Kamis, 18 September 2014

HERPES ZOSTER


BAB I
PENDAHULUAN 
 Herpes zoster merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus, yaitu
reaktivasi virus varisela zoster. Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia, di mana
lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20
tahun.1. Meingkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon imun
dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIVAIDS, pasien dengan keganasan,dan pasien yang mendapat obat imunosupresi.Namun, insidensinya pada pasien imunokompeten pun besar.

 Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life-threatening, namun dapat
menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat
timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat
menggangu kualitas hidup pasien – suatu keadaan yang disebut dengan postherpetic
neuralgia. Prevalensi herpes zoster di Indonesia diprediksi kecil, yakni hanya mencakup 1%. 
 Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa herpes zoster merupakan
daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh dokter. Kompetensi herpes zoster tanpa
komplikasi bagi dokter umum adalah 4A, yang berarti level kompetensi tertinggi yang perlu
dicapai oleh dokter umum, di mana dokter dapat mengenali tanda klinis, mendiagnosis,
menatalaksana hingga tuntas kecuali pada perjalanannya timbul komplikasi.
2
 Berkaca dari hal tersebut, presentasi kasus ini dimaksudkan untuk menambah
pemahaman klinis mahasiswa tentang penyakit herpes zoster tanpa komplikasi, mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga penatalaksanaan. Setelah pemaparan kasus
ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki informasi yang semakin kaya tentang herpes zoster
sehingga dalam pelayanan primer di masa yang akan datang kompetensi yang disyaratkan
dalam SKDI dapat sepenuhnya tercapai. 
   
TINJAUAN PUSTAKA 
Definisi 
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster 
laten dari saraf pusat dorsal atau kranial.  Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua
infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes
zoster.  Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang
berkontak dengan virus varicella zoster.  Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi,
menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles.  Pada
usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada
usia lebih tua.

3.Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam 
ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau
ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten.  Varicella zoster merupakan virus rantai ganda
DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau neurodermatotropik. 
Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan,
penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang
sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik.
Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan motorik.

3,4


Gambar 2 – Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com)

Gambaran Klinis 
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa. 
Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu
sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal).  Setelah itu
akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang
edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat
menjadi pustul dan krusta.  Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. 
Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.
4

Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap
timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu.  Selain gejala 
kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar.  Penyakit ini lokalisasinya 
unilateral dan dermatomal sesuai persarafan.  Saraf yang paling sering terkena adalah nervus
trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2.  Jika terkena saraf tepi jarang timbul
kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat
struktur anatomisnya.  Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.
Dermatom 
Gambar 3 – Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick) 
4,5
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. 
Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. 
Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal
yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal
sepanjang anggota badan. 
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis.  Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi
herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada
dermatom tertentu.
6

Gambar 4 – Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus

Komplikasi 
Postherpetic neuralgia 
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering 
terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak saraf
trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic neuralgia 

6

didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa.  Rasa nyeri akan menetap
setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat penyembuhan yang tidak
baik pada penderita usia lanjut.  Nyeri ini merupakan nyeri neuropatik yang dapat
berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes zoster menghilang.

Gambar 5 – Jaras sensorik nyeri (Sumber: Fitzpatrick) 

Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul oleh 
karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami lebih dari
3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster.  Penyebab paling umum timbulnya peningkatan
virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya
imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma, kemoterapi atau
radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan setelah operasi
transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi
faktor risiko.
8,9

Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari 
setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya
ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi
setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).
9

Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes 
zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh 
replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama masa 
laten.  Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris
yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal, serabut 
4,7


saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami
kerusakan terparah.  Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien
merasa nyeri yang hebat.

Herpes Zoster Oftalmikus 
5,8

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga
manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang kedua dan ketiga.  Jika
cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi hidung
(Hutchinson’s sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat.  Vesikel pada margo
palpebra juga harus diperhatikan.  Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah uveitis dan
keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan 
nekrosis retina akut.
4,5


Gambar 6 – Gambaran klinis herpes zoster oftalmikus (Sumber: Fitzpatrick) 
Diagnosis 
 Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.
 Komponen
utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala prodromal berupa nyeri, (2)
distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus
ditemukan papul, (4) beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat
nervus sensorik, (5) tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan 
5

herpes simpleks zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus
yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.
10

 Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren,
dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi
pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks. 
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta,
imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif
karena membutuhkan waktu 1-2 minggu.
1,10


