Kamis, 18 September 2014

HERPES ZOSTER


BAB I
PENDAHULUAN 
 Herpes zoster merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus, yaitu
reaktivasi virus varisela zoster. Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia, di mana
lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20
tahun.1. Meingkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon imun
dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIVAIDS, pasien dengan keganasan,dan pasien yang mendapat obat imunosupresi.Namun, insidensinya pada pasien imunokompeten pun besar.

 Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life-threatening, namun dapat
menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat
timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat
menggangu kualitas hidup pasien – suatu keadaan yang disebut dengan postherpetic
neuralgia. Prevalensi herpes zoster di Indonesia diprediksi kecil, yakni hanya mencakup 1%. 
 Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa herpes zoster merupakan
daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh dokter. Kompetensi herpes zoster tanpa
komplikasi bagi dokter umum adalah 4A, yang berarti level kompetensi tertinggi yang perlu
dicapai oleh dokter umum, di mana dokter dapat mengenali tanda klinis, mendiagnosis,
menatalaksana hingga tuntas kecuali pada perjalanannya timbul komplikasi.
2
 Berkaca dari hal tersebut, presentasi kasus ini dimaksudkan untuk menambah
pemahaman klinis mahasiswa tentang penyakit herpes zoster tanpa komplikasi, mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga penatalaksanaan. Setelah pemaparan kasus
ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki informasi yang semakin kaya tentang herpes zoster
sehingga dalam pelayanan primer di masa yang akan datang kompetensi yang disyaratkan
dalam SKDI dapat sepenuhnya tercapai. 
   
TINJAUAN PUSTAKA 
Definisi 
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster 
laten dari saraf pusat dorsal atau kranial.  Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua
infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes
zoster.  Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang
berkontak dengan virus varicella zoster.  Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi,
menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles.  Pada
usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada
usia lebih tua.

3.Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam 
ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau
ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten.  Varicella zoster merupakan virus rantai ganda
DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau neurodermatotropik. 
Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan,
penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang
sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik.
Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan motorik.

3,4


Gambar 2 – Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com)

Gambaran Klinis 
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa. 
Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu
sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal).  Setelah itu
akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang
edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat
menjadi pustul dan krusta.  Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. 
Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.
4

Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap
timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu.  Selain gejala 
kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar.  Penyakit ini lokalisasinya 
unilateral dan dermatomal sesuai persarafan.  Saraf yang paling sering terkena adalah nervus
trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2.  Jika terkena saraf tepi jarang timbul
kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat
struktur anatomisnya.  Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.
Dermatom 
Gambar 3 – Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick) 
4,5
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. 
Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. 
Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal
yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal
sepanjang anggota badan. 
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis.  Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi
herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada
dermatom tertentu.
6

Gambar 4 – Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus

Komplikasi 
Postherpetic neuralgia 
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering 
terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak saraf
trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic neuralgia 

6

didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa.  Rasa nyeri akan menetap
setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat penyembuhan yang tidak
baik pada penderita usia lanjut.  Nyeri ini merupakan nyeri neuropatik yang dapat
berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes zoster menghilang.

Gambar 5 – Jaras sensorik nyeri (Sumber: Fitzpatrick) 

Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul oleh 
karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami lebih dari
3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster.  Penyebab paling umum timbulnya peningkatan
virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya
imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma, kemoterapi atau
radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan setelah operasi
transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi
faktor risiko.
8,9

Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari 
setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya
ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi
setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).
9

Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes 
zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh 
replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama masa 
laten.  Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris
yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal, serabut 
4,7


saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami
kerusakan terparah.  Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien
merasa nyeri yang hebat.

Herpes Zoster Oftalmikus 
5,8

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga
manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang kedua dan ketiga.  Jika
cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi hidung
(Hutchinson’s sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat.  Vesikel pada margo
palpebra juga harus diperhatikan.  Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah uveitis dan
keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan 
nekrosis retina akut.
4,5


Gambar 6 – Gambaran klinis herpes zoster oftalmikus (Sumber: Fitzpatrick) 
Diagnosis 
 Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.
 Komponen
utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala prodromal berupa nyeri, (2)
distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus
ditemukan papul, (4) beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat
nervus sensorik, (5) tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan 
5

herpes simpleks zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus
yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.
10

 Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren,
dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi
pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks. 
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta,
imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif
karena membutuhkan waktu 1-2 minggu.
1,10


Gambar 7 – Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant multinuklear;
sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau mengindikasikan terdapatnya 
Diagnosis Banding
4

antigen virus varisela zoster
1

1. Herpes simpleks (bersinonim dengan cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
gladiatorium, scrum pox, herpes genitalis)
11

Penyebabnya satu golongan (famili Herpesviridae). Umumnya infeksi awal HHV
asimptomatik kecuali pada virus golongan VZV yang simptomatik berupa varicella.
HHV akan laten di neuron atau sel limfoid, mengalami reaktivasi jika sisstem imun
tidak adekuat. Infeksi herpes simpleks umumnya melalui kontak langsung kulit dan 

mukosa, jarang yang menyebar melalui aerosol. Untuk herpes simpleks sendiri (HSV),
bentuknya pada umumnya atipik berbentuk plakat eritematosa, maupun erosi kecil. 
Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa vesikel
serta limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise,
dan mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4 hari
kemudian.  
Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering ditemukan di
wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering bermanifestasi
sebagai gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung ditransmisikan
secara seksual. Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi pada HSV zosteriform
yang pada umumnya jarang terjadi. 
2. Angina pektoris atau penyakit reumatik, bila nyeri sebagai gejala prodrormal terdapat
di daerah setinggi jantung 
Tatalaksana 
 Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko
komplikasi.
1,5
 Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik
golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg per
hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari.
12
 Kemudian untuk infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotik.
4
 Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk pasien berikut
1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus).
Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan
menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya 
2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun 
3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan
pemberian antiviral intravena 
4. Pasien yag imunokompromais  seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca
transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga
seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps; dan 
13

5. Pasien dengan dermatitis atopik berat  
 Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti
valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada tiga
hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini belum
diketahui.
13
 Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan selama 7-10
hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Pilihan
antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau pensiklovir 3 x
250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari asiklovir.
 Obat
diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi baru tidak timbul
lagi.
4

 Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau 
phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat diberikan 
antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan basah dapat
dilakukan kompres terbuka.
4,12

 Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi
infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih
sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder.
Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi
gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian
dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non-adherent.
14

 Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi
atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut
14
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam 
hari; 
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg
per hari; 
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau
antidepresan trisiklik saja; 
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat
menimbulkan sensasi terbakar; dan 
4,10

5. Lidocaine patch 5% jangka pendek. 
 Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis dari
nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan tapering
off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral untuk
mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas.  Namun perlu diingat
kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes mellitus.
14
 Pada komplikasi
seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan.  

BAB IV
PEMBAHASAN 
  Seorang wanita berusia 55 datang ke dokter dengan keluhan nyeri yang timbul
secara mendadak di kaki kiri sejak tiga hari yang lalu. Pada kulit muncul pula lenting-lenting
yang berkelompok dan tersebar hanya di tungkai bawah kiri, serta kaki kiri bagian dalam.
Tidak terdapat lokasi lain timbulnya kelainan kulit yang serupa. Dengan timbulnya lesi
seperti ini, perlu dipikirkan terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan lenting
disertai dengan nyeri yang cukup hebat (dengan VAS 6/10). Dengan melihat lesi, tampak
pada regio plantar tungkai bawah sinistra dan kaki sinistra bagian medial, terdapat vesikel
multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal, dengan ukuran lentikular, terletak di
atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak
dengan permukaan yang licin.  
 Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul gejala
kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan. Pada pasien ditanyakan
pula apakah terdapat kelemahan pada tungkai tersebut, namun pasien menyangkal kelemahan
motorik. Pasien hanya mengatakan bahwa saat digunakan untuk berjalan kaki terasa sakit,
bukan lemas. Dengan demikian keterlibatan elemen motorik pada persarafan ini tidak ada.
Lesi yang timbul jug akhas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar berupa kulit yang
eritematosa (kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit maupun gejala subjektif berupa
nyeri sangat menyokong ke arah herpes zoster, mengingat penyakit ini memiliki perjalanan
berupa masa tunas 7-12 hari, dengan timbulnya lesi dalam 1 minggu berikutnya, kemudian
masa penyembuhan sendiri selama 1-2 minggu berikutnya. Pada pasien ini, keterlibatan
dermatomal yang terlibat adalah L4 hingga L5. 
 Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal 
berupa demam disangkal, namun pasien mengeluhkan timbulnya nyeri pada kedua otot paha
yang terjadi kurang lebih bersamaan dengan timbulnya lesi pada kulit. Mialgia yang terjadi
dapat merupakan gejala prodromal dari reaktivasi herpes zoster. Gejala prodromal lainnya
berupa pusing dan malaise disangkal oleh pasien. 
 Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi 
reaktivasi. Pada literatur
11
 dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu reaktivasi, namun 
herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun, seperti yang ditemui pada
seorang berusia di atas 50 tahun. Penelitian oleh Schmader, et.al
15
 mengungkapkan bahwa 

