Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Pada
beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut
bilirubin yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata
berubah warna menjadi kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus.
Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa
bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa
menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik
dan dapat merusak otak.
Bayi
baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja
mengalami kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan
menghadapi masalah ini. Bila timbul ikterus, dapat diterapi dengan
fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan transfusi
tukar (exchange transfusion).
Beberapa
tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye,
tidur yang berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui
sangat kurang, serta kelemahan umum.
Pada
kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan,
terlebih bila bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat
sehingga menjadikan prognosis kern ikterus buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KERN IKTERUS
2.1. Definisi
Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak1, 2, 3, 6.
2.2. Insidensi
Dengan
menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan)
yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih
dari 20 mg/dL, akan mengalami kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi
prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi
klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi
penyakit2, 7, 9.
Di
Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi
hiperbilirubinemia berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus.
Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu:
- Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter.
- Banyaknya
bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar
bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran),
ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu
kemudian.
- Dokter
yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya
kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada
kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk
memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka.
- Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin yang belum selesai5, 6,8,10.
2.3. Klasifikasi
Stadium 1
Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang.
Stadium 2
Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.
Stadium 3
Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
Stadium 4
Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata ke atas, displasia mental1.
2.4. Etiologi
Penyebab
kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggio
yang dapat mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak.
Kadar bilirubin yang tinggi merupakan kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh:
Ikterus fisiologis:
- Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar.
- Defek pengambilan bilirubin plasma.
- Defek konjugasi bilirubin.
- Ekskresi bilirubin menurun.
Ikterus patologis:
- Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati.
- Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom.
- Polisitemia.
- Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik, dan penyakit hirschprung.
- Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi aliran empedu1,2,3.
2.5. Patogenesis
Patogenesis
kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara
kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar
bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan
kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak
dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak.
Pada
setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek
atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat
toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada
bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu
bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI,
kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL,
meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam
minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu
ke-2 bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk
menimbulkan pengaruh toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur
lebih rentan terhadap kern ikterus.
Resiko
pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi
dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi
retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan
bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan kompetitif
obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan
sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau
hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas
sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau
kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia,
prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi2.
Permukaan
otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah
tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi,
terutama pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius
yang berdekatan, korpus striata, talamus, globus palidus, putamen,
klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah
yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif
dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang
lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim
oksidatif pada berbagai daerah otak dan
bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti
yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen
oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel;
jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel
otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa
hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik kern ikterus
mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama2, 9, 10.
2.6. Kriteria Diagnosis
Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Tanda-tanda
dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir
pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur,
tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama
masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak
dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan
intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus.
Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda
awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak
berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan
pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan
tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat
menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan
pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta
tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut2.
Banyak
bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang
bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat
sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya,
pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak
teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan
kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak
disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah
secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang
lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter,
tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara
disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus
dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal,
hipotonia, atau ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya
ringan sindrom ini hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi
neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau “disfungsi
otak minimal” yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin
tidak tampak sampai anak masuk sekolah2,4,5, 7.
2.7. Diagnosis Banding
2.7.1.Sepsis
Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia.
Kriteria
diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak
tidak sehat, tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna,
pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf Pusat, hematologik dan kulit.
Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia
absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive
Protein.
2.7.2. Asfiksia
Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif, akumulasi CO2, dan asidosis.
2.7.3. Hipoglikemia
Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, mempunyai kadar glukosa darah <>
Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding.
2.8. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan kadar bilirubin.
Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi.
- Pemeriksaan fungsi otak: EEG
Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.
2.9. Pengobatan
2.9.1. Transfusi Tukar
Jika
ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi
jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada
kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan.
Pengobatan
yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering
yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam
serum di bawah kadar yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang
dapat mengubah kriteria ini ke arah yang sebaliknya, namun bergantung
pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan
kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada
kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan
ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin
sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit, sedangkan bayi
prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang
sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi
dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari
ketika kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari
ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7 pada bayi prematur,
ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme
konjugasi hati menjadi lebih efektif2.
Teknik transfusi tukar:
§ Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat.
§ Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana magna.
§ Gunakan darah segar dari donor darah (<>
§ Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau mengandung heparin.
§ Transfusi ganti diberikan biasanya 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B (diharapkan
dapat menggantikan darah bayi 87 %). Setiap kali menukar/mengambildan
memasukkan darah sebesar 10-20 ml (tergantung toleransi bayi.
§ Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya: asfiksia dan hipoglikemia)
§ Bayi-bayi
yang disertai anemia (HT<35 style="">partial exchange dengan PRC
(25-80 ml/kg BB) sampai HT naik menjadi 40 %. Bila keadan sudah stabil,
lakukan transfusi untuk mengatasi hiperbilirubinemia.
§ Jika mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg BB.
§ Pembantu mencatat volume darah yang ditukar, mengobservasi tanda vital bayi dan bisa melakukan resusitasi.
§ Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena.
§ Donor darah harus dihangatkan pada suhu 27-37oC.
§ Setiap 100 ml darah dikocok.
§ Alat steril.
§ Darah segar dipasang dengan infus set. Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan kateter v.umbilikalis.
§ Minimalisir efek samping dan tiap tahapan berlangsung 3-5 menit.
§ Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis, bisa dilakukan di v. Safena magna.
§ Kateter jangan terbuka terhadap udara.
§ Dengan
jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium
pratransfusi; Hb, urea N, elektrolit, kalsium, gula, SGOT,SGPT,
osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur.
§ Masukkan darah segar 20 ml perlahan, dilakukan sampai selesai.
§ Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti diberi 1 ml kalsium glukonas 10%.
§ Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi untuk pemeriksaan pasca transfusi.
§ Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh diberi minum.
Transfusi
dihentikan bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia,
asidosis, hipoglikemia, gangguan pembekuan, dan perforasi pembuluh
darah.
Komplikasi
transfusi tukar; gangguan vaskular, kelainan jantung, gangguan
elektrolit, koagulasi, infeksi, hipotermia, dan hipoglikemia.
2.9.2. Fisioterapi
Untuk bayi yang sudah mengalami cacat akibat kadar bilirubin terlalu
tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki
kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi
intelek (kognitif). Dengan cara ini diharapkan kemampuan si anak
sebisanya mendekati normal.
2.10. Prognosis
Tanda-tanda
neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau
lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup
menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining pendengaran2.
2.11. Pencegahan
- Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.
- Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi, transfusi tukar.
Bayi
dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi,
bahkan dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate
yang dalam ujicoba terbukti dapat memblokade produksi bilirubin
sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat ini masih
terus dikembangkan4.
Tanpa
memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang
memungkinkan terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan
jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan
kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang
ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup
bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas
bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan
resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum
mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin
memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka
fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah
kadar yang diindikasi untuk transfusi darah. Bila teridentifikasi,
penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya antibiotik untuk
septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko cedera
neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2.
Fototerapi
biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek.
Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil
mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern
ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda
kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin
berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan2.
- Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit.
- Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit.
- Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus5.
Tabel 1.
Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.
Berat Badan Lahir (gram)
|
Tidak Ada Komplikasi
(g/dL)
|
Ada Komplikasi*
(g/dL)
|
<>
1000-1250
1251-1499
1500-1999
2000-2500
|
12-13
12-14
14-16
16-20
20-22
|
10-12
10-12
12-14
15-17
18-20
|
*Komplikasi
meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia,
hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau
tanda-tanda kern ikterus.
Tabel 2.
Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang sehat tanpa hemolisis.
Umur
(Jam)
|
Fototerapi
(g/dL)
|
Fototerapi & Persiapan Transfusi Tukar*
(g/dL)
|
Transfusi Tukar Jika Fototerapi Gagal
(g/dL)
|
<>
24-48
49-72
> 72
> 2 minggu
|
**
15-18
18-20
20
***
|
**
25
30
30
***
|
**
20
25
25
***
|
*
Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif
harus dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika
fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang
tercatat pada kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar.
** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat.
***
Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2
minggu dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan
pemberian terapi maka harus diamati secara rinci, karena ikterus ini
paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia
biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.
BAB III
KESIMPULAN
Kern
ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh
tingginya kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak,
ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Kern ikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik. Penanganan ikterus harus mengikutsertakan
semua aspek secara menyeluruh , mulai dari peran orang tua, tenaga
medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya kern
ikterus serta rehabilitasi pasca kern ikterus.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
- Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New Yorkl. 17th edition. Saunders. 596-598.
- Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-103
- http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
- http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus.htm
- http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
- http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0603/21/hikmah/konsultasi.htm
- http://adam.about.com/surgery/100018.htm#
- http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
- http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299
Komentar :
Posting Komentar