Gambar 7 – Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant multinuklear;
sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau mengindikasikan terdapatnya 
Diagnosis Banding
4

antigen virus varisela zoster
1

1. Herpes simpleks (bersinonim dengan cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
gladiatorium, scrum pox, herpes genitalis)
11

Penyebabnya satu golongan (famili Herpesviridae). Umumnya infeksi awal HHV
asimptomatik kecuali pada virus golongan VZV yang simptomatik berupa varicella.
HHV akan laten di neuron atau sel limfoid, mengalami reaktivasi jika sisstem imun
tidak adekuat. Infeksi herpes simpleks umumnya melalui kontak langsung kulit dan 

mukosa, jarang yang menyebar melalui aerosol. Untuk herpes simpleks sendiri (HSV),
bentuknya pada umumnya atipik berbentuk plakat eritematosa, maupun erosi kecil. 
Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa vesikel
serta limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise,
dan mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4 hari
kemudian.  
Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering ditemukan di
wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering bermanifestasi
sebagai gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung ditransmisikan
secara seksual. Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi pada HSV zosteriform
yang pada umumnya jarang terjadi. 
2. Angina pektoris atau penyakit reumatik, bila nyeri sebagai gejala prodrormal terdapat
di daerah setinggi jantung 
Tatalaksana 
 Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko
komplikasi.
1,5
 Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik
golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg per
hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari.
12
 Kemudian untuk infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotik.
4
 Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk pasien berikut
1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus).
Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan
menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya 
2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun 
3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan
pemberian antiviral intravena 
4. Pasien yag imunokompromais  seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca
transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga
seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps; dan 
13

5. Pasien dengan dermatitis atopik berat  
 Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti
valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada tiga
hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini belum
diketahui.
13
 Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan selama 7-10
hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Pilihan
antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau pensiklovir 3 x
250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari asiklovir.
 Obat
diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi baru tidak timbul
lagi.
4

 Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau 
phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat diberikan 
antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan basah dapat
dilakukan kompres terbuka.
4,12

 Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi
infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih
sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder.
Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi
gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian
dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non-adherent.
14

 Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi
atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut
14
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam 
hari; 
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg
per hari; 
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau
antidepresan trisiklik saja; 
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat
menimbulkan sensasi terbakar; dan 
4,10

5. Lidocaine patch 5% jangka pendek. 
 Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis dari
nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan tapering
off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral untuk
mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas.  Namun perlu diingat
kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes mellitus.
14
 Pada komplikasi
seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan.  

BAB IV
PEMBAHASAN 
  Seorang wanita berusia 55 datang ke dokter dengan keluhan nyeri yang timbul
secara mendadak di kaki kiri sejak tiga hari yang lalu. Pada kulit muncul pula lenting-lenting
yang berkelompok dan tersebar hanya di tungkai bawah kiri, serta kaki kiri bagian dalam.
Tidak terdapat lokasi lain timbulnya kelainan kulit yang serupa. Dengan timbulnya lesi
seperti ini, perlu dipikirkan terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan lenting
disertai dengan nyeri yang cukup hebat (dengan VAS 6/10). Dengan melihat lesi, tampak
pada regio plantar tungkai bawah sinistra dan kaki sinistra bagian medial, terdapat vesikel
multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal, dengan ukuran lentikular, terletak di
atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak
dengan permukaan yang licin.  
 Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul gejala
kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan. Pada pasien ditanyakan
pula apakah terdapat kelemahan pada tungkai tersebut, namun pasien menyangkal kelemahan
motorik. Pasien hanya mengatakan bahwa saat digunakan untuk berjalan kaki terasa sakit,
bukan lemas. Dengan demikian keterlibatan elemen motorik pada persarafan ini tidak ada.
Lesi yang timbul jug akhas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar berupa kulit yang
eritematosa (kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit maupun gejala subjektif berupa
nyeri sangat menyokong ke arah herpes zoster, mengingat penyakit ini memiliki perjalanan
berupa masa tunas 7-12 hari, dengan timbulnya lesi dalam 1 minggu berikutnya, kemudian
masa penyembuhan sendiri selama 1-2 minggu berikutnya. Pada pasien ini, keterlibatan
dermatomal yang terlibat adalah L4 hingga L5. 
 Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal 
berupa demam disangkal, namun pasien mengeluhkan timbulnya nyeri pada kedua otot paha
yang terjadi kurang lebih bersamaan dengan timbulnya lesi pada kulit. Mialgia yang terjadi
dapat merupakan gejala prodromal dari reaktivasi herpes zoster. Gejala prodromal lainnya
berupa pusing dan malaise disangkal oleh pasien. 
 Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi 
reaktivasi. Pada literatur
11
 dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu reaktivasi, namun 
herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun, seperti yang ditemui pada
seorang berusia di atas 50 tahun. Penelitian oleh Schmader, et.al
15
 mengungkapkan bahwa 