herpes zoster sering terjadi pada orang yang baru-baru ini mengalami stressful recent events.
Pada pasien dalam anamnesis mengatakan bahwa belakangan ini pasien cukup stres akibat
cucu yang sakit dan sering membantu tetangga pasien menyiapakan acara pasien. Selain itu
makan pasien dalam beberapa waktu terakhir juga tidak teratur. Kesemua faktor ini diduga
dapat menjadi pemicu reaktivasi herpes zoster. 
 Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang bermanifestasi
sebagai varicella zoster (cacar air). Pada pasien ditemukan riwayat cacar air pada saat berusia
sekolah di SD. Dengan demikian jelaslah bahwa infeksi primer pada pasien ini telah terjadi. 
 Pasien kemudian diberikan pengobatan, berupa edukasi dan medikamentosa. Lenting
yang timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien juga
dianjurkan mengurangi sementara aktivitas fisik sebab saat ini pasien sedang mengalami 
nyeri dan tingginya aktivitas fisik dapat meningkatkan gesekan maupun trauma pada kaki 
yang dapat menjadi penyebab pecahnya lenting. Pada riwayat saat ini pasien tinggal dengan
suami, namun seringkali cucu pasien datang ke rumah untuk menginap. Pasien perlu
diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah mengalami cacar air, dapat terjadi
penyebaran virus VZV ke pejamu lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang lain.
Dengan demikian dalam fase ini sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak ataupun
orang yang belum pernah mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau berdekatan
dengan pasien. 
 Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 5 x 800 mg. Terapi dapat
diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang pada pasien ini
masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas 72 jam, pemberian asiklovir dikatakan tidak efektif
lagi. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sebab
pemberian asiklovir sebanyak 5 hari dalam sehari. Dengan demikian perlu digunakan alarm
jika diperlukan untuk membangunkan pasien atau mengingatkan pasien untuk mengonsumsi
obat. Asiklovir diberikan selama tujuh hari. 
 Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam mefenamat 3x500 mg sebagai
analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari kemudian kepada dokter,
untuk melihat perbaikan pada pasien. 

DAFTAR PUSTAKA 
1.  Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002;347(5):340–6. 
2.  Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012. 
Jakarta; 2012. 
3.  James WD, Berger T, Elston D. Andrew’s diseases of the skin. Philadelphia: Elsevier 
Saunders; 2011. 
4.  Handoko R. Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ajar Ilmu 
Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;  
5.  Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatol. Gen. Med. 7th ed.  
6.  Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology. 4th ed. New York: Thieme; 
2005.  
8.  Herr H. Prognostic factors of postherpetic neuralgia. J. Korean Med. Sci. 2002
Oct;17(5):655–9.  
9.  Oakes SA. Postherpetic Neuralgia Bacgground Monograph. Med Cases Inc; 2004. 
10.  Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al. 
Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis. Off. Publ.
Infect. Dis. Soc. Am. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S1–26.  
11. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas & synposis of clinical dermatology. 6th ed.
New York: McGraw Hill Medical;  
12.  Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM, editors. Penyakit kulit yang umum di indonesia:
sebuah panduan bergambar. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia;  
13.  Gross G, Schöfer H, Wassilew S, Friese K, Timm A, Guthoff R, et al. Herpes zoster
guideline of the German Dermatology Society (DDG). J. Clin. Virol. Off. Publ. Pan Am.
Soc. Clin. Virol. 2003 Apr;26(3):277–289; discussion 291–293.  
14.  Federal Bureau of Prisons. Management of varicella zoster virus infections [Internet].
[cited 2013 May 6]. Available from: http://www.bop.gov/news/PDFs/varicella.pdf 
15.  Schmader K, Studenski S, MacMillan J, Grufferman S, Cohen HJ. Are stressful life 

events risk factors for herpes zoster? J. Am. Geriatr. Soc. 1990 Nov;38(11):1188–94.  

BIDURAN (KALITAGA)

PENDAHULUAN
Biduran merupakan penyakit kulit yang sering di jumpai dan merupakan hal biasa terjadi. Biduran atau kaligata atau urtikaria dalam istilah kedokterannya merupakan kelainan kulit yang ditandai dengan bentol-bentol kemerahan, sangat gatal, sering disertai rasa tertusuk dan panas.
Biduran bisa datang tanpa permisi dan tak kenal waktu, dapat terjadi di bagian tubuh mana saja dengan bentuk dan ukuran yang beraneka ragam. Karena gatalnya terkadang seseorang yang mengalami biduran sering menggaruk sehingga bentol-bentol tersebut menjadi makin meluas.
Biduran bisa berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa hari. Umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan bekas, namun biduran bisa saja menjadi penyakit serius bila bersamaan dengan angioedema (urtikaria yang mengenai lapisan bawah kulit dan mukosa), karena jika terkena saluran nafas bisa menyebabkan sulit bernafas sehingga menyebabkan kematian. Sekitar 40% penderita urtikaria kronis akan menderita angioedema.
Sekitar 10-25% orang pernah mengalami biduran, paling tidak sekali dalam hidupnya. Biduran akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumnya laki-laki lebih sering dari perempuan. Sedangkan biduran kronik lebih sering pada wanita usia pertengahan (60%). Orang-orang dengan riwayat atopi, akan lebih mudah terkena biduran.
Survey dari 
National
 Ambulatory Medical Care USA, dari 1990 - 1997 di temukan wanita 69% dari semua pasien urtikaria yang datang berobat. Distribusi usia paling sering adalah 0-9 tahun dan 30-40 tahun. Kejadian urtikaria pada populasi umumnya 1-5 %.

