Manusia
tidak dapat mempertahankan hidupnya jika ia tidak tahu adanya bahaya
yang mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui
dengan jalan melihat, mendengar, mencium, dan merasakan rasa-nyeri,
rasa-raba, rasa-panas, rasa-dingin, dan sebagainya. Inilah yang disebut
sebagai sistem sensorik. Sistem ini menerima ribuan informasi kecil dari
berbagai organ sensoris dan kemudian mengintegrasikan untuk menentukan
reaksi yang harus dilakukan tubuh. Sebagian terbesar kegiatan sistem
saraf berasal dari pengalaman sensoris dari reseptor
sensoris, baik berupa reseptor visual, reseptor auditorius, reseptor
raba di permukaan tubuh, atau jenis reseptor lain. Pengalaman sensoris
ini dapat menyebabkan suatu reaksi segera, atau kenangannya dapat
disimpan di dalam otak selama bermenit-menit, berminggu-minggu, atau
bertahun-tahun dan kemudian dapat membantu menentukan reaksi tubuh di
masa yang akan datang.1,2
Sistem
sensorik menempatkan manusia berhubungan dengan sekitarnya. Sensasi
dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu superfisial, dalam, viseral, dan
khusus. Sensasi superfisial, disebut juga perasaan ekteroseptif atau
protektif, yang mengurus rasa-raba, rasa-nyeri, rasa-suhu. Sensasi
dalam, yang disebut juga sebagai sensasi proprioseptif mencakup rasa
gerak (kinetik), rasa sikap (statognesis) dari otot dan persendian, rasa
getar (pallesthesia), rasa tekan-dalam, rasa nyeri dalam otot. Sensasi
viseral (interoseptif) dihantar melalui serabut otonom aferen dan
mencakup rasa lapar dan rasa nyeri pada visera.1
II. Anatomi dan Fisiologi
Mulai
dari reseptor di perifer sampai ke korteks sensorik di otak jalur
sensorik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 tingkatan neuron. Impuls
(rangsang) berjalan secara sentripetal dari reseptor di perifer ke badan
sel neuron tingkat pertama (primer) di ganglion akar dorsal dari saraf
spinal. Aksonnya menuju ke sentral, bersinaps degnan neuron tingkat dua
(sekunder) di kornu posterior medulla spinalis atau inti homolog di
batang otak. Akson neuron sekunder melintas garis tengah dan menuju pada
sisi sebelahnya (kontralateral), kemudian naik sebagai jaras
spinotalamik atau lemniskus medialis menuju ke sinaps berikutnya di
thalamus. Neuron di thalamus, biasanya berupa neuron tingkat tiga
(tersier) terletak di kompleks ventrobasal thalamus dan berproyeksi
melalui kaki posterior kapsula interna ke korteks sensorik di girus
postsentral (area brodmann 3-1-2). Pola dasar ini mengemukakan beberapa
hal:1
· Sistem sensorik menyilang. Informasi sensorik dari separuh badan berproyeksi ke thalamus dan korteks kontralateral.
· Neuron tingkat pertama berada di ganglion akar dorsal
· Badan
sel neuron tingkat dua berada di kornu posterior medulla spinalis atau
di inti homolog di medulla oblongata seperti nucleus grasilis (yang
menerima impuls dari tungkai) dan kuneatus (yang menerima impuls dari
lengan).
· Neuron tingkat tiga di thalamus me-relay impuls ke korteks.
