Rabu, 12 Desember 2012

sistem sensorik

I.       Pendahuluan
Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya jika ia tidak tahu adanya bahaya yang mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan jalan melihat, mendengar, mencium, dan merasakan rasa-nyeri, rasa-raba, rasa-panas, rasa-dingin, dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai sistem sensorik. Sistem ini menerima ribuan informasi kecil dari berbagai organ sensoris dan kemudian mengintegrasikan untuk menentukan reaksi yang harus dilakukan tubuh. Sebagian terbesar kegiatan sistem saraf  berasal dari pengalaman sensoris dari reseptor sensoris, baik berupa reseptor visual, reseptor auditorius, reseptor raba di permukaan tubuh, atau jenis reseptor lain. Pengalaman sensoris ini dapat menyebabkan suatu reaksi segera, atau kenangannya dapat disimpan di dalam otak selama bermenit-menit, berminggu-minggu, atau bertahun-tahun dan kemudian dapat membantu menentukan reaksi tubuh di masa yang akan datang.1,2
Sistem sensorik menempatkan manusia berhubungan dengan sekitarnya. Sensasi dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu superfisial, dalam, viseral, dan khusus. Sensasi superfisial, disebut juga perasaan ekteroseptif atau protektif, yang mengurus rasa-raba, rasa-nyeri, rasa-suhu. Sensasi dalam, yang disebut juga sebagai sensasi proprioseptif mencakup rasa gerak (kinetik), rasa sikap (statognesis) dari otot dan persendian, rasa getar (pallesthesia), rasa tekan-dalam, rasa nyeri dalam otot. Sensasi viseral (interoseptif) dihantar melalui serabut otonom aferen dan mencakup rasa lapar dan rasa nyeri pada visera.1
II.    Anatomi dan Fisiologi
Mulai dari reseptor di perifer sampai ke korteks sensorik di otak jalur sensorik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 tingkatan neuron. Impuls (rangsang) berjalan secara sentripetal dari reseptor di perifer ke badan sel neuron tingkat pertama (primer) di ganglion akar dorsal dari saraf spinal. Aksonnya menuju ke sentral, bersinaps degnan neuron tingkat dua (sekunder) di kornu posterior medulla spinalis atau inti homolog di batang otak. Akson neuron sekunder melintas garis tengah dan menuju pada sisi sebelahnya (kontralateral), kemudian naik sebagai jaras spinotalamik atau lemniskus medialis menuju ke sinaps berikutnya di thalamus. Neuron di thalamus, biasanya berupa neuron tingkat tiga (tersier) terletak di kompleks ventrobasal thalamus dan berproyeksi melalui kaki posterior kapsula interna ke korteks sensorik di girus postsentral (area brodmann 3-1-2). Pola dasar ini mengemukakan beberapa hal:1
·         Sistem sensorik menyilang. Informasi sensorik dari separuh badan berproyeksi ke thalamus dan korteks kontralateral.
·         Neuron tingkat pertama berada di ganglion akar dorsal
·         Badan sel neuron tingkat dua berada di kornu posterior medulla spinalis atau di inti homolog di medulla oblongata seperti nucleus grasilis (yang menerima impuls dari tungkai) dan kuneatus (yang menerima impuls dari lengan).
·         Neuron tingkat tiga di thalamus me-relay impuls ke korteks.


