Rabu, 26 Desember 2012

Perdarahan Post Partum ( HPP )

Jika kita berbicara tentang persalinan sudah pasti berhubungan dengan
perdarahan, karena semua persalinan baik pervaginam ataupun perabdominal  (sectio
cesarea ) selalu disertai perdarahan. Pada persalinan pervaginam perdarahan dapat
terjadi sebelum, selama ataupun sesudah persalinan. Perdarahan bersama-sama
infeksi dan gestosis merupakan tiga besar penyebab utama langsung dari kematian
maternal.
(1,2)

 Kematian maternal adalah kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam
42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya
kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Sebab-sebab
kematian ini dapat dibagi dalam 2 golongan, yakni yang langsung disebabkan oleh
komplikasi-komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, dan sebab-sebab lain seperti
penyakit jantung, kanker, dan lain sebagainya.
(1)

 Suatu perdarahan dikatakan fisiologis apabila hilangnya darah tidak melebihi
500 cc pada persalinan pervaginam dan tidak lebih dari 1000 cc pada sectio cesarea.
Perlu diingat bahwa perdarahan yang terlihat pada waktu persalinan sebenarnya
hanyalah setengah dari perdarahan yang sebenarnya. Seringkali sectio cesarea
menyebabkan perdarahan yang lebih banyak, harus diingat kalau narkotik akan
mengurangi efek vasokonstriksi dari pembuluh darah.
(2,3)

 Untuk selanjutnya penulis akan membahas lebih banyak tentang perdarahan
pasca persalinan pada persalinan perabdominal
 2
BAB II
ISI 


A. DEFINISI
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah
500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi
sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta.
(3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15)

Definisi lain menyebutkan Perdarahan Pasca Persalinan adalah  
perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir.

Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
(2)
(4,6,7,8,9,15)

a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage)
yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage)
yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.


B. EPIDEMIOLOGI

1. Insiden
(7,8)

Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam
yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan
yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil
dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.
2. Peningkatan angka kematian di Negara berkembang
(9)

Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari
kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang
memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.

C. ETIOLOGI
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan hemorrhage
postpartum, faktor-faktor yang menyebabkan hemorrhage postpartum adalah
atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan
pembekuan darah.
(4,5,7)

1. Tone Dimished : Atonia uteri 
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi
dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.
Perdarahan postpartum secara fisiologis di control oleh kontraksi serat-serat
myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi
ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia
uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia uteri juga dapat
timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus
dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab
utama perdarahan postpartum.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang.
Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma Sheehan “ sebagai
akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi
bagian tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya
berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual
dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi
laktasi.

Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :

 Manipulasi uterus yang berlebihan,
 General anestesi (pada persalinan dengan operasi ),
 Uterus yang teregang berlebihan :
o Kehamilan kembar
o Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 – 5000 gram )
o polyhydramnion
 Kehamilan lewat waktu,
 Portus lama
 Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),
 Anestesi yang dalam
 Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ),
 Plasenta previa,
 Solutio plasenta,
2. Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta acreta dan variasinya.
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum
dilahirkan.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perarahan, tapi apabila
terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi
untuk mengeluarkannya.
Plasenta  belum lepas dari dinding uterus karena :
- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta
adhesiva )
 4
(7,8,10,11,12)
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis
menembus desidva sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum 
( plasenta akreta – perkreta ) 
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ).
Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus
perdarahan postpartum.
Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung
diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan
beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe.
Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan
curettage.
3. Trauma
Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan
lahir 
a. Ruptur uterus
b. Inversi uterus
c. Perlukaan jalan lahir
d. Vaginal hematom
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan
antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus
sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Repture uterus sering
terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya.
Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya
terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam
dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep, walau
begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh
 5
darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom,
perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak
akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok.
Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai
artery atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara
episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan
perbaikan episitomi.
Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan kontraksi
uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi.
Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan
maka repair adalah solusi terbaik.
Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga
tundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri.
Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta
keluar.
Inversio uteri dapat dibagi :
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari
ruang tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak
diluar vagina.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada
korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan
plasenta yang belum lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan
pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai.
Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri
atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawat
 6
dengan angka kematian tinggi ( 15 – 70 % ). Reposisi secepat mungkin
memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.
4. Thrombin : Kelainan pembekuan darah
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan
ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :
 Hipofibrinogenemia,
 Trombocitopeni,
 Idiopathic thrombocytopenic purpura,
 HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelet count ),
 Disseminated Intravaskuler Coagulation,
 Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8
unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen
fibrin dan trombosit sudah rusak.

