Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. 
            Pada
 beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut 
bilirubin yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata 
berubah warna menjadi kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus. 
Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa 
bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa 
menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik 
dan dapat merusak otak.
            Bayi
 baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja 
mengalami kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan 
menghadapi masalah ini. Bila timbul ikterus, dapat diterapi dengan 
fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan transfusi 
tukar (exchange transfusion).
            Beberapa
 tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, 
tidur yang berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui 
sangat kurang, serta kelemahan umum.
            Pada
 kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, 
terlebih bila bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat 
sehingga menjadikan prognosis kern ikterus buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KERN IKTERUS
2.1. Definisi
Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak1, 2, 3, 6.
2.2. Insidensi
Dengan
 menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) 
yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih 
dari 20 mg/dL, akan mengalami kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi 
prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi 
klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi 
penyakit2, 7, 9.
Di
 Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi 
hiperbilirubinemia berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus.
Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu:
-          Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter. 
-          Banyaknya
 bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar 
bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), 
ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu 
kemudian.
-          Dokter
 yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya 
kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada 
kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk 
memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka.  
-          Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin yang belum selesai5, 6,8,10.
2.3. Klasifikasi
Stadium 1
            Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang.
Stadium 2
            Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.
Stadium 3
            Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
Stadium 4
            Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata ke atas, displasia mental1.
2.4. Etiologi
            Penyebab
 kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggio 
yang dapat mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak. 
            Kadar bilirubin yang tinggi merupakan kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh:
Ikterus fisiologis:
-          Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar.
-          Defek pengambilan bilirubin plasma.
-          Defek konjugasi bilirubin.
-          Ekskresi bilirubin menurun.
Ikterus patologis:
-          Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati.
-          Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom.
-          Polisitemia.
-          Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik,  dan penyakit hirschprung.
-          Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi aliran empedu1,2,3.
2.5. Patogenesis
            Patogenesis
 kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara 
kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar 
bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan 
kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak 
dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak.
            Pada
 setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek 
atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat
 toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada
 bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu
 bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI,
 kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, 
meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam 
minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu 
ke-2 bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk 
menimbulkan pengaruh toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur
 lebih rentan terhadap kern ikterus.
            Resiko
 pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi 
dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang   mengurangi
 retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan 
bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan kompetitif 
obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan 
sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau 
hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas 
sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau 
kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, 
prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi2. 
            Permukaan
 otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah 
tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, 
terutama pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius 
yang berdekatan, korpus striata, talamus, globus palidus, putamen, 
klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah 
yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif 
dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang 
lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim 
oksidatif  pada berbagai daerah otak  dan
 bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti
 yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen 
oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; 
jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel
 otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa 
hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik kern ikterus
 mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama2, 9, 10.
2.6. Kriteria Diagnosis                             
            Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Tanda-tanda
 dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir 
pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, 
tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama 
masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak 
dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan 
intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. 
Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda
 awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak 
berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan 
pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan 
tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat 
menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan 
pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta 
tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut2.
            Banyak
 bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang 
bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat 
sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, 
pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak 
teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan 
kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak 
disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah 
secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang 
lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, 
tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara 
disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus 
dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, 
hipotonia, atau ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya
 ringan sindrom ini hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi 
neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau “disfungsi 
otak minimal” yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin 
tidak tampak sampai anak masuk sekolah2,4,5, 7.
2.7. Diagnosis Banding
2.7.1.Sepsis
Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia. 
      Kriteria
 diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak 
tidak sehat, tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, 
pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf Pusat, hematologik dan kulit. 
Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia 
absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive 
Protein.  
2.7.2. Asfiksia
            Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif, akumulasi CO2, dan asidosis.
2.7.3. Hipoglikemia
            Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, mempunyai kadar glukosa darah <>  
            Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding.   
2.8. Pemeriksaan Penunjang
-          Pemeriksaan kadar bilirubin.
Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi. 
-          Pemeriksaan fungsi otak: EEG
Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.
2.9. Pengobatan 
2.9.1. Transfusi Tukar
Jika
 ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi 
jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada 
kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan.
            Pengobatan
 yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering
 yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam 
serum di bawah kadar yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang 
dapat mengubah kriteria ini ke arah yang sebaliknya, namun bergantung 
pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan
 kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada 
kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan 
ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin 
sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit, sedangkan bayi 
prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang 
sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi 
dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari
 ketika kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari 
ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7 pada bayi prematur, 
ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme 
konjugasi hati menjadi lebih efektif2. 

