LATAR BELAKANG
Meningitis
 merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala 
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia 
disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). 
Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut 
dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang 
jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan
 durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
            Meningitis
 juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut 
merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini 
memiliki onset gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. 
Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
            Meningitis
 aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular 
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. 
Penderita biasanya menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis
 LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa pemeriksaan 
laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan 
berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus 
(HSV).
            Pada
 referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis 
bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh 
infeksi lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi meningitis bakterialis 
di Amerika Serikat sudah menurun sejak diterapkannya penggunaan rutin 
vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun. 
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor
 predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media, 
mastoiditis, trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan 
defisiensi imun lainnya.
PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS
            Pertama-tama
 bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. 
Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, 
saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, 
bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang 
(seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah
 akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:
Invasi
 ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara 
hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. 
Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis 
media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama 
manipulasi intrakranial.
Sesampainya
 di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun (
 misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian 
terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh 
termasuk SSP. 
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak
Mekanisme
 patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai 
sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan
 dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. 
Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade 
inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin 
yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin 
(IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis 
dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan 
IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.
Paparan
 sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk
 yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri 
merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru
 memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri 
(seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor 
(Toll-like receptor)
            TNF-α
 merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, 
limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen
 endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua 
mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin 
intrasisternal.
            Mediator
 sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) 
dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses 
inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari 
infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO 
merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat 
diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas 
blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan 
aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.
            Pada
 akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi 
peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai 
komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan 
terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon 
terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari 
aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran 
pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial. 
            Peningkatan
 viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang 
subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema 
interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas 
selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
            Edema
 serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra
 kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). 
Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi 
laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia
 merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses 
yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi 
disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.
            Tekanan
 tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting 
dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema 
interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik 
(akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema 
vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
            Edema
 serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya 
penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan 
menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis 
keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek 
postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.
FREKUENSI
Berdasarkan
 grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus 
meningitis terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .

Gambar 2. Kasus Meningitis di Amerika Serikat pada tahun 2003
Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4 kasus/100.000 anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae
 meningitis adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi 
meningitis pada neonatus adalah 0,25-1 kasus/1000 kelahiran hidup. Pada 
kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000 kelahiran aterm 
sedangkan pada kelahiran preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran 
preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum berhubungan dengan meningitis bakterial.
MORTALITAS-MORBIDITAS
Sebelum
 ditemukannya antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial cukup 
tinggi. Dengan adanya terapi antimikroba, mortalitas menurun tapi masih 
tetap dikhawatirkan tinggi. 19-26%  mortalitas diakibatkan karena meningitis oleh Sterptococcus pneumoniae, 3-6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% oleh Neisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi pada usia tua.
RAS
Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan pada populasi Kaukasia dan Hispanik.
JENIS KELAMIN
            Bayi
 laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram 
negatif dibanding bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan 
terhadap meningitis oleh Listeria monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama untuk bayi perempuan maupun laki-laki.
USIA
Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70%  kasus terjadi pada anak dengan usia kurang dari 2 tahun.
GEJALA KLINIS
            Gejala
 klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi 
gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis,
 febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, 
shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis
 pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis 
adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging 
fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, 
irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya 
selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
● Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya disertai febris dan fotofobia.
●
 Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% 
penderita meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, 
kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski, 
Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu dalam 
menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.

Gambar 3. Kaku kuduk (nuchal rigidity) pada penderita meningitis
● Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf.
●
 Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder 
terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan 
prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka 
panjang.
●
 Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan 
yang memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum 
hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan 
adanya sekuelae yang berat.
●
 Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan 
tekanan darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil 
edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
● 6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
●
 Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP 
fokal dan sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya 
transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi
 subdural tergantung pada etiologinya.
● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi meningitis:
›
 Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat 
memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai 
meningitis.
›
 Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea 
menunjukkan adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
› Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap pertumbuhan bakteri di meningen.
ETIOLOGI
* Etiologi meningitis neonatal
            Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia coli)
 dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus 
preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur 
pembedahan sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas.
            Meningitis Streptococcus
 grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan 
sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat 
persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi 
dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi 
setelah  7 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.
            Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter diversus dan Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga menderita abses otak. 
* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
            Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB).
 HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada 
negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.