D. FAKTOR RESIKO
Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya
merupakan faktor resiko paling besar untuk terjadinya hemorraghe postpartum
sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan
penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat
menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum :

1. Grande multipara
2. Perpanjangan persalinan
3. Chorioamnionitis
4. Kehamilan multiple
5. Injeksi Magnesium sulfat
6. Perpanjangan pemberian oxytocin 
E. DIAGNOSIS
 7
(8,9,11)
Hemorraghe postpartum digunakan untuk persalinan dengan umur
kehamilan lebih dari 20 minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20
minggu disebut sebagai aborsi spontan.

Beberapa gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe postpartum :
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematocrit )
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar
perineum
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan
ditatalaksana sesuai penyebabnya.
(6)
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan
syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi
terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas
ataupun jatuh kedalam syok.
(4)

Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi
syok.
Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio
plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan
akan berhenti  setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah
plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau
trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek
dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan
eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir.
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan
postpartum
(4)

1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan rahim
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang
pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test dan
lain-lain. 


F. PENCEGAHAN DAN MANAJEMEN
1. Pencegahan Perdarahan Postpartum
 Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus
yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan
pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai
sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik.
Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang
mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat
dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.

 Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,
golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan
dititipkan di bank darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang
yang besar untuk persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien
dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi.
Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan postpartum
untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan saat persalinan.
 Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular
atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi
dengan baik. Massae yang berlebihan atau terlalu keras terhadap
uterus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa
mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan mempercepat
kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan
memicu terjadinya perdarahan postpartum.
 Kala tiga dan Kala empat

 Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan
dilahirkan. Study memperlihatkan penurunan insiden perdarahan
postpartum pada pasien yang mendapat oxytocin setelah bahu
depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan insiden
terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati
pada pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada
USG untuk memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga
terbukti mengurangi volume darah yang hilang dan kejadian
perdarahan postpartum sebesar 40%.
 Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5
menit setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan
tidak ada untungnya justru dapat menyebabkan kerugian.
Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus mulai mengecil dan
mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari
vagina, uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta
terlihat bergerak keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat
dikeluarkan dengan cara menarik tali pusat secra hati-hati.
Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau
tidak. Untuk “ manual plasenta “ ada perbedaan pendapat waktu
dilakukannya manual plasenta. Apabila sekarang didapatkan
perdarahan adalah tidak ada alas an untuk menunggu pelepasan
plasenta secara spontan dan manual plasenta harus dilakukan
tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak
yang menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit setelah
bayi lahir. Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak
lengkap, uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian-bagian
kecil dari sisa plasenta.
 Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya
perlukaan jalan lahir yang dapat menyebabkan perdarahan
dengan penerangan yang cukup. Luka trauma ataupun episiotomi
segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang mengeras dan
berkontraksi dengan baik. 
2. Manajemen Perdarahan Postpartum
Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum
adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat
mungkin.
(11)

Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian
pokok :
(9)

a. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian
cairan dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ – organ
penting. Pantau terus perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital
pasien.
Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan
pemberian cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan
resusitasi cairan cepat.
 11
 Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate
 Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red
cell
 Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine
(dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin
dalam 1jam 30 cc atau lebih)
b. Manajemen penyebab hemorraghe postpartum
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :  
 Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu
tangan di fundus uteri dan lakukan massase untuk
mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila
terus teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu
dilakukan massase yang lebih keras dan pemberian oxytocin.
Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi
uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya.
Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih
berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan
tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan
ditekankan pada fornix anterior.
Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah
pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal
menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah
ergotamine.

 Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah
kompresi bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan
 12
pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit
dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam
syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan
eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi
bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi
dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak
baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi.
Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna
untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operasi  
 Trauma jalan lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila
uterus sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus
berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari
perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan
reparasi penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan,
pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir
dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah
penjahitan selesai.
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila
terjadi laserasi pembuluh darah dibawah mukosa,
penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase.
Apabila hematom sangat besar curigai sumber hematom karena
pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan
perdarahan.
 Gangguan pembekuan darah
 13
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture
uteri, sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi
uterus yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah
gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian
product darah pengganti ( trombosit,fibrinogen).
 Terapi pembedahan
o Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal
(Pfannenstiel) adalah tergantung operator. Begitu masuk
bersihkan darah bebas untuk memudahkan
mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya untuk
mencari tempat rupture uteri ataupun hematom. Reparasi
tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi benarbenar
menghentikan
perdarahan
dan
tidak
ada
perdarahan

dalam

karena hanya akan menyebabkan perdarahan
keluar lewat vagina. Pemasangan drainase apabila perlu.
Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan
tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi
bimanual disertai pemberian uterotonica.
o Ligasi arteri
 Ligasi uteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan
perdarahan yang berasal dari uterus karena uteri ini
mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus.
Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan
kesuburan.
 Ligasi arteri ovarii
 14
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan
hasil yang diberikan
 Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yany bersumber
dari semua traktus genetalia dengan mengurangi
tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis.
Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan,
pilihan berikutnya adalah histerektomi.
o Histerektomi
Merupakan tindakan curative dalam menghentikan
perdarahan yang berasal dari uterus. Total histerektomi
dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal
histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan
subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan
perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim,
servix,fornix vagina.
Referensi pemberian uterotonica :

1. Pitocin
 15
(8)
a. Onset in 3 to 5 minutes
b. Intramuscular : 10-20 units
c. Intravenous : 40 units/liter at 250 cc/hour
2. Ergotamine ( Methergine )
a. Dosing : 0.2 mg IM or PO every 6-8 hour
b. Onset in 2 to 5 minutes


c. Kontraindikasi
 Hypertensi






























 Pregnancy Induced hypertntion
 hypersensitivity
3. Prostaglandin ( Hemabate )
a. Dosing : 0.25 mg Intramuscular or intra – myometrium
b. Onset < 5 minutes
c. Administer every 15 minutes to maximum of  2 mg
4. Misoprostol 600 mcg PO or PR