MEKANISME TERJADINYA BIDURAN
Biduran terjadi ketika seseorang terkena sesuatu yang bisa memicu, kemudian beberapa sel di dalam tubuhnya melepas histamin dan zat-zat lain. Hal ini menyebabkan bocornya cairan dari pembuluh darah kecil di bawah kulit. Cairan ini akan membentuk bentolan ketika berkumpul di bawah kulit, yang lazim disebut biduran.
PENYEBAB
Dasar penyebabnya adalah atopi. Atopi adalah suatu keadaan atau kelainan alergi yang sifatnya diturunkan dari dalam satu keluarga dengan manifestasi penyakit seperti biduran, radang kulit berulang, timbulnya pada tempat tertentu dengan tanda khas sesuai umur (dermatitis atopi), asma, sering pilek , bersin sampai hidung tersumbat dan biasanya terdapat pula tanda lain berupa lingkaran gelap di mata, kulit kering dan wajah agak pucat.
Dari hasil penelitian, ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Ketidakpastian penyebab timbulnya urtikaria disebabkan faktor yang berpengaruh sangat banyak dan sulit dipastikan.
Diduga penyebab biduran antara lain sebagai berikut :
  1. Obat-obatan : antibiotik (penicillin, sulfa, tetrasiklin), penghilang rasa sakit, aspirin, obat hormonal, pil kontrasepsi)
  2. Makanan, seperti udang, ikan, putih telur, kerang, kacang, coklat, susu, tomat, arbei, keju, bawang, semangka, tartrazine (pada minuman atau permen berwarna jingga atau kuning), natrium benzoate yang di gunakan secara luas sebagai bahan pengawet dan penyedap rasa.
  3. Bahan yang sering kontak dengan tubuh (sabun cair, hand and body lotion)
  4. Gigitan atau sengatan serangga (nyamuk, lebah dan lainnya)
  5. Inhalan seperti serbuk sari bunga, spora jamur, debu, bulu binatang dan aerosol
  6. Kontak dengan kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuhan, buah-buahan
  7. Kosmetik
  8. Faktor fisik seperti udara dingin, panas, cahaya matahari, getaran, gesekan atau tekanan (goresan, pakaian ketat, semprotan air, ikat pinggang)
  9. Infeksi virus, bakteri, jamur dan parasit
  10. Lingkungan yang kotor (debu rumah)
  11. Psikis : stres emosional atau gelisah
  12. Penyakit sistemik (limfoma, hipertiroid, lupus eritematosus dan keganasan)
  13. Gangguan hormonal (kehamilan, menstruasi)
  14. dll.
KLASIFIKASI
Berdasarkan lamanya, biduran (urtikaria) dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronik. Urtikaria akut, bila kelainan kulit terjadi selama 6 minggu atau berlangsung selama 4 minggu namun timbul setiap hari. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis. Sedangkan urtikaria kronik terjadi lebih dari 6 minggu lamanya.
Berdasarkan morfologinya, maka urtikaria dibedakan menjadi urtikaria papular, gutata (sebesar ukuran tetesan air), dan girata (ukuran besar-besar).
Berdasarkan dalam dan luasnya urtikaria, maka urtikaria dibedakan menjadi urtikaria lokal, generalisata dan angioedema. Dan berdasarkan penyebabnya maka urtikaria dibedakan menjadi urtikaria imunologik, non-imunologik dan idiopatik.
GEJALA :
  1. Timbulnya ruam (bercak kemerahan) disertai penonjolan (bentol) di permukaan kulit yang berbatas tegas dengan ukuran berbeda-beda dan terasa sangat gatal, terbakar dan menusuk
  2. Timbul secara tiba-tiba, memutih atau memudar bila di tekan dan jika di garuk akan timbul bentolan baru.
  3. Bentolan membesar lalu menyebar atau bergabung satu sama lain membentuk bentolan yang lebih besar
  4. Bentuknya berubah - ubah , hilang timbul dalam beberapa menit atau jam
  5. Terdapat di bagian tubuh manapun
  6. Bisa menyebabkan bengkak pada kelopak mata (bisa satu mata atau keduanya), bibir membengkak, daun telinga menebal.
  7. Adakalanya disertai perut mulas serta rasa demam
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membuktikan penyebab urtikaria :
  1. Pemeriksaan darah, air seni dan tinja rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada organ dalam
  2. Pemeriksaan imunologis seperti pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
  3. Test kulit, walaupun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis. Uji gores dan uji tusuk dapat dipergunakan untuk mencari alergen.
  4. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu per satu.
PENANGANAN :
Penanganan biduran, yang paling ideal adalah menghindari penyebab atau faktor pencetus agar tidak terjadi atau meminimalisir terjadinya biduran. Cara menemukan faktor pencetus adalah dengan mencatat obat, makanan atau bahan yang ketika di konsumsi atau di gunakan menyebabkan timbulnya biduran.
Usahakan jangan digaruk. Karena jika digaruk maka maka bahan aktif histamin akan makin banyak keluar dan yang terjadi justru bagian yang digaruk semakin gatal.
Namun jika telah terjadi biduran, maka dokter akan memberikan pengobatan dengan :
  1. Anti histamine (sangat bermanfaat) karena dapat mengontrol gejala bagi sebagian besar kasus, namun tidak dapat menghilangkan penyebabnya
  2. Kortikosteroid akan diberikan bila pengobatan dengan anti histamin saja tidak cukup, obat ini dapat mengurangi bengkak, kemerahan dan gatal, namun hanya diminum dalam jangka waktu sebentar saja karena mempunyai efek samping yang cukup serius.
  3. Pengobatan lokal berupa bedak atau lotion yang mengandung menthol
  4. Pada kasus biduran yang berat dan angioedema dapat diberikan suntikan adrenalin (epinephrine)
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis urtikaria adalah baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat. Urtikaria yang akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi. Urtikaria yang kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit di cari. Namun pada urtikaria yang disertai angioedema dapat saja terjadi penyumbatan jalan nafas yang dapat mengancam jiwa.
PENCEGAHAN
Untuk mencegah terulangnya biduran, usahakan mencari penyebab alergi dan perhatikan bahan apa saja yang baru disentuh, dimakan, atau diisap ketika mulai terserang biduran. Jika penyebabnya adalah makanan, maka hindari makanan tersebut, jika penyebabnya adalah udara dingin, maka kenakan pakaian tebal dan hangat yang bisa menutupi seluruh tubuh, jika perlu kenakan sarung tangan dan kaos kaki.
Hindari alergen yang diketahui. Termasuk beberapa makanan dan penyedap makanan, obat-obatan dan beberapa situasi seperti panas, dingin atau stress emosional
Hindari pengobatan yang dapat mencetuskan urtikaria seperti antibiotik golongan penisilin, aspirin dan lainnya.
Prepared by : dr Novie Hediyani, MKK
REFERENSI :
  1. http://www.lintas.me/go/klinikkesehatan.com/mengenali-dan-menangani-urtikaria-atau-biduran-klinik-kesehatan/1/
  2. http://intisari-online.com/read/mengatasi-biduran-dengan-air-kelapa-hijau
  3. http://adproindonesia.multiply.com/journal/item/156
  4. http://bankresep.com/sehat/penyebab-kaligata-cara-mengobati/
  5. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/11/04/129032/Udara-Bisa-Sebabkan-Biduran-
  6. http://milissehat.web.id/?p=404
  7. http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/urtikaria.pdf
  8. http://pharos.co.id/news-a-media/53-beritakesehatan/302-kaligata.html
  9. http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/01/09/biduran-giduan-urtikaria-bukan-sekedar-alergi-makanan-biasa/
  10. http://www.duniamedik.com/335/pengobatan-dan-pencegahan-pada-penyakit-urtikaria.html#more-335
  11. http://www.scribd.com/doc/47533268/Urtikaria