III. Reseptor Pada Sistem Sensorik
Reseptor
merupakan organ sensorik khusus yang mampu mencatat perubahan tertentu
di dalam organism dan sekitarnya, serta menghantarkan rangsangan ini
sebagai impuls.4
Pada dasarnya terdapat lima macam reseptor sensoris, antara lain:
a. Mekanoreseptor, yang mendeteksi perubahan bentuk reseptor atau sel-sel di dekat reseptor tersebut
b. Termoreseptor, yang mendeteksi perubahan suhu, beberapa reseptor mendeteksi dingin dan lainnya mendeteksi hangat
c. Nosiseptor, yang mendeteksi nyeri, biasanya yang disebabkan oleh kerusakan fisik maupun kerusakan kimia
d. Reseptor elektromagnetik, yang mendeteksi cahaya pada retina mata
e. Kemoreseptor,
yang mendeteksi pengecapan di dalam mulut, bau di dalam hidung, kadar
oksigen di dalam darah arteria, osmolalitas cairan tubuh, konsentrasi
karbondioksida.1, 2
Eksteroseptor
mencakup reseptor yang terlibat terutama pada lingkungan eksternal
yaitu: korpuskel (badan) meissner, korpuskel merkel, sel rambut untuk
rasa raba; bulbus krauss untuk rasa dingin; korpuskel ruffini untuk rasa
panas; dan ujung-ujung saraf bebas untuk rasa nyeri. Banyak hasil
penelitian yang mengimplikasikan bahwa sensasi tertentu dihantar oleh
ujung tertentu, namun dengan banyak perkecualian. Misalnya, kornea mata
di mana hanya ditemukan ujung saraf bebas, namun rasa raba, nyeri, panas
dan dingin dapat diapresiasi. Stimulasi yang berlebihan pada tiap ujung
sensorik, terlebih bila bersifat melukai akan menginduksi rasa nyeri.
Hubungan manusia dengan dunia luar terjadi melalui reseptor sensorik
yang dapat berupa:1
· Reseptor eksteroseptif, yang berespon terhadap stimulus dari lingkungan eksternal, termasuk visual, auditoar, dan taktil.
· Reseptor propioseptif, misalnya yang menerima informasi mengenai posisi bagian tubuh atau tubuh di ruangan.
· Reseptor interoseptif, mendeteksi kejadian internal seperti perubahan tekanan darah.
IV. Pemeriksaan Fisik Sistem Sensorik
Pemeriksaan
sistem sensori sangat bergantung pada kemampuan dan keinginan pasien
untuk bekerja sama. Sensasi dirasakan oleh pasien (sifat subjektif) dan
oleh karena itu pemeriksa sangat bergantung pada tingkat kepercayaan
kita terhadap pasien. Pemeriksaan ini tidak perlu untuk memeriksa semua wilayah di permukaan kulit. Sebuah pemeriksaan cepat pada wajah, leher, lengan, badan, dan kaki dengan jarum hanya membutuhkan beberapa detik. Biasanya salah satu tujuannya adalah mencari perbedaan antara kedua sisi tubuh. Lebih baik untuk bertanya apakah rangsangan pada sisi berlawanan dari tubuh terasa sama daripada menanyakan apakah terasa berbeda. Pemeriksaan sensorik terdiri dari:
· Sentuhan ringan
· Sensasi nyeri
· Sensasi getaran
· Propriosepsi
· Lokalisasi taktil
Pada
pasien tanpa tanda atau gejala penyakit neurologis, pemeriksaan fungsi
sensorik dapat dilakukan dengan cepat, dengan memeriksa adanya sensasi
normal pada ujung jari tangan dan kaki. Pemeriksa dapat memilih apakah
ia mau memeriksa sentuhan ringan, nyeri dan sensasi getaran. Jika
semuanya normal, pemeriksaan sensorik lainnya tidak diperlukan. Jika ada
gejala atau tanda yang menunjukkan gangguan neurologi, harus dilakuka
pemeriksaan lengkap.5,6,7
a. Pemeriksaan Sentuhan Ringan
Sentuhan
ringan diperiksa dengan menyentuh pasien secara ringan dengan sepotong
kecil kain kasa. Mintalah pasien untuk menutup mata dan memberitahu anda
jika anda sedang menyentuhnya. Diusahakan menyentuh jari kaki dan
tangan pasien. Jika sensasinya normal, lanjutkan dengna pemeriksaan yang
lain. Jika sensasinya abnormal, lakukanlah pemeriksaan di bagian
proksimal sampai batas ketinggian gangguan sensorik dapat ditentukan.6
b. Pemeriksaan Sensasi Nyeri
Rasa
nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk,
memukul, merangsang dengan api atau sesuatu yang sangat dingin dan juga
dengan berbagai larutan kimia. Sensasi nyeri diperiksa dengan
menggunakan peniti dan menanyakan kepada pasien apakah ia merasakannya.