› Streptococcus pneumoniae meningitis
 Gambar 4. Streptococcus pneumoniae
 Gambar 4. Streptococcus pneumoniae
Patogen
 ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan 
penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 
19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia
 dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi
 dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia. 
Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di 
parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae
 sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia, 
hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen 
ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. 
Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi 
sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang
 ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural, 
hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya. 
Pengobatan
 antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam
 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap 
antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal 
ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam 
pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri 
sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus 
yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap 
cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. 
Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan 
pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. 
Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) 
walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya 
kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi 
adekuat ke SSP.
› Neisseria meningitidis meningitis 
 Gambar 5. Neisseria meningitidis
 Gambar 5. Neisseria meningitidis
            Patogen
 ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering 
ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis 
berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan 
serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran 
pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan 
antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi 
saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa 
inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. 
Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9), 
infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, 
penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif. 
            Kasus
 umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi 
tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae 
sering dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi 
gambaran normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah 
hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan
 gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul 
kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada 
sediaan apus darah tepi.
› Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis
 Gambar 6. HIB
 Gambar 6. HIB
            HIB
 merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari
 kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya 
terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% 
kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 
tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah 
memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB 
yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia 
melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran 
pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal penyakit. Beberapa
 data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin 
karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus 
menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat 
menurunkan morbiditas dan sekuelae.
› Listeria monocytogenes meningitis
 Gambar 7. Listeria monocytogenes
 Gambar 7. Listeria monocytogenes
            Bakteri
 ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak 
immunocompromised. Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi 
makanan yang terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan
 oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial 
meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan.
 Pada pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering disalahartikan 
sebagai Streptococcus hemolyticus atau diphteroid.
› Etiologi lain-lain
            Staphylococcus epidermidis
 sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada penderita 
dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang 
immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia, Proteus dan diphteroid. 
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
- Abses otak
- Tumor otak
- Vaskulitis SSP
- Lead encephalopathy
- Meningitis fungal
- Meningitis tuberculosis
- Tuberculoma
- Stroke
- Encephalitis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
            Meningitis
 adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui 
isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi 
pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan 
penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga warna 
LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak jernih
 maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil 
pemeriksaan LCS.
            Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi tanpa melakukan
 lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat tekanan
 intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT 
scan atau MRI sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan 
pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan herniasi. 
 Gambar 8. Tabung spesimen LCS
 Gambar 8. Tabung spesimen LCS
            Pada
 spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah 
total leukosit dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan
 kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen perlu 
dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar 
protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi
 pada penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. 
Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang
 fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak 
menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
            Pada
 kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit
 yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan 
pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan gram dari cytocentrifuged
 LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung
 dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga 
perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan 
patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat  juga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler
| 
Agent | 
Opening Pressure | 
WBC count per mL | 
Glucose (mg/dL) | 
Protein (mg/dL) | 
Microbiology | 
| 
Bacterial   meningitis | 
200-300 | 
100-5000;   >80% PMNs* | 
<40 | 
>100 | 
Specific   pathogen demonstrated in 60% of Gram stains and 80% of cultures | 
| 
Viral   meningitis | 
90-200 | 
10-300;   lymphocytes | 
Normal, reduced in LCM   and mumps | 
Normal   but may be slightly elevated | 
Viral   isolation, PCR† assays | 
| 
Tuberculous   meningitis | 
180-300 | 
100-500;   lymphocytes | 
Reduced,   <40 | 
Elevated,   >100 | 
Acid-fast   bacillus stain, culture, PCR | 
| 
Cryptococcal   meningitis | 
180-300 | 
10-200;   lymphocytes | 
Reduced | 
50-200 | 
India   ink, cryptococcal antigen, culture | 
| 
Aseptic   meningitis | 
90-200 | 
10-300;   lymphocytes | 
Normal | 
Normal   but may be slightly elevated | 
Negative   findings on workup | 
| 
Normal   values | 
80-200 | 
0-5;   lymphocytes | 
50-75 | 
15-40 | 
Negative   findings on workup | 
Tabel 1. Gambaran Liquor Cerebrospinal pada meningitis berdasarkan agen etiologiknya.
Beberapa
 test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri 
pada cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat 
diperoleh dari spesimen LCS, darah atau urin. Test jenis ini bermanfaat 
pada penderita meningitis dengan riwayat pengobatan belum lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada LCS tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita. 