HERPES SIMPLEK

HERPES SIMPLEX – INFEKSI VIRUS HERPES ANOGENITAL


(Penyakit virus alphaherpes, herpesvirus hominis, virus herpes pada manusia 1 dan 2)
  1. 1. Identifikasi
Herpes simpleks merupakan infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir, laten dan adanya kecendurangan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus – yaitu virus herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis yang berbeda, tergantung pada jalan masuknya. Dapat menyerang alat-alat genital atau mukosa mulut. Infeksi primer dengan HSV 1 mungkin ringan tanpa gejala, terjadi pada awal masa kanak-kanak. 272 Kira-kira 10% dari infeksi primer, muncul sebagai suatu penyakit dengan spektrum gejala klinis yang beragam, ditandai dengan panas dan malaise sampai 1 minggu atau lebih, mungkin disertai dengan gingivostomatitis yang berat diikuti dengan lesi vesikuler pada orofaring, keratoconjunctivitis berat, dan disertai munculnya gejala dan komplikasi kulit menyerupai eczema kronis, meningoencephalitis atau beberapa infeksi fatal yang terjadi pada bayi baru lahir (congenital herpes simplex, ICD-9 771.2; ICD-10 P35.2). HSV 1 sebagai penyebab sekitar 2% faringotonsilitis akut, biasanya sebagai infeksi primer.
Reaktivasi infeksi laten biasanya menyebabkan herpes labialis (demam blister atau cold sores) ditandai dengan munculnya vesikula superfisial yang jelas dengan dasar erythematous, biasanya pada muka atau bibir, mengelupas dan akan sembuh dalam beberapa hari. Reaktivasi dipercepat oleh berbagai macam trauma, demam, perubahan psikologis atau penyakit kambuhan dan mungkin juga menyerang jaringan tubuh yang lain; hal ini terjadi karena adanya circulating antibodies, dan antibodi ini jarang sekali meningkat oleh karena reaktivasi. Penyebaran infeksi yang luas dan mungkin terjadi pada orang-orang dengan immunosuppressed.
Dapat menyerang SSP bisa disebabkan oleh infeksi primer ataupun karena terjadi recrudescence. HSV 1 adalah penyebab utama dari meningoencephalitis. Dapat timbul gejala panas, sakit kepala, leukositosis, iritasi selaput otak, drowsiness, bingung, stupor, koma dan tanda-tanda neurologis fokal, dan sering dikaitkan dengan satu atau wilayah temporal lain. Gejala-gejala ini mungkin dikacaukan dengan berbagai lesi intracranial lain seperti absespada otak dan meningitis TB. Karena terapi antiviral dapat menurunkan angka kematian yang tinggi, maka pemeriksaan PCR untuk DNA virus herpes pada LCS atau biopsi dari jaringan otak seharusnya segera dilakukan pada tersangka untuk menegakkan diagnosa pasti.
Genital herpes, biasanya disebabkan oleh HSV2 terjadi terutama pada orang dewasa dan penderita penyakit menular seksual. Infeksi pertama dan infeksi ulang terjadi dengan atau tanpa gejala. Pada wanita cervix dan vulva. Infeksi ulang umumnya menyerang vulva, kulit daerah perineum, kaki dan pantat. Pada laki-laki, lesi muncul pada glans penis atau daerah preputium, dan pada anus dan rectum pada orang yang melakukan anal seks. Daerah lain yang terkena selain alat kelamin dan daerah perineal, antara lain adalah mulut, terjadi pada kedua jenis kelamin, tergantung dari kebiasaan hubungan seksual yang dilakukan oleh orang tersebut. Infeksi oleh HSV 2 lebih sering menyebabkan meningitis aseptik dan radikulitis daripada meningoencephalitis.
Infeksi neonatal dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala klinis yaitu: infeksi yang menyebar dan umumnya menyerang hati, encephalitis dan infeksi yang terbatas pada kulit, mata dan mulut. Bentuk pertama dan kedua sering menyebabkan kematian. Infeksi umumnya disebabkan oleh HSV 2 tetapi infeksi yang disebabkan oleh HSV1 juga sering terjadi. Risiko terjadinya infeksi pada anak-anak tergantung kepada 2 faktor utama pada ibu; yaitu usia kehamilan pad saat ibu hamil tersebut mengeluarkan HSV dan tergantung juga kepada apakah infeksi yang dialami infeksi sekunder atau infeksi primer. Hanya ekskresi yang mengandung HSV yang dikeluarkan saat persalinan yang berbahaya bagi bayi yang baru lahir dengan pengecualian walaupun jarang infeksi intrauterine dapat terjadi. Infeksi primer pada ibu dapat meningkatkan risiko infeksi pada bayi dari 3% menjadi 30% diperkirakan karena imunitas pada ibu dapat memberikan perlindungan.Diagnosa ditegakkan berdasarkan terjadinya perubahan sitologis yang khas (multinucleated giant cell dengan intranuclear inclusion pada kerokan jaringan atau biopsi), tetapi harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan FA secara langsung atau dengan isolasi virus dari lesi mulut atau lesi alat kelamin atau dari biopsi otak pada kasus-kasus encephalitis atau dengan ditemukannya DNA HSV pada lesi atau cairan LCS dengan PCR. Diagnosis pada infeksi primer dipastikan dengan adanya kenaikan 4 kali pada titer paired sera dengan berbagai macam tes serologis; adanya imunoglobulin spesifik IgM untuk herpes mengarah pada suspek tetapi antibodi konklusif terhadap infeksi primer. Teknik-teknik yang dapat diandalkan untuk membedakan antibodi tipe 1 dan tipe 2 saat ini tersedia diberbagai laboratorium diagnostik; isolat virus dapat dibedakan dari yang lain dengan analisis DNA. Tes serologis yang spesifik belum tersedia secara luas.
  1. 2. Penyebab Infeksi
Penyebab infeksi adalah Virus herpes simpleks termasuk dalam famili herpesviridae, subfamili alphaherpesvirinae. HSV tipe 1 dan tipe 2 dapat dibedakan secara imunologis (terutama kalau digunakan antibody spesifik atau antibody monoclonal). Dan HSV tipe 1 dan tipe 2 juga berbeda kalau dilihat dari pola pertumbuhan dari virus tersebut pada kultur sel, embryo telur dan pada binatang percobaan.
  1. 3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia. Hamapir 50%-90% orang dewasa memiliki antibodi terhadap HSV 1. Infeksi awal HSV 1 biasanya terjadi sebelum usia 5 tahun, namun saat ini banyak infeksi primer ditemukan terjadi pada orang dewasa. Infeksi HSV 2 biasanya dimulai karena aktivitas seksual dan jarang terjadi sebelum menginjak dewasa, kecuali kalau terjadi sexual abused pada anak-anak. Antibodi HSV 2 ditemukan sekitar 20%-30% pada orang Amerika dewasa. Prevalensi antibodi HSV 2 meningkat (lebih dari 60%) pada kelompok sosial ekonomi rendah dan pada orang-orang yang berganti-ganti pasangan.
  1. 4. Reservoir
– Manusia berperan sebagai reservoir.
  1. 5. Cara-cara Penularan
Kontak dengan virus HSV 1 pada saliva dari carrier mungkin cara yang paling penting dalam penyebaran penyakit ini. Infeksi dapat terjadi melalui perantaraan petugas pelayanan kesehatan (seperti dokter gigi) yaitu dari pasien HSV mengakibatkan lesi herpes bernanah (herpetic whitlow). Penularan HSV2 biasanya melalui hubungan seksual. Kedua tipe baik tipe 1 dan tipe 2 mungkin ditularkan keberbagai lokasi dalam tubuh melalui kontak oral-genital, oral-anal, atau anal-genital. Penularan kepada neonatas biasanya terjadi melalui jalan lahir yang terinfeksi, jarang terjadi didalam uterus atau postpartum.
  1. 6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berlangsung dari 2 sampai dengan 12 hari.
  1. 7. Masa Penularan
HSV dapat diisolasi dalam 2 minggu dan kadang-kadang lebih dari 7 minggu setelah muncul stomatitis primer atau muncul lesi genital primer. Keduanya, yaitu baik infeksi primer maupun infeksi ulang mungkin terjadi tanpa gejala. Setelah itu, HSV mungkin 274 ditemukan secara intermittent pada mukosal selama bertahun-tahun dan bahkan mungkin seumur hidup, dengan atau tanpa gejala klinis. Pada lesi yang berulang, infektivitis lebih pendek dibandingkan infeksi primer dan biasanya virus tidak bisa ditemukan lagi setelah 5 hari.
  1. 8. Kerentanan dan Kekebalan
Manusia pada umumnya rentan.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
1). Berikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat dan tentang kebersihan perorangan yang bertujuan untuk mengurangi perpindahan bahan-bahan infeksius.
2). Mencegah kontaminasi kulit dengan penderita eksim melalui bahan-bahan infeksius.
3). Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan pada saat berhubungan langsung dengan lesi yang berpotensi untuk menular.
4). Disarankan untuk melakukan operasi Cesar sebelum ketuban pecah pada ibu dengan infeksi herpes genital primer yang terjadi pada kehamilan trimester akhir, karena risiko yang tinggi terjadinya infeksi neonatal (30-50%). Penggunaan elektrida pada kepala merupakan kontra indikasi. Risiko dari infeksi neonatal yang fatal setelah infeksi berulang lebih rendah (3-5%) dan operasi Cesar disarankan hanya jika terjadi lesi aktif pada saat persalinan.
5). Menggunakan kondom lateks saat melakukan hubungan seksual mengurangi risiko infeksi; belum ada 
anti virus
 yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi primer meskipun acyclovir mungkin dapat digunakan untuk pencegahan untuk menurunkan insidensi kekambuhan, dan untuk mencegah infeksi herpes pada pasien dengan defisiensi imunitas.
B. Pengawasan penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan kepada Instansi kesehatan setempat; laporan resmi penderita dewasa biasanya tidak diwajibkan, tetapi beberapa negara bagian mengharuskan laporan untuk herpes genital, kelas 5; infeksi neonatal di beberapa negara bagian wajib dilaporkan, kelas 3 B (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Lakukan isolasi kontak terhadap infeksi neonatal dan terhadao lesi yang menyebar atau lesi primer yang berat; untuk lesi yang berulang, perlu dilakukan kewaspadaan terhadap discharge dn sekret. Pasien dengan lesi herpetic dilarang berhubungan dengan bayi baru lahir, anak-anak dengan eksim atau anak dengan luka bakar atau pasien dengan immunosuppresed.
3) Disinfeksi serentak: tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada.
6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: Jarang dilakukan karena tidak praktis.
7) Pengobatan spesifik: Gejala akut dari herpetic keratitis dan stadium awal dendritic ulcers diobati dengan trifluridin atau adenine arabisonide (vidarabine, via-A® atau Ara-A®) dalam bentuk ophthalmic ointment atau solution. Corticosteroid jangan digunakan untuk herpes mata kecuali dilakukan oleh seorang ahli mata yang 275 sangat berpengalaman. Acyclovir IV sangat bermanfaat untuk mengobati herpes simpleks encephalitis tetapi mungkin tidak dapat mencegah terjadinya gejala sisa neurologis. Acyclovir (zovirax®) digunakan secara oral, intravena atau topical untuk mengurangi menyebarnya virus, mengurangi rasa sakit dan mempercepat waktu penyembuhan pada infeksi genital primer dan infeksi herpes berulang, rectal herpes dan herpeticwhitrow (lesi pada sudut mulut bernanah). Preparat oral paling nyaman digunakan dan mungkin sangat bermanfaat bagi pasien dengan infeksi ekstensif berulang. Namun, telah dilaporkan adanya mutasi strain virus herpes yang resosten terhadap acyclovir. Valacyclovir dan famciclovir baru-baru ini diberi lisensi untuk beredar sebagai pasangan acyclovir dengan efikasi yang sama. Pemberian profilaksis harian obat tersebut dapat menurunkan frekuensi infeksi HSV berulang pada orang dewasa. Infeksi neonatal seharusnya diobati dengan acyclovir intravena.

FLU SINGAPURA (HFMD)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejak beberapa tahun lalu muncul beberapa penyakit yang  menimbulkan jumlah kematian yang cukup besar. Salah satu penyakit yang menyebabkan kegemparan diseluruh dunia adalah penyakit yang berasal dari virus influenza termutasi. Influenza virus mempunyai RNA (Ribo Nucleic Acid) sebagai material genetiknya. Virus ini cepat sekali bermutasi karena tidak memiliki enzim yang bisa memperbaiki jika seandainya ada kesalahan dalam pembacaan material genetik dalam tubuhnya. Kemampuan influenza virus untuk selalu bermutasi inilah yang menyebabkan vaksin influenza tidak bisa hanya diterima 1 kali seumur hidup tapi harus diberikan setiap tahun, karena setiap tahun vaksin harus dibuat dengan menyesuaikan material genetik dari virus yang sedang mewabah tahun itu.
Influenza virus dibagi menjadi 3 tipe, A, B dan C. Influenza virus tipe A dan B-lah yang biasanya bertanggung jawab menyebabkan wabah flu setiap tahun (seasonal influenza), sedangkan tipe C biasanya hanya menyebabkan gejala flu ringan dan jarang menyebabkan wabah. Influenza virus tipe A merupakan penyebab utama pandemik yang belakangan ini merebak.
Saat ini penyakit flu yang sedang mewabah diantaranya flu babi dan flu Singapura. Sudah sewajarnya jika kita berusaha mencari informasi lebih lanjut tentang penyakit tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 FLU SINGAPURA
2.1.1 DESKRIPSI
Flu Singapore sebenarnya adalah penyakit yang di dunia kedokteran dikenal sebagai Hand, Foot, and Mouth Disease (HFMD) atau dalam bahasa Indonesia disebut Penyakit Tangan, Kaki, dan Mulut (PTKM). Penyakit ini sesungguhnya sudah lama ada di dunia. Berdasarkan laporan yang ada, penyakit ini sudah ada di tahun 1957 di Toronto, Kanada. Sejak itu terdapat banyak kejadian di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri sebenarnya penyakit ini bukan penyakit baru. Istilah Flu Singapore muncul karena saat itu terjadi ledakan kasus dan kematian akibat penyakit ini di Singapura. Karena gejalanya mirip flu, dan saat itu terjadi di Singapura (dan kemudian juga terjadi di Indonesia), banyak media cetak yang membuat istilah flu Singapore, walaupun ini bukan  erminology yang baku.
Hand-Foot-Mouth disease adalah penyakit anak-anak yang umum terjadi. Gejalanya berupa luka pada mulut, demam, dan rash. Biasanya disebabkan oleh coxsackievirus A16. Akan tetapi tidak semua anak-anak yang terinfeksi virus ini  menunjukkan ketiga gejala Hand-Foot-Mouth disease ini. HFMD sering keliru dengan penyakit Foot-and-Mouth disease (Hoof-and-Mouth disease) yang terjadi pada lembu, domba, dan babi; padahal keduanya merupakan dua macam penyakit yang berbeda dan tidak berhubungan, keduanya disebabkan oleh virus yang berbeda. Manusia tidak dapat tertular penyakit yang diderita oleh binatang dan demikian juga sebaliknya.