III. Reseptor Pada Sistem Sensorik
Reseptor merupakan organ sensorik khusus yang mampu mencatat perubahan tertentu di dalam organism dan sekitarnya, serta menghantarkan rangsangan ini sebagai impuls.4
Pada dasarnya  terdapat lima macam reseptor sensoris, antara lain:
a.       Mekanoreseptor, yang mendeteksi perubahan bentuk reseptor atau sel-sel di dekat reseptor tersebut
b.      Termoreseptor, yang mendeteksi perubahan suhu, beberapa reseptor mendeteksi dingin dan lainnya mendeteksi hangat
c.       Nosiseptor, yang mendeteksi nyeri, biasanya yang disebabkan oleh kerusakan fisik maupun kerusakan kimia
d.      Reseptor elektromagnetik, yang mendeteksi cahaya pada retina mata
e.       Kemoreseptor, yang mendeteksi pengecapan di dalam mulut, bau di dalam hidung, kadar oksigen di dalam darah arteria, osmolalitas cairan tubuh, konsentrasi karbondioksida.1, 2
Eksteroseptor mencakup reseptor yang terlibat terutama pada lingkungan eksternal yaitu: korpuskel (badan) meissner, korpuskel merkel, sel rambut untuk rasa raba; bulbus krauss untuk rasa dingin; korpuskel ruffini untuk rasa panas; dan ujung-ujung saraf bebas untuk rasa nyeri. Banyak hasil penelitian yang mengimplikasikan bahwa sensasi tertentu dihantar oleh ujung tertentu, namun dengan banyak perkecualian. Misalnya, kornea mata di mana hanya ditemukan ujung saraf bebas, namun rasa raba, nyeri, panas dan dingin dapat diapresiasi. Stimulasi yang berlebihan pada tiap ujung sensorik, terlebih bila bersifat melukai akan menginduksi rasa nyeri. Hubungan manusia dengan dunia luar terjadi melalui reseptor sensorik yang dapat berupa:1
·         Reseptor eksteroseptif, yang berespon terhadap stimulus dari lingkungan eksternal, termasuk visual, auditoar, dan taktil.
·         Reseptor propioseptif, misalnya yang menerima informasi mengenai posisi bagian tubuh atau tubuh di ruangan.
·         Reseptor interoseptif, mendeteksi kejadian internal seperti perubahan tekanan darah.
IV. Pemeriksaan Fisik Sistem Sensorik
Pemeriksaan sistem sensori sangat bergantung pada kemampuan dan keinginan pasien untuk bekerja sama. Sensasi dirasakan oleh pasien (sifat subjektif) dan oleh karena itu pemeriksa sangat bergantung pada tingkat kepercayaan kita terhadap pasien. Pemeriksaan ini tidak perlu untuk memeriksa semua wilayah di permukaan kulit. Sebuah pemeriksaan cepat pada wajah, leher, lengan, badan, dan kaki dengan jarum hanya membutuhkan beberapa detik. Biasanya salah satu tujuannya adalah mencari perbedaan antara kedua sisi tubuh. Lebih baik untuk bertanya apakah rangsangan pada sisi berlawanan dari tubuh terasa sama daripada menanyakan apakah terasa berbeda. Pemeriksaan sensorik terdiri dari:
·         Sentuhan ringan
·         Sensasi nyeri
·         Sensasi getaran
·         Propriosepsi
·         Lokalisasi taktil
Pada pasien tanpa tanda atau gejala penyakit neurologis, pemeriksaan fungsi sensorik dapat dilakukan dengan cepat, dengan memeriksa adanya sensasi normal pada ujung jari tangan dan kaki. Pemeriksa dapat memilih apakah ia mau memeriksa sentuhan ringan, nyeri dan sensasi getaran. Jika semuanya normal, pemeriksaan sensorik lainnya tidak diperlukan. Jika ada gejala atau tanda yang menunjukkan gangguan neurologi, harus dilakuka pemeriksaan lengkap.5,6,7
a.       Pemeriksaan Sentuhan Ringan
Sentuhan ringan diperiksa dengan menyentuh pasien secara ringan dengan sepotong kecil kain kasa. Mintalah pasien untuk menutup mata dan memberitahu anda jika anda sedang menyentuhnya. Diusahakan menyentuh jari kaki dan tangan pasien. Jika sensasinya normal, lanjutkan dengna pemeriksaan yang lain. Jika sensasinya abnormal, lakukanlah pemeriksaan di bagian proksimal sampai batas ketinggian gangguan sensorik dapat ditentukan.6
b.      Pemeriksaan Sensasi Nyeri
Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk, memukul, merangsang dengan api atau sesuatu yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia. Sensasi nyeri diperiksa dengan menggunakan peniti dan menanyakan kepada pasien apakah ia merasakannya. Mintalah kepada pasien untuk menutup matanya. Bukalah peniti dan sentuhlah pasien dengan ujungnya. Sebelumnya perlu diberitahukan kepaa pasien bahwa yang diperiksa ialah rasa nyeri dan bukan rasa raba. Kita periksa seluruh tubuh, dan bagian-bagian yang simetris dibandingkan. Bila bagian yang simetris dibandingkan, tusukan harus sama kuat. Bila kita memeriksa sensibilitas pada pasien yang gelisah atau yang agak menurun kesadarannya, maka pemeriksaan rasa tusuk masih dapat dilakukan, sedang yang lainnya perlu ditangguhkan.1,6
c.       Pemeriksaan Sensasi Getar
Sensasi getaran diperiksa dengan menggunakan garpu tala 128 hz. Ketuklah garpu tala dengan tumit tangan anda dan letakkanlah di suatu tonjolan tulang di bagian distal tubuh pasien. Minta pasien untuk memberitahukan anda kalau ia sudah tidak dapat merasakan getaran itu lagi. Minta kepada pasien untuk menutup matanya. Letakkan garpu tala yang sedang bergetar pada falangs distal jari tangan pasien dan jari tangan anda sendiri. Dengan cara ini anda akan dapat mersakan getaran melalui jari pasien untuk menentukan ketepatan respon pasien. Setelah jari tangan periksa juga jari kaki. Jika tidak ada gangguan lakukan pemeriksaan berikutnya. Jika ada gangguan, tentukanlah batas gangguannya.6
d.      Pemeriksaan Propiosepsi
Sensasi posisi, atau propriosepsi, diperiksa dengan menggerakkan falangs distal. Pemeriksa memegang falangs distal pada sisi lateralnya dan menggerakkan ke atas sambil memberitahukan pasien. Pemeriksa kemudian menggerakkan falangs distal pasien ke bawah dan memberitahukannya. Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa menggerakkan falangs distal naik turun dan akhirnya berhenti, setelah itu tanyakan pada pasien apakah falangs distal terletak di atas atau di bawah. Secara rutin lakukanlah pemeriksaan pada falang terminal sebuah jari pada tiap tangan dan falang terminal jari kaki. Jika tidak ada gangguan sensasi posisi, pemeriksa harus melanjutkan sisa pemeriksaan berikutnya.6
e.       Pemeriksaan Lokalisasi Taktil
Lokalisasi taktil, yang dikenal pula sebagai perangsangan simultan ganda, diperiksa dengan meminta pasien menutup matanya sambil menanyakan kepadanya bagian tubuh mana yang disentuh. Pemeriksa dapat menyentuh pasien pada pipi kanannya dan lengan kiri. Pasien kemudian ditanyakan dimana jari pemeriksa berada. Biasanya pasien tidak menemukan kesulitan dalam menentukan kedua daerah ini. Pasien dengan lesi lobus parietalis mungkin merasakan kedua sentuhan ini, tetapi mungkin memadamkan sensasi pada sisi kontralateral dengan sisi lesi. Perasaan ini merupakan fenomena yang disebut ekstingsi.6
V.    Gangguan Sistem Sensorik
·         Gangguan Sensoris Negatif
Gangguan sensorik superfisial atau gangguan eksteroseptif yang negatif merupakan salah satu manifestasi sindrom neurologi. Secara singkat gangguan sensorik negatif itu disebut defisit sensorik. Tergantung pada kedudukan lesi, apakah di saraf perifer, di radiks posterior atau di lintasan sentralnya, daerah permukaan tubuh yang anastetik atau baal dan sebagainya memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan penataan anatomi susunan somestesia.8
Mengenal pola defisit sensorik itu berarti mengetahui lokasi lesi yang mendasarinya. Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik, maka istilah anestesia dan hipestesia digunakan secara bebas sebagai sinonim dari defisit sensorik.8
a.       Hemihipestesia