Deteksi
 antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat 
dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri 
gram negatif dan S. pneumoniae serotipe tertentu yang 
memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang dengan 
poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik 
dibandingkan rapid diagnostic test.
PARTIALLY TREATED MENINGITIS (PTM)
            Beberapa
 anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan. 
Dosis kecil antimikroba oral atau bahkan pemberian antimikroba secara 
intravena dosis tunggal tidak mengubah hasil pemeriksaan LCS termasuk 
kultur bakteri khususnya pada penderita HIB meningitis.
            Hasil
 kultur dari spesimen LCS dapat menjadi steril secara cepat jika patogen
 penyebabnya adalah pneumococcus atau meningococcus walaupun perubahan 
sitologis dan kimiawi tetap eksis. Karena hal 
ini maka diperlukan test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila
 terjadi kesulitan untuk membedakan antara PTM dengan meningitis viral 
(aseptik) maka lumbal punksi dapat diulang dalam rentang waktu 24 jam. 
Pada kasus meningitis viral, pleositosis LCS dan perubahan kimiawi 
cenderung untuk kembali menuju nilai normal.
PENATALAKSANAAN
*Perawatan medik
            Pemberian
 terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. 
Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. 
Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau menurut 
pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi 
dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan 
beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal 
pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis.
            Akses
 intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan.
 Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan 
hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini 
juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam 
pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit 
serum pada neonatus mencapai normal.
            Peningkatan
 tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi 
pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk 
menjamin oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.
            Pemeriksaan
 penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan 
kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial.
 Pada neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji 
fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran.
            Pada
 bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi 
terapi antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan
 elektrolit dilakukan dengan: memperhatikan tanda-tanda vital dan status
 neurologis sehingga dapat menentukan input dan output yang akurat, 
penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi 
perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan 
untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah 
urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin 
dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan 
darah dan sirkulasi yang adekuat.
*Terapi antimikroba untuk neonatus
            Antimikroba
 diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi 
antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan 
aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus
 gram positif termasuk Streptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS. 
            Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens.
 Tetapi aminoglikosida memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan 
ventrikel bahkan pada saat meningen sedang mengalami peradangan. 
Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar 
tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada 
suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan 
bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik 
mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39%
 sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy
 khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan 
bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan Enterococcus
 sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk 
terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin 
generasi III.
            Jika
 patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition 
concentration) yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan 
sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan aktivitas 
yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.
            Di
 antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas 
disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara 
intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan. 
Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau penicillin juga 
memiliki efek sinergis melawan Streptococcus grup B dan Enterococcus.Tidak
 jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan 
penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya
 resistensi.
            Infeksi
 yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa 
memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin 
atau kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida.
            Etiologi
 dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 
10-21 hari adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan
 waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar
 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi 
mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang 
terhadap LCS berguna dalam 48-72 jam setelah terapi  inisial untuk memantau respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh basil gram negatif.
| 
Antibiotics 
