatmodjo (2003), perilaku 
kesehatan individu cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang 
bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diinginkannya dan kurang berdasarkan 
pada pengetahuan biologis. Memang kenyataannya demikian, tiap individu 
mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau 
pencegahan berbeda, meskipun gangguan kesehatannya sama. 

2.4.3.  Determinan Perilaku 
 Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda-
beda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dibedakan atas: 
1. Determinan atau faktor internal 
 Yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, 
misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya. 
2. Determinan atau faktor eksternal 
 Yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, budaya, ekonomi, politik dan 
sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang 
mewarnai perilaku seseorang.  
 Menurut Blum dalam Notoatmodjo ( 2003),  perilaku manusia merupakan 
faktor yang memengaruhi status kesehatan individu selain faktor lingkungan, 
pelayanan kesehatan dan keturunan (herediter). Selanjutnya teori Green dalam 
Notoatmodjo (2007) menyebutkan perilaku dilatarbelakangi oleh 3 faktor utama 
yakni: faktor predisposing (faktor pemudah), enabling (faktor pendukung) dan 
reinforcing (faktor penguat). 
Dari kedua konsep tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
                 Keturunan 

Pelayanan Kesehatan            Status Kesehatan          Lingkungan

                    Perilaku
 
            Proses Perubahan

Faktor  Predisposing                     Faktor Enabling                        Faktor Reinforcing

 Komunikasi Penyuluhan Pemberdayaan Masyarakat                  Training 
                   Pemberdayaan Sosial
 

                      Pendidikan Kesehatan 
                      ( Promosi Kesehatan )
 
Gambar 2.1 Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan. 

2.4.4. Faktor Predisposing (Faktor Pemudah) 
 Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, 
tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan 
kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial 
ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku 
kesehatan, misalnya dalam pencegahan penyakit pneumonia diperlukan pengetahuan 
dan kesadaran ibu tentang penyakit pneumonia. Di samping itu, kepercayaan dari 
tradisi dapat menghambat ibu untuk memeriksakan anak ke sarana kesehatan. Karena 
faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku maka 
sering disebut faktor pemudah (Notoatmodjo, 2007). 
a. Pendidikan 
   Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang pendidikan, 
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar 
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi 
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, 
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, 
masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada 
pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran diharapkan akan 
berlangsung lama (long lasting) dan menetap, karena didasari oleh kesadaran. 
Memang kelemahan dari pendekatan pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya 
lama, karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada umumnya 
memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2005). 
 Menurut Notoatmodjo (2003), orang dengan pendidikan formal yang lebih 
tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan 
tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan 
mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan 
kesehatan. 
Menurut Feldstein dalam Nainggolan (2008), bahwa tingkat pendidikan 
dipercaya memengaruhi permintaan akan pelayanan kesehatan. Pendidikan yang 
tinggi akan memungkinkan seseorang untuk mengetahui dan mengenal gejala-
gejala awal. Kunjungan ke dokter yang rendah adalah sebagai akibat rendahnya 
pendidikan dan sikap yang masa bodoh terhadap pelayanan kesehatan. 
b. Pekerjaan 
Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang untuk 
memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Anderson 
dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu 
diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan  
kesehatan.
 
c. Penghasilan Keluarga 
Masyarakat berpenghasilan rendah mempunyai suatu prevalensi sakit, 
kelemahan, kronitas penyakit dan keterbatasan kegiatan karena masalah 
kesehatan. Ditambah pula bahwa mereka lebih sukar mencapai pelayanan 
kesehatan, dan bila dapat mencapainya akan memperoleh mutu pelayanan 
kesehatan yang lebih rendah dibanding dengan lapisan masyarakat menengah atas 
(Zulikfan, 2004). 
Tingkat penghasilan merupakan penghasilan yang diperoleh bapak dan ibu 
yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga semakin besar jumlah 
pendapatannya, maka taraf kehidupan akan semakin baik. Status sosial ekonomi 
dianggap sebagai salah satu faktor risiko penting untuk pneumonia, karena 
penderita pneumonia pada balita banyak ditemukan pada kelompok keluarga 
dengan sosial ekonomi rendah (Kartasasmita, 1993). 
d. Pengetahuan 
 Menurut Notoatmodjo (2003), pengertahuan adalah apa yang diketahui oleh 
seseorang  tentang sesuatu hal yang didapat secara formal maupun informal. 
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang 
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi 
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, 
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui 
mata dan telinga. 
Pengetahuan terdiri dari 6 (enam) tingkatan, yaitu: 
a. Tahu (know) 
 Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari 
sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali 
(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau 
rangsangan yang telah diterima. 
b. Memahami (Comprehension) 
 Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar 
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut 
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat 
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap 
objek yang dipelajari. 
 