 16

Hipertensi Dalam Kehamilan

Definisi
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbilitas ibu bersalin.
Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan:
1.      Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosa setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
2.      Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.
3.      Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan atau koma.
4.      Hipertensi gestasional (disebut juga  transient hypertension) adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.
Etiologi dan faktor resiko
Terdapat banyak resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor resiko sebagai berikut.
1.    Primigravida, primipaternitas
2.    Hiperplasentosis, misalanya molahidatidosa, kehamilan multipel, DM, hidrops fetalis, bayi besar.
3.    Umur yang ekstrim
4.    Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5.    Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6.    Obesitas
Patofisiologi
Penyebab hipertensi kehamilan masih belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi tersebut. Teori yang sekarang dianut, yaitu :
-       Teori kelainan vaskularisasi plasenta
-       Teori iskemik plasenta, radikal bebas, dan difungsi endotel
-       Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
-       Teori adaptasi kardiovaskularori genetik
-       Teori defisiensi gizi
-       Teori inflamasi
Manifestasi klinis­
Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat bervariasi luas dan sangat individual. Kadang-kadang sukar untuk menentukan gejala preeklampsia mana yang timbul lebih dulu. Secara teoritik urutan gejala-gejala yang timbul pada preeklampsia ialah edema, hipertensi, dan terakhir proteinuria; sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urtan diatas dapat dianggap bukan preeklampsia.
Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteimuria merupakan gejala yang sangat penting. Namun, sanyangnya penserita sering kali tidak merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri kepal, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium, maka penyakit ini sudah cukup lanjut.
Klasifikasi preeklampsia
1.        Preeklampsia ringan
·           Definisi:
Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.
·           Diagnosis
Diagmosis preeklampsia ringan ditegakkab berdasar atas imbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu.
-          Hipertensi sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai kriteria preeklampsia.
-          Priteinuria: ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstik.
-          Edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata. 5
2.        Preeklampsia Berat
·           Definisi
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 1110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam.
·           Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagimana tercantum di bawah ini.
-          Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak akan menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
-          Proteinuria lebih 5 gr/ 24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif.
-          Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
-          Kenaikan kadar kreatinin plasma.
-          Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, byeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.
-          Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson)
-          Edema paru-paru dan sianosis.
-            Hemolisis mikroangiopati.
-          Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
-          Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler): peningkatan kadar alanin dan aspartae aminotransferase.
-          Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
-          Sindrom HELLP. 5
·         Pembagian preeklampsia berat
Preeklampsia berta dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending eclmpsia dan (b) preeklampsia berat dengan Impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepla hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah. 5
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan ynag diperlukan untuk penegakan diagnosa adalah:
·      Darah rutin
-       Eritrosit
-       Leukosit
-       Trombosis
-       Hb
-       Ht
-       LED
·      Fungsi hati
-       SGOT/SGPT
-       Bilirubin
-       Protein serum
-       Aspartat aminotransferase
·      Fungsi Ginjal
-       Ureum
-       kreatinin
·      Rontgen atau CT_scan otak : untuk mengetahui sudah terdapat edema atau tidak.
Penatalaksanaan
1)   penderita preeklampsia berat harus segera masuk Rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring k=miring ke satu sisi (kiri).
2)   Perawatan yang penting pada preeklampsia dan eklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.
3)   Oleh karenaitu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin.
4)   Cairan yang diberikan berupa
a.    5% Ringer-dekstrose atau cairan daram faali, jumlah tetesan: < 125 cc/jam
b.   Infus dektrose 5% yng tiap 1 liternya diselingi dengna infus Ringer Laktat (60-125cc/jam) 500cc
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
5)   Diberikan antasida untuk menetralisir asalam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yan sangat asam.
6)   Diet yang cuukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
7)   Pemberian obat anti kejang
-       MgSO4
-       Diazepam
-       Fenitoin
Magnesium sulfat lebih efektif diberikan sebagai anti kejang, cara kerja magnesium sulfat ialah mengahambat atau menurunkan asetikolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulft, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan iuo magnesium) kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.  3
Cara pemberian:
·         Loading dose: initial dose
4 gram MgSO4: intravena, (40% dalam 10cc) selama 15 menit.
·         Meintenance dose:
Diberikan infus dalam larutan Ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. selanjutnya meintenance dose diberikan 4 gram i.m. tiap 4-6 jam.
·         Syarat-syarat pemberian MgSO4:
-          Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukans 10% = 1 g (10% dalam 10cc) diberikan i.v. 3 menit.
-          Refleks patella (+) kuat.
-          Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres napas.
·         Magnesium Sulfat dihentikan bila:
-          Ada tanda-tanda intoksiskasi
-          Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang berakhir
·         Dosis teraupetik dan toksis MgSO4
-          Dosis terapeutik                      4-7 mEq/liter               4,8-8,4 mg/dl
-          Hilangnaya refleks tendon      10 mEq/liter                12 mg/dl
-          Terhentinya pernapasan          15 mEq/liter                18 mg/dl
-          Terhentinya jantung                >30 mEq/liter              > 36 mg/dl
Pemberian Magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas).
è Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu obat berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital, diasepam, atau fenitoin. 2
·         Pemberian antihipertensi
-          Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg IV pelan-pelan selama 5 menit sampai tekanan darah turun
-          Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau 12,5 mg IM setiap 2 jam.
-          Jika hidralazin tidak tersedia dapat diberikan:
è  Nifedipin 5 mg sublingual. Jika respon tidak baik setelah 10 menit, beri tambahan 5 mg sublingual;
è  Labetolol 10 mg IV, yang jika respon tidak baik setelah 10 menit, diberikan lagi labetolol 20 mg IV.