 

 
Gambar 1. Manifestasi klinik flu Singapura

2.1.2 ETIOLOGI
HFMD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus RNA yang masuk dalam famili Picornaviridae (Pico, Spanyol = kecil ), Genus Enterovirus (non Polio). Genus yang lain adalah Rhinovirus, Cardiovirus, Apthovirus.
Di dalam Genus enterovirus terdiri dari Coxsackie A virus, Coxsackie B virus, Echovirus dan Enterovirus. Penyebab PTKM yang paling sering pada pasien rawat jalan adalah Coxsackie A16, sedangkan yang sering memerlukan perawatan karena keadaannya lebih berat atau ada komplikasi sampai meninggal adalah Enterovirus 71. Berbagai enterovirus dapat menyebabkan berbagai penyakit.

      Gambar 2. Coxsackie A virus


              Gambar 3. Coxsackie A virus dilihat dengan mikroskop elektron



2.1.3 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini sangat menular dan sering terjadi dalam musim panas. PTKM adalah penyakit yang kerap terjadi pada kelompok masyarakat yang padat dan menyerang anak-anak usia 2 minggu sampai 5 tahun ( kadang sampai 10 tahun ). Orang dewasa umumnya lebih kebal terhadap enterovirus, walau bisa juga terkena.
Orang yang belum pernah terinfeksi oleh virus yang menyebabkan HFMD beresiko untuk terinfeksi, tapi tidak semua orang yang terinfeksi virus ini menderita HFMD.
HFMD paling banyak terjadi pada anak-anak berusia di bawah 10 tahun, tapi dapat pula terjadi pada orang dewasa. Anak-anak lebih beeresiko untuk terkena penyakit ini karena system imun dalam tubuh mereka masih lemah bila dibandingkan dengan orang dewasa.
Bila telah terinfeksi maka pasien akan mendapatkan immunitas terhadap virus yang dapat menyebabkan HFMD ini. Tapi terdapat pula beberapa kasus dimana HFMD dapat kembali muncul karena infeksi oleh virus golongan enterovirus lainnya.
Kasus HFMD terjadi di seluruh dunia. Pada daerah yang beriklim hangat/sejuk, kasus lebih sering terjadi pada musim panas dan awal musim gugur. Sejak tahun 1997, kasus-kasus HFMD yang disebabkan oleh enterovirus 71 telah dilaporkan terjadi di Asia dan Australia.
HFMD yang disebabkan oleh infeksi coxsackievirus A16 merupakan penyakit yang ringan. Umumnya pasien dapat sembuh setelah 7-10 hari tanpa penanganan medis. HFMD yang disebabkan oleh enterovirus 71 menunjukkan insiden penyakit neurologis (sistem saraf) yang lebih tinggi. Kasus encephalitis yang fatal dapat terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh infeksi enterovirus 71.
Implantasi awal virus pada mukosa buccal dan ileum akan diikuti dengan penyebaran ke kelenjar getah bening dalam 24 jam. Viremia cepat terjadi, meluas ke mukosa mulut dari kulit. Hari ke 7 terjadi peningkatan neutralizing antibody kemudian terjadi eliminasi Virus.

Kasus HFMD
Tahun 1997
Tiga puluh empat anak meninggal di Sarawak, Malaysia.
Tahun 1998
Kasus HFMD dilaporkan terjadi di Taiwan. Sekitar 405 pasien mengalami komplikasi akut, dan 78 anak meninggal. Jumlah total kasus epidemic yang terjadi telah mencapai 1,5 juta.
Tahun 2006
7 orang meninggal karena penyakit HFMD di Kutching, Sarawak (sumber New Straits Times, 14 Maret)
Tahun 2008
Dilaporkan 25.000 kasus infeksi HFMD dengan jumlah korban meninggal 42 orang terjadi di Fuyang, Anhui, China pada awal Maret. Hal yang serupa juga dilaporkan terjadi di Singapore (lebih dari 2.600 kasus pada 20 April 2008), Vietnam (2.300 kasus dengan 11 kematian), Mongolia (1.600 kasus), dan Brunei (1053 kasus selama bulan Juni-Agustus 2008).
Tahun 2009
Kasus lainnya dilaporkan terjadi pada bulan April 2009, di kota Heze dan provinsi Shandong, bagian timur China, dengan jumlah penderita yang meninggal mencapai 15 orang. Hingga saat ini Dinas Kesehatan Provinsi Shandong melaporkan 5.770 kasus terjadi di Heze, Dari 5.770 kasus tersebut 4.549 dilaporkan sembuh sedangkan 341 kasus lainnya hingga saat ini belum dapat diatasi.
Hingga 7 April 2009, lebih dari 115.000 kasus telah dilaporkan dan 50 orang meninggal karena infeksi ini. Tetapi kebanyakan kasus hanya terjadi di daerah pedesaan, di mana populasinya jarang dan hamper 80% total kasus terjadi di 10 provinsi dan daerah otonomi mencakup Henan, Shandong, Jiangsu, Guangxi, dan Zhejiang.
Di Indonesia terdapat laporan kasus infeksi ini di daerah Jakarta dan sekitarnya. Kasus yang pertama dilaporkan terjadi pada 8 orang anak berusia satu sampai empat tahun. Dinas kesehatan Jakarta pada bulan April mengeluarkan peringatan akan bahaya HFMD dan larangan untuk bepergian ke Singapura.

2.1.4 CARA PENULARAN
Penularannya melalui jalur fekal-oral (pencernaan) dan saluran pernapasan, yaitu dari droplet (butiran ludah), pilek, air liur, tinja, cairan vesikel (kelainan kulit berupa gelembung kecil berisi cairan) atau ekskreta. Penularan kontak tidak langsung melalui barang, handuk, baju, peralatan makanan, dan mainan yang terkontaminasi oleh sekresi itu. Tidak ada vektor tetapi ada pembawa (carrier) seperti lalat dan kecoa. Penyakit ini memberi imunitas spesifik, namun anak dapat terkena PTKM lagi oleh virus strain Enterovirus lainnya. Masa Inkubasi 2 - 5 hari.
Infeksi ini paling menular pada satu minggu pertama. Virus yang menyebabkan HFMD masih dapat tinggal di dalam tubuh selama berminggu-minggu setelah symptom menghilang. Berarti penularan dari orang ke orang terjadi setelah pasien penyakit ini beranjak sembuh. HFMD tidak ditransmisikan dari binatang ke manusia.

2.1.5 MANIFESTASI KLINIK
Mula-mula demam tidak tinggi 2-3 hari, diikuti sakit leher (faringitis), tidak ada nafsu makan, pilek, gejala seperti flu, pada umumnya yang tak mematikan. Timbul vesikel yang kemudian pecah, ada 3-10 ulkus di mulut seperti sariawan (lidah, gusi, pipi sebelah dalam) terasa nyeri sehingga sukar untuk menelan. Bersamaan dengan itu timbul rash/ruam atau vesikel (lepuh kemerahan/blister yang kecil dan rata), papulovesikel yang tidak gatal ditelapak tangan dan kaki. Kadang-kadang rash/ruam (makulopapel) pada bokong.












Gambar 4. Manifestasi klinik flu Singapura

Penyakit ini umumnya akan membaik sendiri dalam 7-10 hari, dan tidak perlu dirawat di rumah sakit. Bila ada gejala yang cukup berat, barulah penderita perlu dirawat di rumah sakit.

Gejala Prodromal (12-36 jam) :
Demam tidak tinggi±38,3 derajat C selama 2-3 hari
Anoreksia
Malaise (feeling sick)
Nyeri perut
Sakit pada mulut dan tenggorokan
Batuk
Lesi pada tangan dan kaki; 5-7 hari
Lesi mukosa dan kulit sembuh spontan dalam 5-7 hari
Kadang-kadang : demam tinggi, sangat lemah, diare, atralgia, miokarditis dan pneumonia, meaningoencephalitis.

Adapun gambaran klinik Lesi di mulut :
Macula, vesikel 2-3 mm dasar eritem
Vesikel jarang terlihat, segera menjadi ulkus
Ulkus terasa nyeri ditambah dengan rasa tidak nyaman ketika makan
Jumlah ulkus 5-10
Terlihat pada palatum, mukosa pipi, gusi, lidah, uvula, tonsil.