Hemihipestesia merupakan hipestesia yang dirasakan sesisi tubuh saja. Ditinjau dari sudut patofisiologiknya, maka keadaan itu terjadi karena korteks sensorik primer tidak menerima impuls sensorik dari belahan tubuh kontralateral. Di dalam klinik hemihipestesia merupakan gejala utama atau gejala pengiring penyakit perdarahan serebral. Infark yang menduduki seluruh krus posterior kapsula interna sesisi, mengakibatkan hemiplegia kontralateral yang disertai hemihipestesis kontralateral juga. Pada penyumbatan arteri serebri anterior tidak dijumpai hemihipestesia kontralateral, melainkan hipestesia yang terbatas pada kulit tungkai kontralateral yang lumpuh.8
b.      Hipestesia alternans
Hipestesia alternans merupakan hipestesia pada belahan wajah ipsilateral terhadap lesi yang bergandengan dengan hipestesia pada belahan badan kontralateral terhadap lesi. Lesi yang mendasari pola defisit sensorik itu menduduki kawasan jaras spinotalamik dan traktus spinalis nervi trigemini di medulla oblongata.8
c.       Hipestesia tetraplegik
Hipestesia tetraplegik ialah hipestesia pada seluruh tubuh kecuali kepala dan wajah. Defisit sensorik itu timbul akibat lesi transversal yang memotong medulla spinalis di tingkat servikalis. Jika lesi menduduki segmen medulla spinalis di bawah tingkat T1, maka defisit sensorik yang terjadi dinamakan hipestesia paraplegi. 8
d.      Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)
Hipestesia selangkangan ialah hipestesi pada daerah kulit selangkangan. Lesi yang mengakibatkannya merusak kauda ekuina.8
e.       Hemihipestesia sindrom brown sequard
Hemihipestesia sindrom brown sequard ialah hemihipestesia pada belahan tubuh kontralateral terhadap hemilesi di medulla spinalis.8
f.       Hipestesia radikular atau hipestesia dermatomal
Hipestesia radikular ialah hipestesia yang terjadi akibat lesi di radiks posterior. Dalam hal itu daerah yang hipestetik ialah dermatome yang disarafi oleh serabut-serabut radiks posterior yang terkena lesi. 8
g.      Hipestesia perifer
Hipestesia perifer ialah hipestesia pada kawasan saraf perifer yang biasanya mencakup bagian-bagian beberapa dermatom. 8
·         Gangguan sensorik positif
Gangguan sensorik positif ialah  nyeri. Perangsangan yang menghasilkan nyeri yang bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf pengantar impuls nyeri. Jaringan itu dinamakan secara singkat jaringan peka-nyeri. Jaringan atau bangunan yang tidak dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri bilamana dirangsang, misalnya diskus intervertebral. Jaringan itu tak peka nyeri. 8
Walaupun nyeri pada hakikatnya tidak dapat ditaksirkan dan tidak dapat diukur, namun yang tidak dapat disangkal ialah, bahwa nyeri merupakan perasaan yang tidak nyaman dan menyakitkan. Nyeri akibat ditusuk berbeda dengan nyeri akibat ditekan. Bagaimana seseorang menghayati nyeri tergantung pada jenis jaringan yang dirangsang, lalu pada jenis serta sifat perangsangan, dan tergantung pula pada kondisi mental dan fisiknya. Nyeri dapat langsung dirasakan sebagai hasil perangsangan terhadap kulit, mukosa rongga mulut dan kornea. 8
VI.             Kesimpulan
Sistem sensoris adalah sistem penghantaran rangsangan dari perifer (reseptor) ke pusat (otak). Mulai dari reseptor di perifer sampai ke korteks sensorik di otak jalur sensorik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 tingkatan neuron. . Impuls (rangsang) berjalan secara sentripetal dari reseptor di perifer ke badan sel neuron tingkat pertama (primer) di ganglion akar dorsal dari saraf spinal. Aksonnya menuju ke sentral, bersinaps degnan neuron tingkat dua (sekunder) di kornu posterior medulla spinalis atau inti homolog di batang otak. Akson neuron sekunder melintas garis tengah dan menuju pada sisi sebelahnya (kontralateral), kemudian naik sebagai jaras spinotalamik atau lemniskus medialis menuju ke sinaps berikutnya di thalamus. Neuron di thalamus, biasanya berupa neuron tingkat tiga (tersier) terletak di kompleks ventrobasal thalamus dan berproyeksi melalui kaki posterior kapsula interna ke korteks sensorik di girus postsentral (area brodmann 3-1-2). Pada dasarnya  terdapat lima macam reseptor sensoris, antara lain:

Referat Interna : PPOK


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(PPOK)

A.    PENDAHULUAN
            Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan behubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/ berbahaya. Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1950an dan permulaan tahun 1960an. Masalah yang menyebabkan terhambatmya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah Bronkitis Kronik (masalah dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan Bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial seharusnya dapat digolongkan ke dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke dalam golongan PPOK.1,2,3,4
            Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK bila obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit tadi (bronkitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Pada fase awal, kedua penyakit ini belum dapat digabungkan ke dalam PPOK.3,5
            Patofisiologi terjadinya obstruksi adalah peradangan pada saluran pernapasan kecil. Pada PPOK yang stabil, ciri peradangan yang dominan adalah banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh IL-8. Walaupun jumlah limfosit juga meningkat, namun yang meningkat hanya sel T CD8 helper tipe 1. Berbeda pada asma, yang dominan adalah eosonofi, sel mast, dan sel T CD4 helper tipe 2. Ketika terjadi eksaserbasi akut pada PPOK maka jumlah eosonofil meningkat tiga puluh kali lipat. Perbedaan jenis sel yang menginfilttrasi inilah yang menyebabkan perubahan respon terhadap pengobatan kortikosteroid.3

B.     EPIDEMOLOGI
            Penderita pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, insiden PPOM 1 ½ kali lebih banyak daripada pedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak sering batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua timbul emfisema.9
            Faktor risiko penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi: 1,2
a.         Kebiasaan merokok, merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari factor penyebab yang lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
1. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
b.    Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
c.    Hipereaktiviti bronkus
d.    Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

C.    ANATOMI PULMO
            Pulmo adalah parenkim yang berada bersama-sama dengan bronchus dan percabangan-percabangannya. Dibungkus oleh pleura, mengikuti gerakan dinding thorax pada waktu inspirasi dan expirasi. Bentuknya dipengaruhi oleh organ-organ yang berada disekitarnya. Pulmo terdiri dari pulmo kiri dan pulmo kanan. Pulmo kiri terdiri dari 2 lobus, sedangkan pulmo kanan terdiri dari 3 lobus.7,8
Gambar 1 Anatomi Pulmo.6
 
            Vaskularisasi diperoleh dari cabang-cabang arteria intercostalis, arteria mammaria interna, arteria musculophrenica dan arteria bronchialis. Innervasi dilakukan oleh n.pherenicus, n.intercostalis, N.vagus dan trunchus sympathicus.5
 
D.    PATOFISIOLOGI
            Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan ekserbasi asma oleh karena inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya.  Sesuatu yang dapat memicu serangan ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitism bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastro esopageal dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari mast sel saluran pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengakakan pada sisi luar otot polos saluran pernapasan.10
Gambar 2 Kelainan Paru pada penderita PPOK6
 
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini akan terjadi gagal napas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas.10
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatof cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat  dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula dapat terlihat pada foto thoraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar.10
            Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.10

E.     ETIOLOGI
            Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi PPOK. Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal, dan pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50% disebankan oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai 20% pasien. Meskipun ada data epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang berkaitan dengan peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit, mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Emboli pulmonal juga dapat menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu penelitian terbaru, Emboli Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan eksaserbasi PPOK.11,12,13

F.     KLASIFIKASI
            Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstruction Lung Disease (GOLD) 2006, PPOK dibagi atas 4 derajat yaitu :
Klasifikasi PPOK berdasarkan Global Initiative for Chronic Lung Disease
Derajat
Karakteristik
0 : Beresiko
Spirometri normal
Gejala kronik (batuk, produksi sputum)
1 : Ringan
FEV1/FVC <70%
FEV1 ≥ 80%
Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi sputum)
2 : Sedang
FEV1/ FVC < 70%
FEV1 ≥30%-80%
(IIa) FEV1 ≥50%-80%
(Iib) FEV1 ≥ 30%-50%
Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi sputum, sesak)
3 : Berat
FEV1/FVC <70%
FEV1 <30% atau FEV1 <50% ditambah gejala gagal napas atau gejala gagal jantung kanan10
Tabel 1 . Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD 2006
 

G.    DIAGNOSIS
            Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
          Keluhan, Riwayat penyakit, Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus

1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
-    Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
-    Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
-    Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
-    Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
-    Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
-    Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP (%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
-    VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
-    Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
-    Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
-    Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
     Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
§  Hiperinflasi, Hiperlusen, Ruang retrosternal melebar
§  Diafragma mendatar Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
-    CT - Scan resolusi tinggi
-    Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
-    Scan ventilasi perfusi àMengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.1,2
           
H.    PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Nutrisi
5. Rehabilitasi

1. Edukasi
            Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
            Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
            Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala priority bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
-    Macam obat dan jenisnya
-    Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
-    Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selang waku tertentu atau kalau perlu saja )
-    Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
-    Kapan oksigen harus digunakan
-    Berapa dosisnya
-    Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
-    Batuk atau sesak bertambah
-    Sputum bertambah
-    Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
     Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II :amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III /IV injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
3. Terapi Oksigen
            Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

5. Nutrisi
            Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
            Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
            Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
            Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
            Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan meningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan. Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan. Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat.
Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan control kardiovaskuler.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan
Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan obat
Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.1,2
I.       PROGNOSIS
            Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang memuaskan dan mortalitas pada 2 ½ tahun kurang lebih 50%. Namun di samping survival perlu diketahui pula morbiditas pasien PPOK. Sebagai ilustrasi bahwa Inggris kehilangan 26 juta hari kerja orang/tahun oleh karena PPOK, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 3 ½ juta hari kerja orang/tahun.9

Komentar :

ada 0 Comment ke “ sistem sensorik ”
dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.