Rabu, 26 Desember 2012

Kehamilan Ektopik Terganggu ( KET )

1.Definisi

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim Sedangkan yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba (Wibowo, 2007). Pembagian menurut lokasi:
a. Kehamilan ektopik tuba: pars interstisialis, isthmus, ampulla, infundibulum, fimbria.
b.Kehamilan ektopik uterus: kanalis servikalis, divertikulum, kornu, tanduk rudimenter.
c.Kehamilan ektopik ovarium:
d.Kehamilan ektopik intraligamenter
e.Kehamilan ektopik abdominal
f.Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus
Kehamilan ektopik yang paling banyak terjadi adalah di tuba, hal ini disebabkan oleh adanya hambatan perjalanan ovum yang telah dibuahi ke kavum uteri, hal ini dapat disebabkan karena :
a.Adanya sikatrik pada tuba
b.Kelainan bawaan pada tuba
c.Gangguan fisiologis pada tuba karena pengaruh hormonal ((Prawirohardjo, 2005).

2.Epidemiologi
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Lebih dari 60% kehamilan ektopik terjadi pada wanita 20-30 tahun dengan sosio-ekonomi rendah dan tinggal didaerah dengan prevalensi gonore dan prevalensi tuberkulosa yang tinggi (Wibowo, 2007).

3.Etiologi

Semua faktor yang menghambat migrasi embrio ke kavum uteri menyebabkan seorang ibu semakin rentan untuk menderita kehamilan ektopik, yaitu :
a.Faktor dalam lumen tuba:
-Endosalpingitis, menyebabkan terjadinya penyempitan lumen tuba
-Hipoplasia uteri, dengan lumen tuba menyempit dan berkelok-kelok
-Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna
b.Faktor pada dinding tuba:
-Endometriosis, sehingga memudahkan terjadinya implantasi di tuba
-Divertikel tuba kongenital, menyebabkan retensi ovum.
c.Faktor di luar dinding tuba:
-Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba
-Tumor yang menekan dinding tuba
- Pelvic Inflammatory Disease (PID)
d.Faktor lain:
-Hamil saat berusia lebih dari 35 tahun
-Fertilisasi in vitro
-Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
-Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
-Infertilitas
-Mioma uteri
-Hidrosalping (Rachimhadhi, 2005).

4.Patofisiologi
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar.
Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella.
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah:
1) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi,
2) abortus ke dalam lumen tuba, dan
3) ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa.
Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan.
Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen (Rachimhadhi, 2005).

5. Manifestasi klinis
Trias gejala dan tanda dari kehamilan ektopik adalah riwayat keterlambatan haid atau amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal (60-80%), nyeri abdominal atau pelvik (95%). Biasanya kehamilan ektopik baru dapat ditegakkan pada usia kehamilan 6 – 8 minggu saat timbulnya gejala tersebut di atas. Gejala lain yang muncul biasanya sama seperti gejala pada kehamilan muda, seperti mual, rasa penuh pada payudara, lemah, nyeri bahu, dan dispareunia. Selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan pelvic tenderness, pembesaran uterus dan massa adneksa. (Saifiddin, 2002; Cunningham et al, 2005).

6.Diagnosis
a.Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum.
b.Pemeriksaan fisik
i.Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa.
ii.Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.
iii. Pemeriksaan ginekologis
Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri.
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+).
Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.
ii. USG : - Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri
- Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri
- Adanya massa komplek di rongga panggul
iii. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah.
iv. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
v. Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus (Mansjoer, dkk, 2001).
7. Diagnosis banding
a. Infeksi pelvik
b. Abortus iminens atau insipiens
c. Torsi kista ovarium
d. Ruptur korpus luteum
e. Appendisitis akut (Wibowo, 2007; Cunningham et al, 2005).

8. Penatalaksanaan
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 2 pilihan, yaitu penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
a. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Tindakan konservativ medik dilakukan dengan pemberian methotrexate. Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: 1) keadaan hemodinamik yang stabil dan tidak ada tanda robekan dari tuba, 2) tidak ada aktivitas jantung janin, 3) diagnosis ditegakkan tanpa memerlukan laparaskopi, 4) diameter massa ektopik < 3,5 cm, 5) kadar tertinggi β-hCG < 15.000mIU/ ml, 6) harus ada informed consent dan mampu mengikuti follow up, serta 7) tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate..
b. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.
i. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.
ii. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.


iii. Salpingektomi
Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
iv. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan (Chalik, 2004).

9.Prognosis

a.Bagi kehamilan berikutnya
Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit radang panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang lain.
b.Bagi ibu
Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose (Moechtar, 1998).

DAFTAR PUSTAKA


1. Chalik, TMA. 2004. Kehamilan Ektopik. Dalam: Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi I. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
2. Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF. 2005. Kehamilan Ektopik. Dalam: Obstetri William. Edisi XVIII. Jakarta: EGC.
3. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. 2001. Kehamilan Ektopik. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius.
4. Moechtar R. 1998. Kelainan Letak Kehamilan (Kehamialan Ektopik). Dalam: Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC.
5. Prawirohardjo S. 2005. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Dalam: Ilmu Kandungan. Edisi II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
6. Rachimhadhi T. 2005. Kehamilan Ektopik. Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi I. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
7. Saifiddin AB. 2002. Kehamilan Ektopik Terganngu. Dalam: Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi I. Editor: Affandi B, Waspodo B. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
8. Wibowo B. 2007. Kehamilan Ektopik. Dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Komentar :

ada 0 Comment ke “ Kehamilan Ektopik Terganggu ( KET ) ”
dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.