Adapun gambaran klinik lesi di kulit :
Lokasi khas yaitu tangan, kaki, bokong dan kadang-kadang di lengan.
Jumlah lesi di tangan > jumlah lesi di kaki
Jumlah lesi di dorsal dan sisi samping jari-jari>jumlah lesi di palmar
Makula eritem 2-10 mm kemudian berubah menjadi vesikel sentral oval berwarna abu-abu
Lesi asimtomatik, hilang 3-7 hari
22% cervikal/submandibular limfadenopati.

Gejala yang cukup berat tersebut antara lain :
Hiperpireksia, yaitu demam tinggi dengan suhu lebih dari 39oC.
Demam tidak turun-turun
Takikardia (denyut nadi menjadi cepat)
Takipnea, yaitu napas jadi cepat dan sesak
Anoreksia, muntah, atau diare berulang disertai dehidrasi.
Letargi, lemas, dan terus mengantuk
Nyeri pada leher, lengan, dan kaki.
Kejang-kejang, atau terjadi kelumpuhan pada saraf cranial
Keringat dingin
Fotofobia (tidak tahan melihat sinar)
Ketegangan pada daerah perut
Halusinasi atau gangguan kesadaran

Komplikasi pada penyakit HFMD jarang terjadi, tetapi bila terdapat komplikasi harus segera ditangani. Komplikasi penyakit ini adalah :
Viral atau aseptik meningitis (radang selaput otak)
Viral meningitis dapat menyebabkan demam, sakit kepala, leher dan punggung. Kondisi ini biasanya ringan dan dapat sembuh tanpa penanganan.
Ensefalitis (radang otak)
Dapat berakibat fatal.
Myocarditis (Coxsackie Virus Carditis) atau pericarditis
Acute Flaccid Paralysis / Lumpuh Layuh Akut (Polio-like illness)
Hilangnya kuku jari tangan dan kaki
Hanya bersifat sementara dan dan dapat sembuh tanpa pengobatan.

Penyakit yang ternasuk ke dalam satu kelompok dengan penyakit ini adalah :
1. Vesicular stomatitis dengan exanthem (PTKM) - Cox A 16, EV 71 (Penyakit ini)
2. Vesicular Pharyngitis (Herpangina) - EV 70
3. Acute Lymphonodular Pharyngitis - Cox A 10

2.1.6 DIAGNOSTIK KLINIK
Biasanya diagnosis yang ditegakkan berdasarkan dari sejarah dan pemeriksaan fisik. Dapat dilakukan test laboratorium untuk coxsackievirus dan enterovirus lain, tetapi biasanya tidak diperlukan.
Penyakit ini sering keliru dengan penyakit kerongkongan yang disebabkan oleh bakteri Streptoccocus, yang juga biasanya ditandai dengan demam dan sakit kerongkongan (sore throat). Terkadang juga keliru dengan penyakit cacar air karena keduanya menghasilkan blister/vesicle (lepuh/tonjolan kecil pada epidermis yang mengandung cairan serosa) dan dengan penyakit exanthema pada anak-anak (demam yang disertai dengan erupsi) karena terjadi infeksi telinga yaitu merahnya gendang telinga.
Sampel (Spesimen) dapat diambil dari tinja, usap rektal, cairan serebrospinal dan usap/swab ulcus di mulut/tenggorokan, vesikel di kulit spesimen atau biopsi otak. Spesimen dibawa dengan Hank Virus Transport. Isolasi virus dengan cara biakan sel dengan suckling mouse inoculation. Setelah dilakukan Tissue Culture, kemudian dapat diidentifikasi strainnya dengan antisera tertentu (IPA, CT, PCR dll). Dapat dilakukan pemeriksaan antibodi untuk melihat peningkatan titer.
Diagnosa Laboratorium HFMD meliputi:
1. Deteksi Virus :
- Immuno histochemistry (in situ)
- Imunofluoresensi antibodi (indirect)
- Isolasi dan identifikasi virus.
Pada sel Vero; RD; L20B Uji netralisasi terhadap intersekting pools Antisera (SCHMIDT pools) atau EV-71 (Nagoya) antiserum.

2. Deteksi RNA
RT-PCR Primer : 5’ CTACTTTGGGTGTCCGTGTT 3’
5’ GGGAACTTCGATTACCATCC 3’  Partial DNA sekuensing (PCR Product)

3. Serodiagnosis
Serokonversi paired sera dengan uji serum netralisasi terhadap virus EV-71 (BrCr, Nagoya) pada sel Vero. Uji ELISA sedang dikembangkan. Sebenarnya secara klinis sudah cukup untuk mendiagnosis HFMD, hanya kita dapat mengetahui apakah penyebabnya Coxsackie A-16 atau Enterovirus 71.
Diagnosa banding :
Stomatitis aphtosa
Chickenpox
Eritema multiform
Herpes Simplex

2.1.7 PENGOBATAN
Berikut ini merupakan cara – cara pengobatan penyakit HFMD:
 1. Istirahat yang cukup
 2. Pengobatan spesifik tidak ada, jadi hanya diberikan secara simptomatik saja berdasarkan keadaan klinis yang ada.
 3. Dapat diberikan:
- Immunoglobulin IV (IGIV), pada pasien imunokompromis atau neonatus
- Extracorporeal membrane oxygenation.
 4. Pengobatan simptomatik:
- Antiseptik di daerah mulut
- Antipiretik
- Analgesik misal parasetamol
- Antibiotika jika infeksi kulit
- Cairan cukup untuk dehidrasi yang disebabkan sulit minum dan karena demam
- Pengobatan suportif lainnya
Nyeri : Kumur air garam
Intake oral penderita : minuman dingin (semacam susu), menghindari juice sitrus karena “menyengat”
Campuran (jumlah sama) : mukolitik/ekspektoran dan antasida dikumur kemudian dibuang/diludahkan.
Gizi, dll.
Penyakit ini merupakan self limiting diseases, yaitu penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya, dalam 7-10 hari. Tidak ada pengobatan spesifik untuk infeksi ini, selain dari terapi untuk mengatai simptomnya. Pasien perlu istirahat karena daya tahan tubuh menurun. Pasien yang dirawat adalah yang dengan gejala berat dan komplikasi tersebut diatas.
Hal yang terpenting untuk menangani penyakit ini adalah meredakan sakit (pain relief) dan memperbanyak cairan tubuh. Berkumur dengan air garam (1/2 sendok the garam untuk 1 gelas air hangat), es loli dan cairan dingin dapat digunakan untuk meredakan rasa sakit pada kerongkongan yang terluka.
Terapi dengan antibiotik tidak efektif pada penyakit ini. Obat bebas terbatas (over-the-counter medicines), seperti Tylenol (acetaminophen) dapat digunakan untuk mengatasi demam. Aspirin dapat pula digunakan, akan tetapi sebaiknya tidak dipakai untuk anak di bawah usia 12 tahun.
Pastikan pasien tidak kekurangan cairan. Pemberian cairan tambahan diperlukan ketika terjadi demam.Jangan memberikan jus atau soda karena kandungan asamnya dapat menimbulkan rasa terbakar pada ulcer.

2.1.8 PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Penyakit ini sering terjadi pada masyarakat dengan sanitasi yang kurang baik. Pencegahan penyakit adalah dengan menghilangkan kekumuhan dan kepadatan lingkungan; kebersihan (Higienis dan Sanitasi) lingkungan maupun perorangan. Cara yang paling gampang dilakukan adalah misalnya membiasakan selalu cuci tangan, khususnya sehabis berdekatan dengan penderita, desinfeksi peralatan makanan, mainan, handuk yang memungkinkan terkontaminasi. Bila perlu anak tidak bersekolah selama satu minggu setelah timbul rash sampai panas hilang.
Pasien sebenarnya tak perlu diasingkan karena ekskresi virus tetap berlangsung beberapa minggu setelah gejala hilang, yang penting menjaga kebersihan perorangan. Di Rumah sakit Universal Precaution harus dilaksanakan. Penyakit ini belum dapat dicegah dengan vaksin (Imunisasi). Bila anak tidak dirawat, harus istirahat di rumah karena daya tahan tubuhnya menurun dan agar tidak menularkan ke anak lainnya.
Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan pemerintah dalam hal ini, seperti meningkatkan survailans epidemiologi (perlu definisi klinik). Memberikan penyuluhan tentang cara-cara penularan dan pencegahan HFMD untuk memotong rantai penularan. Menyiapkan sarana kesehatan tentang tatalaksana HFMD termasuk pelaksanaan. Memberikan penyuluhan tentang tanda-tanda dan gejala HFMD.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengobatan secara spesifik untuk penyakit ini. Adapun hal – hal yang dapat dilakukan antara lain:
Menghindari kontak dengan anak-anak yang terinfeksi
Tidak membawa anak yang sakit ke tempat yang padat pengunjung
Tidak menggunakan peralatan makan,pakaian,sepatu anak yang sakit.
Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, buang air besar dan kontak dengan penderita
Bintik yang melepuh/vesikel sebaiknya dibiarkan mengering alami, jangan dipecah karena mengandung virus.
Penderita tutup mulut dan hidung saat batuk/bersin
Bersihkan lantai atau barang-barang yang terkontaminasi kotoran anak dengan perklorin 0,5% karena virus berada dalam feses dan dapat hidup beberapa lama.