MOLAHIDATIDOSA ( kehamilan anggur )

 I. Konsep Dasar Penyakit
A. Pengertian
Menurut beberapa ahli pengertian mola hidatidosa adalah sebagai berikut :
         Mola hidatidosa adalah chorionic villi (jonjotan/gantungan) yang tumbuh berganda berupa gelembung-gelembung kecil yang mengandung banyak cairan sehingga menyerupai buah anggur atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau mata ikan. (Mochtar, Rustam, dkk, 1998 : 23).
         Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi dan edematus. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. (Wiknjosastro, Hanifa, dkk, 2002 : 339).
         Mola hidatidosa adalah perubahan abnormal dari villi korionik menjadi sejumlah kista yang menyerupai anggur yang dipenuhi dengan cairan. Embrio mati dan mola tumbuh dengan cepat, membesarnya uterus dan menghasilkan sejumlah besar human chorionic gonadotropin (hCG) (Hamilton, C. Mary, 1995 : 104).
         Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal di mana hampir seluruh villi kariolisnya mengalami perubahan hidrofobik. (Mansjoer, Arif, dkk, 2001 : 265).
         Mola hidatidosa adalah kelainan villi chorialis yang terdiri dari berbagai tingkat proliferasi tropoblast dan edema stroma villi. (Jack A. Pritchard, dkk, 1991 : 514).
         Mola hidatidosa adalah pembengkakan kistik, hidropik, daripada villi choriales, sdisertai proliperasi hiperplastik dan anaplastik epitel chorion. Tidak terbentuk fetus ( Soekojo, Saleh, 1973 : 325).
         Mola hidatidosa adalah perubahan abnormal dari villi korionik menjadi sejumlah kista yang menyerupai anggur yang dipenuhi dengan cairan. Embrio mati dan mola tumbuh dengan cepat, membesarnya uterus dan menghasilkan sejumlah besar human chorionic gonadotropin (hCG) (Hamilton, C. Mary, 1995 : 104).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas yang dimaksud dengan mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh villi kariolisnya mengalami perubahan hidrofobik yang menyerupai anggur yang dipenuhi dengan cairan dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi dan edematous. Embrio mati dan mola tumbuh dengan cepat, membesarnya uterus dan menghasilkan sejumlah besar human chorionic gonadotropin (hCG).
B. Penyebab
                  Penyebab mola hidatidosa belum diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya adalah
      Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati , tetapi terlambat  dikeluarkan.
    Imunoselektif dari tropoblast
    Keadaan sosio-ekonomi yang rendah
    Kekurangan protein dan asam folat, infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
   Kekurangan gizi pada ibu hamil.
   Kelainan rahim.
   Wanita dengan usia dibawah 20 tahun atau diatas 40 tahun.
C. Tanda dan Gejala
Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 – 16, dimana kita dapat melihat adanya tanda-tanda seperti dibawah ini :
         Ukuran rahim lebih besar dari kehamilan biasa
         Pembesaran rahim yang terkadang diikuti perdarahan
         Bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam.
Adapun gejala dari mola hidatidosa adalah :
         Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien masuk RS.
         Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih besar).
         Gejala – gejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan berkeringat, kulit lembab.
        Gejala – gejala preeklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan tungkai, peningkatan tekanan darah, proteinuria.
D. Patofisiologi
E.  Klasifikasi
Klasifikasi mola hidatidosa berdasarkan ada atau tidaknya janin yaitu :
      Mola Hidatidosa Komplit (Klasik)
Villi korion berubah menjadi massa vesikel dengan ukuran bervariasi dari sulit terlihat sehingga diameter beberapa centimeter. Histologinya memiliki karakteristik yaitu :
         Tidak ada pembuluh pada vili yang membengkak
         Prolifersi dari epitel trofoblas dengan bermacam-macam ukuran
         Tidak adanya janin atau amnion