c.   Aplikasi (Application) 
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi 
yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi 
disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku-buku, rumus, 
metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 
d.   Analisa (Analysis) 
 Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek 
analisa komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur  organisasi 
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 
e. Sintesa (Synthesis) 
Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan 
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru 
atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah 
ada. 
f.  Evaluasi (Evaluation) 
   Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu 
materi atau objek. 

2.4.5.  Faktor Enabling (Faktor Pendukung) 
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana/fasilitas bagi masyarakat misalnya 
puskesmas, rumah sakit, polindes, dokter atau bidan swasta, dan lain-lain. Fasilitas ini 
pada hakikatnya mendukung terwujudnya perilaku kesehatan maka disebut juga 
faktor pendukung. 
a. Ketersediaan sarana kesehatan 
Menurut Notoatmodjo (2007), meskipun kesadaran dan pengetahuan 
masyarakat tinggi tentang kesehatan, namun fasilitas kesehatan yang tidak 
mendukung maka tindakan tentang kesehatan tidak akan terwujud. Oleh karena 
itu pengetahuan dan kesadaran yang tinggi harus diikuti dengan ketersediaan 
sarana kesehatan yang baik sehingga terwujud perilaku hidup sehat. 
b. Jarak ke sarana kesehatan 
 Rochman (1994) menyatakan bahwa keterjangkauan/jarak merupakan salah 
satu faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan. 

2.4.6.  Faktor Reinforcing (Faktor Penguat) 
 Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku petugas kesehatan. Untuk 
berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan yang 
positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh/acuan yang 
diberikan oleh petugas kesehatan. Faktor ini disebut juga sebagai faktor penguat. 
Dukungan dari Petugas Kesehatan. 
Menurut Nur (2004) kerjasama dan penyuluhan dari petugas kesehatan sangat 
diperlukan sebagai contoh/acuan dalam melakukan tindakan kesehatan. Peran petugas 
kesehatan mempunyai pengaruh terhadap perilaku ibu dalam kaitannya dengan 
pencegahan penyakit pneumonia. 
  Menurut Sarfino dalam Smet (1994), dukungan petugas kesehatan merupakan 
dukungan sosial dalam bentuk dukungan informatif, di mana perasaan subjek bahwa 
lingkungan memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang 
diketahui. 
 Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam 
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang 
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya 
kesehatan (Kepmenkes RI, 2005). 
 Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan petugas kesehatan adalah 
dukungan yang diberikan oleh petugas kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan 
baik itu berupa penyuluhan, saran dan tindakan petugas kesehatan dalam memberikan 
pelayanan kepada ibu. 

2.5.  Kerangka Konsep Penelitian 
 Berdasarkan latar belakang, tujuan dan manfaat, maka kerangka konsep 
penelitian adalah sebagai berikut: 
Variabel bebas                                                                          Variabel Terikat
 
Faktor Predisposing:
- Tingkat Pendidikan
- Pekerjaan
- Penghasilan keluarga 
- Pengetahuan 
Faktor Enabling:
Sarana Kesehatan:
     -  Ketersediaan
     -  Jarak 
Faktor Reinforcing:
Dukungan dari            
petugas kesehatan 
 


 
 
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian 
Pencegahan penyakit
pneumonia pada balita 
2.6.  Hipotesis Penelitian
Dari gambar kerangka konsep di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah 
terdapat pengaruh faktor predisposing (meliputi: tingkat pendidikan, pekerjaan, 
penghasilan keluarga, dan pengetahuan), faktor enabling (meliputi: ketersediaan serta 
jarak sarana kesehatan) dan faktor reinforcing (meliputi: dukungan petugas 
kesehatan) ibu balita terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita di 
Kelurahan Batangberuh Kecamatan Sidikalang Tahun 2011. 

 

 






















 
 

Komentar :

ada 0 Comment ke “ PNEUMONIA ”
dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.