Teknik transfusi tukar:
§  Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat.
§  Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana magna.
§  Gunakan darah segar dari donor darah (<>
§  Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau mengandung heparin.
§  Transfusi ganti diberikan biasanya 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B           (diharapkan
 dapat menggantikan darah bayi 87 %). Setiap kali menukar/mengambildan 
memasukkan darah sebesar 10-20 ml (tergantung toleransi bayi.
§  Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya: asfiksia dan hipoglikemia)
§  Bayi-bayi
 yang disertai anemia (HT<35 style="">partial exchange dengan PRC 
(25-80 ml/kg BB) sampai HT naik menjadi 40 %. Bila keadan sudah stabil, 
lakukan transfusi  untuk mengatasi hiperbilirubinemia.   
§  Jika mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg BB.
§  Pembantu mencatat volume darah yang ditukar, mengobservasi tanda vital bayi dan bisa melakukan resusitasi.
§  Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena.
§  Donor darah harus dihangatkan pada suhu 27-37oC.
§  Setiap 100 ml darah dikocok.
§  Alat steril.
§  Darah segar dipasang dengan infus set. Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan kateter v.umbilikalis.
§  Minimalisir efek samping dan tiap tahapan berlangsung 3-5 menit.
§  Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis, bisa dilakukan di v. Safena magna.
§  Kateter jangan terbuka terhadap udara.
§  Dengan
 jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium
 pratransfusi; Hb, urea N, elektrolit, kalsium, gula, SGOT,SGPT, 
osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur.
§  Masukkan darah segar 20 ml perlahan, dilakukan sampai selesai.
§   Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti diberi 1 ml kalsium glukonas 10%.
§  Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi untuk pemeriksaan pasca transfusi.
§  Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh diberi minum.   
Transfusi
 dihentikan bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, 
asidosis, hipoglikemia, gangguan pembekuan, dan perforasi pembuluh 
darah.
Komplikasi
 transfusi tukar; gangguan vaskular, kelainan jantung, gangguan 
elektrolit, koagulasi, infeksi, hipotermia, dan hipoglikemia.
2.9.2. Fisioterapi
Untuk bayi yang sudah mengalami cacat akibat kadar bilirubin terlalu 
tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki 
kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi 
intelek (kognitif). Dengan cara ini diharapkan kemampuan si anak 
sebisanya mendekati normal.
2.10. Prognosis
Tanda-tanda
 neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau 
lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup 
menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining pendengaran2.
2.11. Pencegahan
-          Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.
-          Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi, transfusi tukar. 
Bayi
 dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, 
bahkan dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate
 yang dalam ujicoba terbukti dapat memblokade produksi bilirubin 
sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat ini masih 
terus dikembangkan4. 
Tanpa
 memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang 
memungkinkan terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan
 jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan 
kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang 
ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup 
bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas 
bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan 
resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum
 mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin 
memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka 
fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah 
kadar yang diindikasi untuk transfusi darah. Bila teridentifikasi, 
penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya antibiotik untuk 
septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko cedera 
neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2.
Fototerapi
 biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. 
Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil 
mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern 
ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda 
kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin 
berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan2.
                  
-          Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit.
-          Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit.
-          Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus5.
Tabel 1. 
Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.
| 
Berat Badan Lahir (gram) | 
Tidak Ada Komplikasi 
(g/dL) | 
Ada Komplikasi* 
(g/dL)   | 
| 
<> 
1000-1250 
1251-1499 
1500-1999 
2000-2500 | 
12-13 
12-14 
14-16 
16-20 
20-22 | 
10-12 
10-12 
12-14 
15-17 
18-20 | 
*Komplikasi
 meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, 
hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau 
tanda-tanda kern ikterus.
Tabel 2.
Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang sehat tanpa hemolisis.
| 
Umur 
(Jam) | 
Fototerapi 
(g/dL)   | 
Fototerapi & Persiapan   Transfusi Tukar* 
(g/dL) | 
Transfusi Tukar Jika Fototerapi   Gagal 
(g/dL) | 
| 
<> 
24-48 
49-72 
> 72 
> 2 minggu | 
** 
15-18 
18-20 
20 
*** | 
** 
25 
30 
30 
*** | 
** 
20 
25 
25 
*** | 
*
 Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif
 harus dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika 
fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang 
tercatat pada kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar.
** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat.
***
 Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2
 minggu dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan 
pemberian terapi maka harus diamati secara rinci, karena ikterus ini 
paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia 
biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.    
BAB III
KESIMPULAN
            Kern
 ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh 
tingginya kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, 
ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. 
            Kern ikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik. Penanganan ikterus harus  mengikutsertakan
 semua aspek secara menyeluruh , mulai dari peran orang tua, tenaga 
medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya kern 
ikterus serta rehabilitasi pasca kern ikterus.  
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
- Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New Yorkl. 17th edition. Saunders. 596-598.
- Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-103
- http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
- http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus.htm
- http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
- http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0603/21/hikmah/konsultasi.htm
- http://adam.about.com/surgery/100018.htm#
- http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
- http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299
 
 
Komentar :
Posting Komentar