      Mola Hidatidosa Inkomplit (Parsial)
Masih tampak gelembung yang disertai janin atau bagian dari janin. Umumnya janin masih hidup dalam bulan pertama. Tetapi ada juga yang hidup sampai aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat villi yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan tempat lain masih banyak yang normal.
F. Manifestasi Klinik
            Gambaran klinik yang biasanya timbul pada klien dengan ”mola hidatidosa” adalah :
         Amenore dan tanda-tanda kehamilan
         Perdarahan pervaginam berulang. Darah cenderung berwarna coklat. Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.
         Pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.
         Tidak terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak terdengarnya BJJ sekalipun uterus sudah membesar setinggi pusat atau lebih. Preeklampsia atau eklampsia yang terjadi sebelum kehamilan 24 minggu.

      Pemeriksaan Penunjang
         Pemeriksaan Fisik
            Mola lengkap (Complete mole)
         Tanda klasik: pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan yang diharapkan, atau dengan kata lain, ukuran (uterus) inkonsisten dengan usia kehamilan.
Pembesaran yang tidak diharapkan ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblas yang berlebihan (excessive trophoblastic growth) dan darah yang tertahan (retained blood)
         Preeclampsia (Preeklamsia)
Sekitar 27% pasien mola lengkap disertai toksemia, yang
ditandai dengan:
         hipertensi (tekanan darah>140/90 mmHg)
         proteinuria (>300 mg/hari)
         edema dengan hyperreflexia, kejang (convulsion) jarang terjadi.
         Kista teka lutein (Theca lutein cysts)
Kista ini merupakan kista ovarium yang berdiameter lebih dari 6 cm dan menyertai pembesaran ovarium. Karena meningkatnya ukuran ovarium, dapat berisiko terjadi puntiran (torsion). Kista ini tidak terdeteksi dengan palpasi bimanual namun teridentifikasi dengan USG (ultrasonography). Selain itu, kista ini berkembang sebagai respon (tanggapan) atas tingginya kadar beta-HCG, dan mengecil spontan setelah mola dievakuasi (diangkat).

            Mola parsial (Partial mole)
         Pembesaran uterus dan preeclampsia dilaporkan terjadi hanya pada 3% pasien.
         Jarang disertai kista teka lutein, hiperemesis, dan hipertiroidisme.
Kembar (Twinning).
         Kembar dengan mola lengkap dan janin (fetus) dengan plasenta normal telah dilaporkan. Kasus bayi sehat pada keadaan seperti ini telah dilaporkan pula.
         Wanita dengan coexistent molar dan kehamilan (gestation) normal berisiko tinggi untuk berkembang menjadi persistent disease dan metastasis. Tindakan mengakhiri kehamilan (termination of pregnancy) merupakan pilihan yang direkomendasikan.
         Kehamilan dapat dilanjutkan selama status maternal stabil, tanpa perdarahan (hemorrhage), thyrotoxicosis, atau hipertensi berat. Pasien haruslah diberitahu tentang tingginya risiko morbiditas maternal (kematian ibu) ari komplikasi yang mungkin terjadi.
         Diagnosis genetika prental melalui sampel chorionic villus atau amniocentesis direkomendasikan untuk mengevaluasi karyotype janin (fetus).