2.2 FLU BABI
2.2.1 DESKRIPSI
Ada tiga macam virus influenza manusia, dua diantaranya endemik pada babi, yaitu virus influenza tipe A, merupakan virus yang sudah umum ada pada babi dan virus influenza tipe B, virus yang jarang ditemukan, sedangkan virus influenza tipe C tidak dilaporkan terdapat pada babi. Virus influenza tipe A dan C endemik pada manusia dan babi dengan strain yang sangat berbeda.


Gambar 5. Tipe-tipe virus yang sempat menjadi pandemic pada manusia. Garis yang tidak putus-putus menggambarkan strain baru dari virus penyebab pandemik sesuai tahun. Garis putus-putus menyatakan strain virus yang belum diketahui pasti.

Swine influenza (swine flu, hog flu, pig flu) atau influenza babi adalah penyakit saluran pernafasan akut pada babi yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H1N1, H1N2, H3N1, H3N2, dan H2N3. Virus ini termasuk dalam keluarga Orthomyxoviridae. Virus flu babi ini masih satu genus dengan virus penyebab flu burung. Flu babi merupakan salah satu penyakit zoonosis yang ditakuti selain flu burung karena dapat menginfeksi manusia.
Wabah flu babi pada manusia yang terjadi pada tahun 2009 bukan disebabkan virus swine influenza. Wabah ini disebabkan strain baru dari virus influenza A subtipe H1N1 yang diturunkan dari satu strain virus influenza manusia, satu strain virus avian influenza, dan dua strain berbeda dari virus swine influenza.

Gambar 6. Gambar virus H1N1


Gambar 7. Virus H1N1 dilihat melalui mikroskop elektron. Ukuran diameter virus 80-120 nm

2.2.2 ETIOLOGI
Flu babi merupakan penyakit yang disebabkan virus influenza Famili Orthomyxoviridae tipe A subtipe H1N1 yang dapat ditularkan oleh binatang, terutama babi, dan ada kemungkinan menular antarmanusia.
Virus ini erat kaitannya dengan penyebab swine influenza, equine influenza dan avian influenza (fowl plaque). Ukuran virus tersebut berdiameter 80- 120 nm. Selain influenza A, terdapat influenza B dan C yang juga sudah dapat diisolasi dari babi. Sedangkan 2 tipe virus influenza pada manusia adalah tipe A dan B. Kedua tipe ini diketahui sangat progresif dalam perubahan antigenik yang sangat dramatik sekali (antigenik shift). Pergeseran antigenik tersebut sangat berhubungan dengan sifat penularan secara pandemik dan keganasan penyakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya rekombinasi genetik antara virus flu pada burung dan manusia.
Ketiga tipe virus yaitu influenza A, B, C adalah virus yang mempunyai bentuk yang sama dibawah mikroskop elektron dan hanya berbeda dalam hal kekebalannya saja. Ketiga tipe virus tersebut mempunyai RNA dengan sumbu protein dan permukaan virionnya diselubungi oleh semacam paku yang mengandung antigen haemagglutinin (H) dan enzim neuraminidase (N).
Peranan haemaglutinin adalah sebagai alat melekat virion pada sel dan menyebabkan terjadinya aglutinasi sel darah merah, sedangkan enzim neurominidase bertanggung jawab terhadap elusi, terlepasnya virus dari sel darah merah dan juga mempunyai peranan dalam melepaskan virus dari sel yang terinfeksi. Antibodi terhadap haemaglutinin berperan dalam mencegah infeksi ulang oleh virus yang mengandung haemaglutinin yang sama. Antibodi juga terbentuk terhadap antigen neurominidase, tetapi tidak berperan dalam pencegahan infeksi.
Wabah flu babi pada manusia yang terjadi pada tahun 2009 disebabkan strain baru dari virus influenza A subtipe H1N1 yang diturunkan dari satu strain virus influenza manusia, satu strain virus avian influenza, dan dua strain berbeda dari virus swine influenza.
Influenza babi yang terjadi di Amerika Serikat disebabkan oleh influensa A H1N1, sedangkan di banyak negara Eropa termasuk Inggris, Jepang dan Asia Tenggara disebabkan oleh influenza A H3N2. Banyak isolat babi H3N2 dari Eropa yang mempunyai hubungan antigenik sangat dekat dengan A/Port Chalmers/1/73 strain asal manusia. Peristiwa rekombinan dapat terjadi, seperti H1N2 yang dilaporkan di Jepang kemungkinan berasal dari rekombinasi H1N1 dan H3N2. Peristiwa semacam ini juga dilaporkan di Italia, Jepang, Hongaria, Cekoslowakia dan Perancis.

2.2.3 EPIDEMIOLOGI
Swine flu merupakan penyakit umum pada babi di Amerika Serikat, Meksiko, Kanada, Amerika selatan, Eropa (Inggris, Swedia dan Itali), Kenya, Cina, Jepang, Taiwan dan beberapa daerah di Asia Timur lainnya.
Kasus infeksi sudah dilaporkan pada pekerja di kandang babi di Eropa dan di Amerika. Beberapa kasus infeksi juga terbukti disebabkan oleh sero tipe asal manusia. Penyakit pada manusia umumnya terjadi pada kondisi musim dingin. Transmisi kepada babi yang dikandangkan atau hampir diruangan terbuka dapat melalui udara seperti pada kejadian di Perancis dan beberapa wabah penyakit di Inggris. Babi sebagai karier penyakit klasik di Denmark, Jepang, Italy dan kemungkinan Inggris telah dilaporkan.
Pada tahun 1918 juga pernah terjadi pandemik flu di Spanyol yang disebabkan virus H1N1. Sekitar tahun 1918-1919 1/3 dari penduduk dunia atau sekitar 500 juta penduduk terinfeksi virus tersebut dan menyebabkan sekitar 50 juta kematian. Pada tahun 1976  seorang tentara di Amerika terinfeksi dan kemudian meninggal dunia akibat virus tersebut. Tahun 1988, virus swine flu menewaskan seorang wanita di Wisconsin dan menginfeksi ratusan orang lainnya.  
Kasus pada tahun 2009 yang pertama kali ditemukan di Meksiko terjadi di daerah La Gloria, Veracruz. Ketika sebagian besar penduduk La Gloria jatuh sakit, hanya satu kasus yang dinyatakan positif flu babi. Setelah pertama kali dideteksi di Amerika dan Meksiko, selanjutnya flu ini terdeteksi pada sejumlah penduduk beberapa negara yang pernah berkunjung ke Meksiko. Infeksi juga terjadi pada sejumlah kecil individu yang tidak berkunjung ke Meksiko dengan cara kontak langsung dengan individu yang pernah berkunjung ke Meksiko.
Hingga 26 April, kasus flu babi dikonfirmasi terjadi di Amerika Serikat (91 kasus dengan satu kematian), Meksiko (26 kasus dengan tujuh kematian), Kanada (13 kasus), Selandia Baru (tiga kasus), Inggris (lima kasus), Israel (dua kasus), Spanyol (empat kasus), Austria (satu kasus), dan Jerman (tiga kasus). Pada tanggal 29 April, kantor berita Xinhua melaporkan jumlah kematian 25 orang di Meksiko yang diduga berhubungan dengan flu babi, sementara 89 orang dirawat di rumah sakit dengan gejala serupa flu babi.
Hingga tanggal 30 April 2009 di Amerika terdapat 109 kasus positif flu babi,1 orang di antaranya meninggal dan masih ada kemungkinan terus bertambah. WHO telah memperingatkan kasus-kasus di Meksiko dan Amerika Serikat berpotensi menyebabkan pandemi global dan menegaskan situasi ini serius

      Kasus yang disertai kematian
  Kasus tanpa kematian
  Dicurigai terinfeksi
Gambar 8. Penyebaran virus flu babi (swine flu)

2.2.4 CARA PENULARAN
Penyebaran virus influenza dari babi ke babi dapat melalui kontak moncong babi, melalui udara atau droplet. Faktor cuaca dan stres akan mempercepat penularan. Virus tidak akan tahan lama di udara terbuka. Penyakit bisa saja bertahan lama pada babi breeder atau babi anakan. Virus tersebut tidak menular jika kita memakan daging babi yang telah dimasak dan dibersihkan dengan baik
 Transmisi inter spesies dapat terjadi karena sub tipe H1N1 mempunyai kesanggupan menulari antara spesies terutama babi, bebek, kalkun dan manusia, demikian juga sub tipe H3N2 yang merupakan sub tipe lain dari influensa A. H1N1, H1N2 dan H3N2 merupakan ke 3 subtipe virus influenza yang umum ditemukan pada babi yang mewabah di Amerika Utara. Manusia dapat terkena penyakit influenza secara klinis dan menularkannya pada babi.