Mintalah kepada pasien untuk menutup matanya. Bukalah peniti dan
sentuhlah pasien dengan ujungnya. Sebelumnya perlu diberitahukan kepaa
pasien bahwa yang diperiksa ialah rasa nyeri dan bukan rasa raba. Kita
periksa seluruh tubuh, dan bagian-bagian yang simetris dibandingkan.
Bila bagian yang simetris dibandingkan, tusukan harus sama kuat. Bila
kita memeriksa sensibilitas pada pasien yang gelisah atau yang agak
menurun kesadarannya, maka pemeriksaan rasa tusuk masih dapat dilakukan,
sedang yang lainnya perlu ditangguhkan.1,6
c. Pemeriksaan Sensasi Getar
Sensasi
getaran diperiksa dengan menggunakan garpu tala 128 hz. Ketuklah garpu
tala dengan tumit tangan anda dan letakkanlah di suatu tonjolan tulang
di bagian distal tubuh pasien. Minta pasien untuk memberitahukan anda
kalau ia sudah tidak dapat merasakan getaran itu lagi. Minta kepada
pasien untuk menutup matanya. Letakkan garpu tala yang sedang bergetar
pada falangs distal jari tangan pasien dan jari tangan anda sendiri.
Dengan cara ini anda akan dapat mersakan getaran melalui jari pasien
untuk menentukan ketepatan respon pasien. Setelah jari tangan periksa
juga jari kaki. Jika tidak ada gangguan lakukan pemeriksaan berikutnya.
Jika ada gangguan, tentukanlah batas gangguannya.6
d. Pemeriksaan Propiosepsi
Sensasi
posisi, atau propriosepsi, diperiksa dengan menggerakkan falangs
distal. Pemeriksa memegang falangs distal pada sisi lateralnya dan
menggerakkan ke atas sambil memberitahukan pasien. Pemeriksa kemudian
menggerakkan falangs distal pasien ke bawah dan memberitahukannya.
Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa menggerakkan falangs distal naik
turun dan akhirnya berhenti, setelah itu tanyakan pada pasien apakah
falangs distal terletak di atas atau di bawah. Secara rutin lakukanlah
pemeriksaan pada falang terminal sebuah jari pada tiap tangan dan falang
terminal jari kaki. Jika tidak ada gangguan sensasi posisi, pemeriksa
harus melanjutkan sisa pemeriksaan berikutnya.6
e. Pemeriksaan Lokalisasi Taktil
Lokalisasi
taktil, yang dikenal pula sebagai perangsangan simultan ganda,
diperiksa dengan meminta pasien menutup matanya sambil menanyakan
kepadanya bagian tubuh mana yang disentuh. Pemeriksa dapat menyentuh
pasien pada pipi kanannya dan lengan kiri. Pasien kemudian ditanyakan
dimana jari pemeriksa berada. Biasanya pasien tidak menemukan kesulitan
dalam menentukan kedua daerah ini. Pasien dengan lesi lobus parietalis
mungkin merasakan kedua sentuhan ini, tetapi mungkin memadamkan sensasi
pada sisi kontralateral dengan sisi lesi. Perasaan ini merupakan
fenomena yang disebut ekstingsi.6
V. Gangguan Sistem Sensorik
· Gangguan Sensoris Negatif
Gangguan
sensorik superfisial atau gangguan eksteroseptif yang negatif merupakan
salah satu manifestasi sindrom neurologi. Secara singkat gangguan
sensorik negatif itu disebut defisit sensorik. Tergantung pada kedudukan
lesi, apakah di saraf perifer, di radiks posterior atau di lintasan
sentralnya, daerah permukaan tubuh yang anastetik atau baal dan
sebagainya memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan penataan anatomi
susunan somestesia.8
Mengenal
pola defisit sensorik itu berarti mengetahui lokasi lesi yang