         Pemeriksaan Laboratorium
         Quantitative beta-HCG
Kadar HCG lebih dari 100,000 mIU/mL mengindikasikan pertumbuhan trofoblas yang berlebihan (exuberant trophoblastic growth) dan dugaan adanya kehamilan mola haruslah disingkirkan. Kadar HCG pada kehamilan mola biasanya normal.
         Hitung darah lengkap dengan trombosit (complete blood cell count with platelets)
Anemia merupakan komplikasi medis yang umum terjadi, sebagai perkembangan (development) dari proses koagulopati.
         Fungsi pembekuan (clotting function)
Tes ini dilakukan untuk menyingkirkan dugaan adanya komplikasi akibat proses perkembangan koagulopati.
         Tes fungsi hati (Liver function test)
         Blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
         Thyroxin
Meskipun wanita dengan kehamilan mola secara klinis biasanya euthyroid, namun kadar plasma thyroxin biasanya naik di atas nilai normal wanita dengan kehamilan normal. Di samping itu, gejala hyperthyroidism dapat terjadi.
         Serum inhibin A dan activin A
Serum inhibin A dan activin A menjadi 7-10 kali lipat lebih tinggi pada kehamilan mola dibandingkan dengan kehamilan normal pada usia kehamilan (gestational) yang sama.

      Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan gangguan mola hidatidosa adalah :
         Perforasi uterus saat melakukan tindakan kuretase (suction curettage) terkadang terjadi karena uterus luas dan lembek (boggy). Jika terjadi perforasi, harus segera diambil tindakan dengan bantuan laparoskop.
         Perdarahan (hemorrhage) merupakan komplikasi yang sering terjadi saat pengangkatan (evacuation) mola. Oleh karena itu, oksitosin intravena harus diberikan sebelum evakuasi mola. Methergine dan atau Hemabate juga harus tersedia. Selain itu, darah yang sesuai dan cocok dengan pasien juga harus tersedia.
         Penyakit trofoblas ganas (malignant trophoblastic disease) berkembang pada 20% kehamilan mola. Oleh karena itu, quantitative HCG sebaiknya dimonitor terus-menerus selama satu tahun setelah evakuasi (postevacuation) mola sampai hasilnya negatif.
         Pembebasan faktor-faktor pembekuan darah oleh jaringan mola memiliki aktivitas fibrinolisis. Oleh karena itu, semua pasien harus diskrining untuk disseminated intravascular coagulopathy (DIC).
         Emboli trofoblas dipercaya menyebabkan acute respiratory insufficiency. Faktor risiko terbesar adalah ukuran uterus yang lebih besar dibandingkan usia kehamilan (gestational age) 16 minggu. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian.

      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang biasa dilakukan pada mola hidatidosa adalah :
         Diagnosis dini akan menguntungkan prognosis
         Pemeriksaan USG sangat membantu diagnosis. Pada fasilitas kesehatan di mana sumber daya sangat terbatas, dapat dilakukan : Evaluasi klinik dengan fokus pada : Riwayat haid terakhir dan kehamilan Perdarahan tidak teratur atau spotting, pembesaran abnormal uterus, pelunakan serviks dan korpus uteri. Kajian uji kehamilan dengan pengenceran urin. Pastikan tidak ada janin (Ballottement) atau DJJ sebelum upaya diagnosis dengan perasat Hanifa Wiknjosastro atau Acosta Sisson
         Lakukan pengosongan jaringan mola dengan segera
         Antisipasi komplikasi (krisis tiroid, perdarahan hebat atau perforasi uterus)
         Lakukan pengamatan lanjut hingga minimal 1 tahun. Selain dari penanganan di atas, masih terdapat beberapa penanganan khusus yang dilakukan pada pasien dengan mola hidatidosa, yaitu : Segera lakukan evakuasi jaringan mola dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes per menit (sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus secara tepat). Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih aman dari kuretase tajam. Bila sumber vakum adalah tabung manual, siapkan peralatan AVM minimal 3 set agar dapat digunakan secara bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai. Kenali dan tangani komplikasi seperti tirotoksikasi atau krisis tiroid baik sebelum, selama dan setelah prosedur evakuasi. Anemia sedang cukup diberikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari, untuk anemia berat lakukan transfusi. Kadar hCG diatas 100.000 IU/L praevakuasi menunjukkan masih terdapat trofoblast aktif (diluar uterus atau invasif), berikan kemoterapi MTX dan pantau beta-hCG serta besar uterus secara klinis dan USG tiap 2 minggu. 
dr danny satriyo. Diberdayakan oleh Blogger.