(dosage in 
mg/kg/day) | 
Route 
Of   Administration | 
Body 
weight 
<2000>    | 
Body 
Weight 
<2000>    | 
Body 
Weight 
>2000   g | 
Body 
Weight 
>2000   g | 
| 
Age   0-7 
days | 
Age   > 7 
days | 
Age   0-7 
days | 
Age   > 7 
days | ||
| 
Penicillins | |||||
| 
Ampicillin | 
IV,IM | 
100   div 
q12h | 
150   div 
q8h | 
150   div 
q8h | 
300   div 
q6h | 
| 
Penicillin-G | 
IV | 
100,000   U 
div   q12h | 
150,000   U 
div   q8h | 
150,000   U 
div   q8h | 
250,000   U 
div   q6h | 
| 
Oxacillin | 
IV,IM | 
100   div 
q12h | 
150   div 
q8h | 
150   div 
q8h | 
200   div 
q6h | 
| 
Ticarcillin | 
IV,IM | 
150   div 
q12h | 
225   div 
q8h | 
225   div 
q8h | 
300   div 
q6h | 
| 
Cephalosporins | |||||
| 
Cefotaxime | 
IV,IM | 
100   div 
q12h | 
150   div 
q8h | 
100   div 
q12h | 
150   div 
q8h | 
| 
Ceftriaxone | 
IV,IM | 
50   once 
daily | 
75   once 
daily | 
50   once 
daily | 
75   once 
daily | 
| 
Ceftazidime | 
IV,IM | 
100   div 
q12h | 
150   div 
q8h | 
100   div 
q8h | 
150   div 
q8h | 
Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia
| 
Anti 
biotics | 
Route of 
Admini 
stration | 
Desired 
Serum 
Levels 
(mcg/ml) | 
New 
born 
Age 
≤26 weeks 
(mg/kg/ 
dose) | 
New 
born 
Age 
27-34 weeks 
(mg/kg/ 
dose) | 
New 
born 
Age 
35-42 weeks 
(mg/kg/ 
dose) | 
New 
born 
Age 
≥43 weeks 
(mg/kg/ 
dose) | 
| 
Aminoglycosides | ||||||
| 
Amikacin | 
IV,IM | 
20-30 
(peak) 
<10 
(trough) | 
7.5   q24h | 
7.5   q18h | 
10   q12h | 
10   q8h | 
| 
Gentamycin | 
IV,IM | 
5-10 
(peak) 
<2,5 
(trough) | 
2.5   q24h | 
2.5   q18h | 
2.5   q12h | 
2.5   q8h | 
| 
Tobramycin | 
IV,IM | 
5-10 
(peak) 
<2,5 
(trough) | 
2.5   q24h | 
2.5   q12h | 
2.5   q12h | 
2.5   q8h | 
| 
Glycopeptide | ||||||
| 
Vancomy 
cin | 
IV,IM | 
20-40 
(peak) 
<10 
(trough) | 
15   q24h | 
15   q18h | 
15   q12h | 
15   q8h | 
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan berdasarkan usia
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak
            Pemberian
 antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis 
bakterial sangat penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki 
kemampuan untuk melawan 3 patogen umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae.
 Umumnya terapi dimulai dengan pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV 
dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone 100 mg/kg/hari 
dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari dan 
dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam 
melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus influenzae
 tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas 
yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan 
cefotaxime atau ceftriaxone.
            Beberapa
 evidence-based medicine menyarankan penggunaan carbapenem (misalnya 
meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang resisten terhadap 
cephalosporin. Peran antibiotik baru seperti oxazolidinone (linezoid) 
masih dalam penelitian. 
Karena
 penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi 
dan sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka 
pemberian kortikosteroid dapat mengurangi efektivitas antibiotik seperti
 vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga petugas kesehatan 
perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian kortikosteroid 
pada terapi meningitis.
Semua
 antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS
 adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena 
tidak dapat dilakukan. Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai 
kadar terapeutik dalam serum dan diberikan hanya jika tidak tersedia 
obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan mual 
muntah berkurang.
Pada
 penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi 
vancomycin dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek 
samping chloramphenicol tidak diinginkan maka dapat diganti dengan 
cotrimoxazole atau trovafloxacin.
Penggunaan
 antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam, 
sulbactam untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih 
kurangnya data mengenai daya penetrasinya ke dalam SSP. 
Penggunaan
 antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi 
kadang-kadang diulang sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah 
penghentian terapi. Tetapi pemeriksaan ulang ini tidak dapat memprediksi
 adanya relaps atau rekrudesensi meningitis. Misalnya HIB dapat terus 
bertahan dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis yang 
berhasil. Karena alasan ini, penderita perlu diberi rifampin 20 mg/kg 
sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di 
rumah atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N. meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.  
Phlebitis
 pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa 
penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga 
penderita dengan febris perlu untuk dievaluasi ulang.
| 
Antibiotics | 
Dose 
(mg/kg/day) | 
Dosing 
Interval | 
Maximum 
Daily Dose | 
| 
Ampicillin | 
400 | 
q6h | 
10 g | 
| 
Vancomycin | 
60 | 
q6h | 
4 g | 
| 
Penicillin G | 
250,000 U | 
q6h | 
24 million | 
| 
Cefotaxime | 
200-300 | 
q6h | 
12 g | 
| 
Ceftriaxone | 
100 | 
q12h | 
4 g | 
| 
Chloramphenicol | 
100 | 
q6h | 
4 g | 
| 
Ceftazidime | 
150 | 
q8h | 
6 g | 
| 
Cefepime | 
100 | 
q12h | 
4 g | 
| 
Imipenem | 
60 | 
q6h | 
4 g | 
| 
Meropenem | 
120 | 
q8h | 
6 g | 
| 
Rifampin | 
20 | 
q12h | 
600 mg | 
*Pemberian dexamethasone
Pada
 berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone
 ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi 
dexamethasone (0,15 mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik.
 Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam 24 jam, 
kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna. Pemantauan yang 
dilakukan sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae 
neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan 
dengan kegunaan dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae
 meningitis kurang meyakinkan. Selain mengurangi reaksi inflamasi, 
pemberian dexamethasone dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.
*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi
            Peningkatan
 tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara 
signifikan. Gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial tidak 
spesifik di antaranya vomitus, stupor, bulging fontanelle, palsy nervus 
VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat mengalami
 herniasi otak. Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor, 
gangguan pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea, dekortikasi 
atau deserebrasi.
            Pemberian
 manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien 
osmolalitas ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari 
jaringan otak ke dalam ruang intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) 
biasa diberikan selama 20-30 menit dan pemberiannya dapat diulang bila 
diperlukan.
            Dexamethasone
 sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi 
data terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid
 dan furosemid juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi 
efikasinya pada penderita meningitis belum dapat ditunjukkan pada controlled trials.  
*Antikonvulsi
            Bangkitan
 kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang
 adekuat dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. 
Pemberian antikonvulsi secara intravena. Phenobarbital natrium dengan 
dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit cukup efektif dalam 
mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena 
kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan 
kejang berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV 
dengan kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk 
kejang.
            Jika
 obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam 
(Valium) diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan
 tidak melebihi 10 mg. Efek antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga 
perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV tiap 12 jam untuk mencegah 
timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan) yaitu suatu 
benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05 
mg/kg tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat 
tersebut dapat menyebabkan henti napas atau jantung. Selain itu, efek 
aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan 
phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat 
meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika 
penderita tetap kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada 
kelainan intrakranial perlu dilakukan pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi. 
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis  
            Semua
 individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan 
penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi 
terhadap sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, 
ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis pada keadaan 
tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah 
kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang 
yang kontak dengan penderita harus segera mencari pertolongan medik saat
 timbul gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam 
selama 2 hari.
* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
            Rifampin
 dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang
 kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau 
lebih muda kontak dengan penderita maka anak tersebut harus diberi 
profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan 
‘kontak’ adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama dengan 
penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih 
waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum 
diagnosis ditegakkan.
            Jika
 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi 
tempat pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain 
perlu diberi profilaksis.
* Imunisasi
            Imunisasi
 massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan
 dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug 
Administration) telah meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang 
pertama (Prevnar) pada April 2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima 
imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.

Gambar 9. Contoh vaksin HIB (Act-HIB)
            Vaksin
 quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat
 adanya wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C,
 Y, W-135 dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita 
dengan imunodefisiensi, penderita dengan asplenia anatomik atau 
fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen. Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan. The
 Advisory Committee on Imunization Practices (ACIP) menganjurkan 
penggunaan vaksin ini untuk siswa sekolah yang tinggal di asrama-asrama.
KOMPLIKASI
            Sekuelae
 jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung 
etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat 
berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae.
            Sekuelae
 pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, 
hipertonia otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan 
belajar, hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral.
            Gangguan
 pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone 
dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan 
pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi 
audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali 
kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka 
perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk 
menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi 
motorik.
PROGNOSIS
            Penderita
 dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae 
atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis 
merupakan faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. 
Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes
 dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi 
daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang 
disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan 
tubuh inang.
KESIMPULAN
-          Meningitis merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa dan memberikan sekuelae yang bernakna pada penderita
-          Pemberian
 terapi antimikroba merupakan hal penting dalam pengobatan meningitis 
bakterial di samping terapi suportif dan simptomatik
-          Pencegahan meningitis dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilaksis. 
 DAFTAR PUSTAKA
-          Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and Human  Development Michigan  State University. College of Medicine and En Sparrow Hospital. www.emedicine.com/PED/topic198.htm.
-          Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of Medicine. Mayo Clinic  College of Medicine. www.emedicine.com/med/topic2613.htm
 
 
makasih kak
5 efek mayor dari tekanan darah tinggi
Penyaki radang usus gejala diagnosis dan pengobatan
Efek buruk tekanan darah tinggi pada kesehatan tubuh
6 cara yang mampu turunkan tekanan darah tinggi