mendasarinya. Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik, maka
istilah anestesia dan hipestesia digunakan secara bebas sebagai sinonim
dari defisit sensorik.8
a. Hemihipestesia
Hemihipestesia
merupakan hipestesia yang dirasakan sesisi tubuh saja. Ditinjau dari
sudut patofisiologiknya, maka keadaan itu terjadi karena korteks
sensorik primer tidak menerima impuls sensorik dari belahan tubuh
kontralateral. Di dalam klinik hemihipestesia merupakan gejala utama
atau gejala pengiring penyakit perdarahan serebral. Infark yang
menduduki seluruh krus posterior kapsula interna sesisi, mengakibatkan
hemiplegia kontralateral yang disertai hemihipestesis kontralateral
juga. Pada penyumbatan arteri serebri anterior tidak dijumpai
hemihipestesia kontralateral, melainkan hipestesia yang terbatas pada
kulit tungkai kontralateral yang lumpuh.8
b. Hipestesia alternans
Hipestesia
alternans merupakan hipestesia pada belahan wajah ipsilateral terhadap
lesi yang bergandengan dengan hipestesia pada belahan badan
kontralateral terhadap lesi. Lesi yang mendasari pola defisit sensorik
itu menduduki kawasan jaras spinotalamik dan traktus spinalis nervi
trigemini di medulla oblongata.8
c. Hipestesia tetraplegik
Hipestesia
tetraplegik ialah hipestesia pada seluruh tubuh kecuali kepala dan
wajah. Defisit sensorik itu timbul akibat lesi transversal yang memotong
medulla spinalis di tingkat servikalis. Jika lesi menduduki segmen
medulla spinalis di bawah tingkat T1, maka defisit sensorik yang terjadi
dinamakan hipestesia paraplegi. 8
d. Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)
Hipestesia selangkangan ialah hipestesi pada daerah kulit selangkangan. Lesi yang mengakibatkannya merusak kauda ekuina.8
e. Hemihipestesia sindrom brown sequard
Hemihipestesia
sindrom brown sequard ialah hemihipestesia pada belahan tubuh
kontralateral terhadap hemilesi di medulla spinalis.8
f. Hipestesia radikular atau hipestesia dermatomal
Hipestesia
radikular ialah hipestesia yang terjadi akibat lesi di radiks
posterior. Dalam hal itu daerah yang hipestetik ialah dermatome yang
disarafi oleh serabut-serabut radiks posterior yang terkena lesi. 8
g. Hipestesia perifer
Hipestesia perifer ialah hipestesia pada kawasan saraf perifer yang biasanya mencakup bagian-bagian beberapa dermatom. 8
· Gangguan sensorik positif
Gangguan sensorik positif ialah nyeri.
Perangsangan yang menghasilkan nyeri yang bersifat destruktif terhadap
jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf pengantar impuls nyeri.
Jaringan itu dinamakan secara singkat jaringan peka-nyeri. Jaringan atau
bangunan yang tidak dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan
nyeri bilamana dirangsang, misalnya diskus intervertebral. Jaringan itu
tak peka nyeri. 8
Walaupun
nyeri pada hakikatnya tidak dapat ditaksirkan dan tidak dapat diukur,
namun yang tidak dapat disangkal ialah, bahwa nyeri merupakan perasaan
yang tidak nyaman dan menyakitkan. Nyeri akibat ditusuk berbeda dengan
nyeri akibat ditekan. Bagaimana seseorang menghayati nyeri tergantung
pada jenis jaringan yang dirangsang, lalu pada jenis serta sifat
perangsangan, dan tergantung pula pada kondisi mental dan fisiknya.