herpes zoster sering terjadi pada orang yang baru-baru ini mengalami stressful recent events.
Pada pasien dalam anamnesis mengatakan bahwa belakangan ini pasien cukup stres akibat
cucu yang sakit dan sering membantu tetangga pasien menyiapakan acara pasien. Selain itu
makan pasien dalam beberapa waktu terakhir juga tidak teratur. Kesemua faktor ini diduga
dapat menjadi pemicu reaktivasi herpes zoster. 
 Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang bermanifestasi
sebagai varicella zoster (cacar air). Pada pasien ditemukan riwayat cacar air pada saat berusia
sekolah di SD. Dengan demikian jelaslah bahwa infeksi primer pada pasien ini telah terjadi. 
 Pasien kemudian diberikan pengobatan, berupa edukasi dan medikamentosa. Lenting
yang timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien juga
dianjurkan mengurangi sementara aktivitas fisik sebab saat ini pasien sedang mengalami 
nyeri dan tingginya aktivitas fisik dapat meningkatkan gesekan maupun trauma pada kaki 
yang dapat menjadi penyebab pecahnya lenting. Pada riwayat saat ini pasien tinggal dengan
suami, namun seringkali cucu pasien datang ke rumah untuk menginap. Pasien perlu
diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah mengalami cacar air, dapat terjadi
penyebaran virus VZV ke pejamu lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang lain.
Dengan demikian dalam fase ini sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak ataupun
orang yang belum pernah mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau berdekatan
dengan pasien. 
 Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 5 x 800 mg. Terapi dapat
diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang pada pasien ini
masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas 72 jam, pemberian asiklovir dikatakan tidak efektif
lagi. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sebab
pemberian asiklovir sebanyak 5 hari dalam sehari. Dengan demikian perlu digunakan alarm
jika diperlukan untuk membangunkan pasien atau mengingatkan pasien untuk mengonsumsi
obat. Asiklovir diberikan selama tujuh hari. 
 Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam mefenamat 3x500 mg sebagai
analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari kemudian kepada dokter,
untuk melihat perbaikan pada pasien. 

DAFTAR PUSTAKA 
1.  Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002;347(5):340–6. 
2.  Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012. 
Jakarta; 2012. 
3.  James WD, Berger T, Elston D. Andrew’s diseases of the skin. Philadelphia: Elsevier 
Saunders; 2011. 
4.  Handoko R. Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ajar Ilmu 
Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;  
5.  Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatol. Gen. Med. 7th ed.  
6.  Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology. 4th ed. New York: Thieme; 
2005.  
8.  Herr H. Prognostic factors of postherpetic neuralgia. J. Korean Med. Sci. 2002
Oct;17(5):655–9.  
9.  Oakes SA. Postherpetic Neuralgia Bacgground Monograph. Med Cases Inc; 2004. 
10.  Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al. 
Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis. Off. Publ.
Infect. Dis. Soc. Am. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S1–26.  
11. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas & synposis of clinical dermatology. 6th ed.
New York: McGraw Hill Medical;  
12.  Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM, editors. Penyakit kulit yang umum di indonesia:
sebuah panduan bergambar. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia;  
13.  Gross G, Schöfer H, Wassilew S, Friese K, Timm A, Guthoff R, et al. Herpes zoster
guideline of the German Dermatology Society (DDG). J. Clin. Virol. Off. Publ. Pan Am.
Soc. Clin. Virol. 2003 Apr;26(3):277–289; discussion 291–293.  
14.  Federal Bureau of Prisons. Management of varicella zoster virus infections [Internet].
[cited 2013 May 6]. Available from: http://www.bop.gov/news/PDFs/varicella.pdf 
15.  Schmader K, Studenski S, MacMillan J, Grufferman S, Cohen HJ. Are stressful life 

events risk factors for herpes zoster? J. Am. Geriatr. Soc. 1990 Nov;38(11):1188–94.  

Komentar :

ada 0 Comment ke “ HERPES ZOSTER ”
dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.