2.2.5 MANIFESTASI KLINIK
Pada manusia
Gejala penyakit flu ini sama seperti orang yang terkena flu biasa, termasuk demam, batuk, radang tenggorokan, nyeri tubuh, sakit kepala, tubuh menggigil, dan mudah lelah. Beberapa yang dilaporkan, penderita flu babi juga menderita diare dan muntah-muntah. Kadang di akhir penderitaan, beberapa penyakit seperti pneumonia dan gagal pernafasan, juga kematian. Seperti flu musiman, flu babi juga dapat menyebabkan penambahan kondisi medis yang kronis.


Gambar 9. Gejala penyakit flu babi (swine flu)

Pada anak-anak terdapat gejala-gejala yang memerlukan penanganan khusus, antara lain :
1. Kesulitan dalam bernapas
2. Warna keniru-biruan pada kulit
3. Lemah
4. Kekurangan cairan
5. Gejala seperti flu meningkat tetapi diikuti dengan demam dan batuk yang parah
6. Demam disertai dengan adanya ruam

Pada orang dewasa, terdapat gejala-gejala yang memerlukan penanganan khusus, antara lain :
1. Kesulitan bernapas atau napas pendek
2. Sakit pada dada dan perut
3. Pusing secara tiba-tiba
4. Kebingunan
5. Muntah-muntah

Masa Inkubasi
Pada kejadian wabah penyakit, masa inkubasi sering berkisar antara 1-2 hari, (BLOOD dan RADOSTITS, 1989). Biasanya sembuh secara tiba-tiba pada hari ke 5-7 setelah gejala klinis.  Anak-anak babi yang lahir dari induk yang terinfeksi pada saat hamil, akan terkena penyakit pada umur 2-5 hari setelah dilahirkan, sedangkan induk tetap memperlihatkan gejala klinis yang parah.
Cara penularan flu babi pada manusia melalui udara dan dapat juga melalui kontak langsung dengan penderita. Masa inkubasinya 3 sampai 5 hari.

Pada babi
Penyakit ini menyebar sangat cepat. Hampir 100% babi yang rentan terkena dan ditandai dengan apatis, sangat lemah, enggan bergerak atau bangun karena gangguan kekakuan otot dan nyeri otot, eritema pada kulit, anoreksia, demam sampai 41,8oC. Batuk sangat sering terjadi apabila penyakit cukup hebat, dibarengi dengan muntah eksudat lendir, bersin, dispnu diikuti kemerahan pada mata dan terlihat adanya cairan mata.

2.2.6 DIAGNOSTIK KLINIK
Diagnosis sementara terhadap penyakit influenza babi didasarkan pada gejala klinis dan perubahan patologi. Diagnosis laboratorium dapat berdasarkan isolasi virus pada alantois telur ayam berembrio dan dilihat hemaglutinasi pada cairan alantois. Spesimen yang paling baik untuk isolasi virus pada influensa babi adalah cairan hidung yang diambil sedini mungkin atau organ paru yang diperoleh dari bedah bangkai (FENNER et al.,1987) dan tonsils (SANFORD et al., 1989). Pada kasus penyakit influenza babi yang kronis, diagnosis dapat dilakukan secara serologi dengan memperlihatkan peningkatan antibodi pada serum ganda (paired sera) yang diambil dengan selang waktu 3-4 minggu. Untuk memeriksa antibodi terhadap virus influensa dapat digunakan uji haemagglutination inhibition (HI), Immunodifusi single radial dan virus netralisasi.  Kenaikan titer 4x lipatnya sudah dianggap adanya infeksi. Pada uji serologis digunakan kedua antigen H1N1 dan H3N2 (OLSEN et al., 2002). Virus dapat diisolasi dari swab hidung dan jaringan sampai 4 hari setelah infeksi tetapi tidak dari feses. Perubahan patologi pneumonia intersisial dapat dilihat sampai 21 hari setelah infeksi, lesi bronchi dan bronchus sampai 7 hari setelah infeksi dan limfoglandula mengalami hemoragik.
Seperti juga yang ditulis BROWN et al., (1993) bahwa sampel untuk isolasi virus dapat berasal dari swab hidung/ tonsil, trachea dan paru-paru yang diambil 2-5 hari dari sejak munculnya gejala klinis. Semua sampel disimpan dalam media transpor. Selain isolasi virus, diagnosis juga dapat dilakukan dengan mendeteksi antigen dengan uji fluorescent antibody technique (FAT) pada sampel paru-paru, tetapi mempunyai kekurangan oleh karena lesi akibat virus sangat menyebar sehingga lesi dapat mendapatkan hasil sampel yang negatif dan sampel harus benar-benar segar dengan sedikit perubahan otolisis serta FA slide tidak dapat disimpan lama, karena warna akan pudar.

2.2.7 PENGOBATAN
Menurut CDC, vaksin untuk flu babi belum ada. Akan tetapi, CDC dan WHO berencana akan membuat vaksin, dan memerlukan waktu produksi selama beberapa bulan. Vaksin flu yang kini ada belum jelas keefektifannya dalam melindungi manusia dari virus baru ini karena secara genetik virus ini berbeda dengan jenis virus flu lain.
CDC juga mengatakan bahwa penderita dapat meminum obat antiviral seperti yang diminum penderita flu burung, contohnya oseltamivir atau zanamivir. Obat tersebut akan efektif paling lama 48 jam setelah muncul gejala. Akan tetapi, virus flu babi (swine flu) resisten terhadap amantadin dan rimantadin

Dosis pemberian oseltamivir  :
1. Untuk dewasa dan anak ≥ 13 tahun :  2 kali 75 mg per hari, selama 5 hari.
2. Untuk anak ≤ 1 tahun : 2 mg/kg BB, 2 kali sehari selama 5 hari
3. Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sebagai berikut :
a. > 40 kg : 75 mg, 2 kali sehari
b. > 15 -23 kg : 45 mg, 2 kali sehari
c. > 23 -  40 kg : 60 mg, 2 kali sehari
d. ≤ 15 kg : 30 mg, 2 kali sehari


2.2.8 PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Terdapat beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu :
Hal terpenting, cuci tangan Anda dengan bersih, menggunakan sabun dan air atau pembersih tangan beralkohol, khususnya setelah Anda bersin atau batuk, ataupun setelah menyentuh babi
Tetap menjaga kesehatan dengan tidur cukup
Aktif berolahraga fisik
Mengendalikan pikiran agar tidak stress
Minum banyak air
Makan makanan yang bernutrisi
Usahakan untuk tidak bersentuhan tangan, mulut, hidung atau mata atau apapun yang mungkin telah terkontaminasi dengan virus flu babi
Usahakan untuk menjaga jarak atau tidak berhubungan dekat dengan orang yang menderita flu babi
Tutuplah mulut dan hidung dengan tisu ketika Anda bersin atau batuk, dan buanglah tisu setelah menggunakannya
Pergi ke dokter jika sudah terkena virus flu babi ini
Jika Anda sudah terkena virus ini, disarankan untuk tetap tinggal di rumah, dan usahakan untuk tidak bekerja atau sekolah dulu, untuk menjaga jarak dengan orang yang belum terkena infeksi.
Daging itu harus dimasak matang, suhu 700C akan membunuh virus itu.
BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN

Flu Singapura (penyakit tangan, kaki dan mulut) disebabkan oleh virus RNA yaitu Coxsakie A Virus, Coxsakie B Virus, Echovirus dan Enterovirus. Gejalanya antara lain demam tidak tinggi, faringitis, tidak ada nafsu makan, pilek, ulkus di mulut, ruam atau timbul vesikel. Gejala yang cukup berat diantaranya hiperpireksia, demam yang tidak turun-turun, takikardi, takipneu, muntah, letargi, lemas, kejang-kejang, fotofobia, halusinasi.
Diagnosa laboratorium flu Singapura diantaranya deteksi virus, deteksi RNA dengan RT-PCR  Primer serta serodiagnosis. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu hanya mengobati gejalanya saja karena penyakit ini bersifat self limiting disease.
Flu babi (swine flu) disebabkan oleh virus influenza tipe A strain H1N1. Flu babi dapat menyebar dari manusia ke manusia lainnya. Gejalanya antara lain demam, batuk, radang tenggorokan, nyeri tubuh, sakit kepala, tubuh menggigil, mudah lelah, diare dan muntah-muntah.
Diagnosis sementara terhadap penyakit flu babi didasarkan pada gejala klinis dan perubahan patologi. Diagnosis laboratorium dapat berdasarkan isolasi virus pada alantois telur ayam berembrio dan dilihat hemaglutinasi pada cairan alantois, selain itu dapat juga dilakukan dengan uji serologi. Vaksin untuk flu babi belum ada, namun pengobatannya sama seperti penderita flu burung yaitu oseltamivir atau zanamivir.

3.2 SARAN
Usaha pencegahan demi menghindari tersebarnya virus penyebab flu Singapura maupun flu babi perlu dilakukan. Usaha pencegahan tersebut diantaranya adalah menciptakan kondisi lingkungan yang bersih (higienis dan sanitasi lingkungan maupun perorangan diperhatikan), menghindari kontak secara langsung dengan hewan yang diduga terinfeksi, serta menjaga daya tahan tubuh.
Apabila diduga terinfeksi, maka diperlukan penanganan medis segera agar virus tidak menyebar serta pasien harus segera memperoleh pengobatan yang tepat



dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.