Nyeri dapat langsung dirasakan sebagai hasil perangsangan terhadap
kulit, mukosa rongga mulut dan kornea. 8
VI. Kesimpulan
Sistem
sensoris adalah sistem penghantaran rangsangan dari perifer (reseptor)
ke pusat (otak). Mulai dari reseptor di perifer sampai ke korteks
sensorik di otak jalur sensorik sekurang-kurangnya terdiri dari 3
tingkatan neuron. . Impuls (rangsang) berjalan secara sentripetal dari
reseptor di perifer ke badan sel neuron tingkat pertama (primer) di
ganglion akar dorsal dari saraf spinal. Aksonnya menuju ke sentral,
bersinaps degnan neuron tingkat dua (sekunder) di kornu posterior
medulla spinalis atau inti homolog di batang otak. Akson neuron sekunder
melintas garis tengah dan menuju pada sisi sebelahnya (kontralateral),
kemudian naik sebagai jaras spinotalamik atau lemniskus medialis menuju
ke sinaps berikutnya di thalamus. Neuron di thalamus, biasanya berupa
neuron tingkat tiga (tersier) terletak di kompleks ventrobasal thalamus
dan berproyeksi melalui kaki posterior kapsula interna ke korteks
sensorik di girus postsentral (area brodmann 3-1-2). Pada dasarnya terdapat lima macam reseptor sensoris, antara lain:
Referat Interna : PPOK
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(PPOK)
A. PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah
penyakit paru yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran
napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini
bersifat progresif dan behubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/ berbahaya. Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah
ini mulai dikenal pada akhir 1950an dan permulaan tahun 1960an. Masalah
yang menyebabkan terhambatmya arus udara tersebut bisa terletak pada
saluran pernapasan maupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang
dimasksud adalah Bronkitis Kronik (masalah dalam saluran pernapasan),
emfisema (masalah dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang menambahkan ke
dalam kelompok ini yaitu Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan
Bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial seharusnya dapat
digolongkan ke dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada
kenyataannya tidak dimasukkan ke dalam golongan PPOK.1,2,3,4
Suatu
kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK
bila obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif.
Kedua penyakit tadi (bronkitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan
ke dalam kelompok PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut dan
obstruksinya bersifat progresif. Pada fase awal, kedua penyakit ini
belum dapat digabungkan ke dalam PPOK.3,5
Patofisiologi
terjadinya obstruksi adalah peradangan pada saluran pernapasan kecil.
Pada PPOK yang stabil, ciri peradangan yang dominan adalah banyaknya sel
neutrofilik yang ditarik oleh IL-8. Walaupun jumlah limfosit juga
meningkat, namun yang meningkat hanya sel T CD8 helper tipe 1. Berbeda
pada asma, yang dominan adalah eosonofi, sel mast, dan sel T CD4 helper
tipe 2. Ketika terjadi eksaserbasi akut pada PPOK maka jumlah eosonofil
meningkat tiga puluh kali lipat. Perbedaan jenis sel yang
menginfilttrasi inilah yang menyebabkan perubahan respon terhadap
pengobatan kortikosteroid.3
B. EPIDEMOLOGI
Penderita
pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat
dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan,
insiden PPOM 1 ½ kali lebih banyak daripada pedesaan. Bila seseorang
pada saat anak-anak sering batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada
masa tua timbul emfisema.9
Faktor
risiko penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah hal-hal yang berhubungan
dan atau yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya PPOK pada
seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi: 1,2
a. Kebiasaan merokok, merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari factor penyebab yang lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
1. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
2. Derajat
berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun
:
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
c. Hipereaktiviti bronkus
d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
C. ANATOMI PULMO
Pulmo
adalah parenkim yang berada bersama-sama dengan bronchus dan
percabangan-percabangannya. Dibungkus oleh pleura, mengikuti gerakan
dinding thorax pada waktu inspirasi dan expirasi. Bentuknya dipengaruhi
oleh organ-organ yang berada disekitarnya. Pulmo terdiri dari pulmo kiri
dan pulmo kanan. Pulmo kiri terdiri dari 2 lobus, sedangkan pulmo kanan
terdiri dari 3 lobus.7,8
|
Vaskularisasi diperoleh dari cabang-cabang arteria intercostalis, arteria mammaria interna, arteria musculophrenica dan arteria bronchialis. Innervasi dilakukan oleh n.pherenicus, n.intercostalis, N.vagus dan trunchus sympathicus.5
D. PATOFISIOLOGI
Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan ekserbasi asma oleh karena inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu
yang dapat memicu serangan ini sangat bervariasi antara satu individu
dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen,
polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca,
makanan, obat atau ekspresi yang berlebihan. Faktor lain yang
kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitism
bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastro esopageal dan
kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini
bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya
bronkokonstriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari
mast sel saluran pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya
histamin, prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi otot
polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan
juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat
hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus
asma akut mekanisme yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari
kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang
bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran
udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas
dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan
kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengakakan
pada sisi luar otot polos saluran pernapasan.10
|
Penyempitan
saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh
inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos
bronkioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap
resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi
dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi
saluran pernapasan ini akan terjadi gagal napas yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi pertukaran
gas dan kelelahan otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan
sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas.10
Obstruksi
aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut.
Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi
dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume).
Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatof cukup
berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk
mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan
terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai
dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume
cadangan. Fenomena ini dapat pula dapat terlihat pada foto thoraks, yang
memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang
mendatar.10
Hiperinflasi
dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot
pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular.
Hiperinflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.10
E. ETIOLOGI
Infeksi
saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi PPOK.
Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi
nonpulmonal, dan pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa setidaknya 80 % dari PPOK
eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50% disebankan
oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal.
Infeksi bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya
terjadi dalam 10 sampai 20% pasien. Meskipun ada data epidemiologis
menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang berkaitan dengan peningkatan
ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit, mekanisme
yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Emboli pulmonal juga dapat
menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu penelitian terbaru,
Emboli Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan
eksaserbasi PPOK.11,12,13
F. KLASIFIKASI
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstruction Lung Disease (GOLD) 2006, PPOK dibagi atas 4 derajat yaitu :
Klasifikasi PPOK berdasarkan Global Initiative for Chronic Lung Disease
| |
Derajat
|
Karakteristik
|
0 : Beresiko
|
Spirometri normal
Gejala kronik (batuk, produksi sputum)
|
1 : Ringan
|
FEV1/FVC <70%
FEV1 ≥ 80%
Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi sputum)
|
2 : Sedang
|
FEV1/ FVC < 70%
FEV1 ≥30%-80%
(IIa) FEV1 ≥50%-80%
(Iib) FEV1 ≥ 30%-50%
Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi sputum, sesak)
|
3 : Berat
|
FEV1/FVC <70%
FEV1 <30% atau FEV1 <50% ditambah gejala gagal napas atau gejala gagal jantung kanan10
|
|
G. DIAGNOSIS
Gejala
dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan
jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Keluhan, Riwayat penyakit, Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat
faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi
udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing
Pursed - lips breathing
Adalah
sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Blue bloater
Gambaran
khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
-
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP
(%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) <
75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah
pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
§ Hiperinflasi, Hiperlusen, Ruang retrosternal melebar
§ Diafragma mendatar Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai
perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison
atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada
PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi àMengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan
bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut
pada penderita PPOK di Indonesia.1,2
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Nutrisi
5. Rehabilitasi
1. Edukasi
Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK
adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti
dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada
pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi
PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan
di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif
edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang
tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian
aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan
dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi
ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala priority bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selang waku tertentu atau kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi
diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi
sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan.
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan
secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat (slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan
pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk
inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi
kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan
obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi
sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan
kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan
bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan
minimal 250 mg
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II :amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III /IV injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
d. Antioksidan
Dapat
mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya
diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
3. Terapi Oksigen
Pada
PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang
sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
-
Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
5. Nutrisi
Malnutrisi
sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi
malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi
malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan
CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan
antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu
nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi
nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan
ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi
terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.Gangguan
keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya
fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan
ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan
ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi
dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang
lebih sering.
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan
program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai:
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program
dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis
dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu :
latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan. Ditujukan untuk
memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan
fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan meningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Endurance exercise
Latihan
untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan. Latihan ini diprogramkan
bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot pernapasannya
sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk
melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita
yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan
ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa
dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu
bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila
ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot
pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi
dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang
diutamakan. Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan
jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi
latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja
maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan
merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan
dari toleransi terhadap asam laktat.
Sesak
napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ
menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan
otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan
faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya
aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot
skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan
kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti
enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan control kardiovaskuler.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan
Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan obat
Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna
memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.
Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot
ekstrimiti.1,2
I. PROGNOSIS
Bila
sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang memuaskan dan
mortalitas pada 2 ½ tahun kurang lebih 50%. Namun di samping survival
perlu diketahui pula morbiditas pasien PPOK. Sebagai ilustrasi bahwa
Inggris kehilangan 26 juta hari kerja orang/tahun oleh karena PPOK,
sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 3 ½ juta hari kerja
orang/tahun.9
Komentar :
Posting Komentar